Mongabay.co.id

Pencemaran Minyak, Penanganannya Belum Seintensif Kebakaran Hutan dan Lahan?

 

 

Baca Sebelumnya:

Tumpahan Minyak Pertamina, Derita Warga Menanggung Beban Pencemaran

Rugi Segala Lini Akibat Tumpahan Minyak Pertamina

**

 

Wanusuki langsung membaca pesan di telepon genggamnya, Kamis [12/9/2019] sore. Isinya, PT. Pertamina Hulu Energi [PHE] melalui anak usahanya, PT. PHE Offshore North West Java [ONWJ] bersedia memberikan kompensasi kepada 10.271 warga terdampak tumpahan minyak yang telah diverifikasi di 12 desa. Pencairan dana telah dimulai sejak Rabu [11/9/2019].

Total dana mencapai Rp18,54 miliar. Warga akan menerima uang melalui rekening Himpunan Bank Negara [HIMBARA] seperti Bank Mandiri, BNI, dan BRI. “Kompensasi ini tahap awal, ganti rugi dihitung dua bulan saja,” ucapnya. Tumpahan minyak di anjungan Lepas Pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java atau PHE ONWJ, terjadi sejak 12 Juli 2019.

Wanusuki menyebut, besaran kompensi yang diterima warga adalah Rp900.000 per bulan. “Jadi warga akan menerima Rp1.8 juta untuk dua bulan,” terang Ketua Forum Masyarakat Pesisir [FMP] Kabupaten Karawang ini.

Besaran kompensasi sesungguhnya tak sebanding dengan pendapatan warga. Ini didasari data FMP yang mencatat rata-rata penghasilan harian nelayan tradisional antara Rp100-250 ribu. Artinya, kompensasi tak mendekati angka ideal penghasilan warga setempat.

“Tentunya tak bisa menutupi biaya harian. Normalnya, penghasilan kami di sini bisa tiga kali lipat dari kompensasi yang diberikan,” keluh Wanasuki.

 

Tumpahan minyak di anjungan Lepas Pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java atau PHE ONWJ, terjadi sejak 12 Juli 2019. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Merujuk data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Karawang tahun 2018, potensi ekonomi perikanan tangkap mencapai Rp179 miliar dengan produktivitas 8,7 juta ton ikan. Nelayan yang hidup dari berkah Laut Pantura ini berjumlah 7.782 orang.

Potensi ekonomi pesisir memang tak dibahas. Kecuali jumlah nelayan, petambak, dan warga terdampak sebagai dasar untuk memberi ganti rugi. Sepengetahuan Wanusuki, pihak Pertamina dan institusi Pemkab Karawang telah melakukan pendataan pada 15-18 Agustus 2019.

Namun, kata dia, pendataan itu minim sosialisasi. Salah satu alasannya, warga belum pernah diajak berdikusi atau duduk bersama membahas kompensasi. Selama ini, kumpul warga hanya sebatas memberi upah sebesar Rp100.000 bagi mereka yang bekerja 8 jam sehari membersihkan minyak di daratan. Itu juga, kadang-kadang dikumpulkan seminggu dua kali.

“Harusnya, penjelasannya terbuka dan dilakukan sebenar-benarnya. Biar jelas, tidak sekadar ganti rugi,” katanya.

Kepala Desa Cemarajaya Jaya, Yong Liem Supardi bilang, ada 365 rumah di wilayahnya yang masuk daftar relokasi. Dalam hal ini, Pemkab Karawang, Jawa Barat, telah menyiapkan lahan seluas 3 hektar di Desa Cibuaya yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari Cemaraja.

Lahan itu, katanya, sudah dibeli tiga tahun lalu. “Warga akan direlokasi ke sana. Mungkin dalam waktu dekat,” paparnya.

Darsa [59], warga Cemarajaya mengatakan, petugas sudah meminta data dirinya, semisal KTP dan kartu keluarga [KK]. Ia juga disuruh mengisi dokumen pernyataan sebagai warga yang rumahnya terdampak langsung ceceran minyak.

“Keinginan saya dibersihkan dulu lingkungannya, karena jika pindah saya khawatir tak bisa berpenghasilan lagi,” ujarnya.

 

Tumpahan minyak Pertamina membuat masyarakat resah, lingkungan mereka tercemar. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Belum pengalaman

Perairan Indonesia memang rentan terdampak pencemaran minyak dari kegiatan eksplorasi. Kendati begitu, Indonesia belum memiliki pengalaman bahkan Standar Operasional Prosedur [SOP] penanganan blowout, semisal sumur minyak yang mengakibatkan pencemaran di anjungan lepas pantai.

Hal ini diungkapkan Peneliti Rekayasa Air dan Limbah Cair, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung [ITB] Bandung, Edwan Kardena, saat Mongabay-Indonesia berkunjung ke ruang kerjanya di Gedung Rektorat ITB, Jalan Tamansari Kota Bandung, Jawa Barat, baru-baru ini.

Terlebih, ia mengatakan, penanganan pencemaran minyak di pesisir belum memiliki teknologi memadai untuk remediasi [membersihkan permukaan tanah yang tercemar]. Karawang dan Balikpapan adalah contoh kasus.

“Historis kejadian keduanya bisa dikatakan sama, tetapi sejauh ini belum ada SOP pemulihannya,” kata Edwan.

Pencemaran minyak di daratan menjadi ancaman nyata ekosistem. Ini dikarenakan limbah minyak mengandung molekul kimia berupa Total Petroleum Hidrokarbon [TPH]. Seandainya itu merembes ke tanah diprediksi berisiko besar.

“Semakin lambat penanganan akan semakin sulit, dampak buruknya area sensitif. Pencemaran minyak mengganggu kegiatan ekonomi. Hal itu juga menimbulkan biaya pemulihan kerusakan ekosistem,” jelasnya.

 

Tanah, air, hingga sumur warga tercemar akibat tumpahan minyak Pertamina di Karawang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Metode sederhana, pendekatan bioremediasi dapat dilakukan. Cara ini terhitung murah. Hanya menggunakan kapasitas kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi kontaminasi minyak. Hanya saja butuh waktu tak sebentar dalam menetralisir pencemarannya.

Jepang, sebutnya, pernah melakukan bioremediasi. Tepatnya, pada 1997-an, ketika kapal tanker meledak di perairan Jepang. Ribuan barel minyak mentah tumpah ruah mencemari pantai hingga pesisir. Metode ini terbilang sukses mengembalikan ekosistem.

Semenjak itu, Jepang fokus mengerjakan upaya pemulihan bioremediasi. Bahkan, monitoringnya sampai sekarang dikerjakan. Pada akhirnya, cara ini pula yang mengilhami Japan Maritime Safety Agency [JMSA] aktif memberikan pelatihan pencegahan pencemaran laut.

Menurut Edwan, penanganan dampak pencemaran minyak mesti mencontoh penanggulangan bencana Minamata. Maksudnya, harus konsisten dan terus. “Karena garis pantai kita panjang sekali. Tak cukup dengan mementukan tenggat waktu satu atau tiga tahun selesai tanpa adanya indikator komperhensif,” ujarnya.

Saat ini, pencemaran limbah minyak belum mendapat perhatian tinggi dibanding kebakaran hutan dan lahan. Padahal, sama-sama berdampak serius terhadap lingkungan.

Sejauh ini yang dihitung baru sebatas aspek kerugian ekonomi disebabkan terganggunya aktivitas nelayan dan usaha lain. Nilai kerugiannya mencapai miliaran Rupiah. “Namun, kerusakan ekosistem akibat pencemaran atau kerusakan masih diabaikan,” paparnya.

 

Warga membersihkan pantai yang tercemar tumpahan minyak pertamina di Pantai Samudera, Desa Sukamulya, Kecamatan Pusaka Jaya Utara, Karawang, Jawa Barat. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Mengutip Kompas.id, Komunitas Daerah Sungai Citarum [Forkadas+C] mencatat lokasi sumur YYA-1 Pertamina memiliki jarak yang tidak terlampau jauh dari dua gugus terumbu di perairan Karawang, yaitu gugus terumbu Ciparage dan Sendulang. Terumbu karang Sendulang memiliki enam gugus terumbu dan terumbu karang Ciparage memiliki lima gugus terumbu dengan total luas 121,67 hektar.

Terkait hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] belum merilis angka kerugian yang ditimbulkan beserta upaya pemulihan.

Dilansir dari Tempo, Vice President Relations Pertamina Hulu Energi, Ifki Sukarya menuturkan, Pertamina berupaya melindungi kawasan pesisir dan kawasan sensitif seperti area konservasi mangrove dari tumpahan minyak dengan waring. Waring difungsikan sebagai oil spill response equipment.

Inovasi tersebut mengkombinasikan metode common oil spill response dengan design fishnet [waring] yang disesuaikan penelaahan karakteristik minyak, karakteristik arus, ombak dan jenis pantai. “Setelah kami aplikasikan di sejumlah tempat, inovasi ini cukup efektif menghambat sebaran minyak,” terangnya, Minggu [22/9/2019]. Sejauh ini, waring telah dipasang lebih dari 11 kilometer di areal  mangrove.

Terkait pelayanan masyarakat, berdasarkan keterangan tertulis pihak Pertamina, 24 September 2019, sebanyak 27 KK terdampak di Desa Cemarajaya telah direlokasi. Untuk kompensasi tahap awal, sebanyak 2.606 warga terdampak di Karawang telah menerima pemberian tersebut.

 

Warga harus menanggung beban lingkungan akibat tempat hidup mereka tercemar minyak Pertamina. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Di ujung pesisir Tanjung Baru, Tarcim [61] bersiap memproduksi garam. Dibantu anaknya, Sueb [31], mereka mesti cepat menyekat air laut. Jika tidak, gumpalan minyak akan masuk kolam pembuatan garam. Itu jelas merugikan.

Menyoal ganti rugi, Tarcim tak begitu peduli. Selama dua bulan, ia dan keluarganya pasrah, didera bau solar dan usahanya terganggu. Meski harus utang sana-sini, ia tetap memperjuangkan mata pencahariannya.

“Jangan tanya soal kerugian, malas menghitungnya,” ucap Tarcim. “Harapan saya, laut kembali pulih dan garam bisa dijual untuk bayar hutang,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version