Mongabay.co.id

Berbenah, Musi Banyuasin Ingin Jadi Laboratorium Ekologi, Ekonomi dan Budaya

 

 

Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, merupakan wilayah kaya sumber daya alam: migas, perkebunan, hingga budaya. Namun begitu, berbagai persoalan juga muncul, khususnya terkait ekologi dan sosial ekonomi, seperti karhutla [kebakaran hutan dan lahan] serta kemiskinan yang menimpa masyarakatnya. Apa yang harus dilakukan?

“Saya ibaratkan Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] sebuah laboratorium, baik ekologi, sosial ekonomi, maupun budaya. Saya harapkan berbagai pihak dapat memberikan berbagai investasi, sehingga terwujud Muba sebagai kabupaten lestari. Termasuk, mewujudkan diri sebagai Kawasan Industri Hijau Terpadu [KIHT], yang akhirnya dapat mensejahterahkan masyarakatnya,” kata Dodi Reza Alex Noerdin, Bupati Muba.

Pernyataan tersebut ia sampaikan saat berdiskusi dengan sejumlah mitra pembangunan terkait ekologi dan budaya, seperti Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan, KELOLA Sendang-ZSL, Yayasan IDH, dan Lingkar Temu Kabupaten Lestari [LTKL], di Sekayu, pertengahan September 2019.

Dodi menjelaskan, Muba memiliki semuanya, kekayaan sumber daya alam, maupun budaya. Muba sudah dikenal dunia sejak pra Kedatuan Sriwijaya karena kekayaan sumber daya alamnya, termasuk posisinya yang sangat strategis dalam pelayaran Nusantara dan dunia.

“Saat itu, rakyat hidup sejahtera dan alam lestari. Semoga, Muba ke depan dapat mengembalikan kondisi tersebut, baik melalui komoditas sumber daya alam berkelanjutan, ekologi, dan wisata,” terangnya.

Baca: Sekolah Kelapa Sawit Didirikan di Musi Banyuasin. Kenapa Bukan Pendidikan Konservasi Diutamakan?

 

Seorang perempuan dari keluarga nelayan di Sungai Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, tengah merapikan jaring. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Saat ini pendekatan lanskap berkelanjutan, Kabupaten Muba bersama Kabupaten Banyuasin, masuk dalam skema konsorsium KELOLA Sendang [Sembilang-Dangku] yang dikoordinasi ZSL. Sementara, pendekatan komoditi berkelanjutan dikoordinasi LTKL yang didukung Yayasan Inisiatif Dagang Hijau [YIDH], guna mengembangkan Kawasan Industri Hijau Berkelanjutan.

LTKL merupakan organisasi antar pemerintahan kabupaten di Indonesia yang berkomitmen melaksanakan pembangunan hijau. Saat ini Bupati Kabupaten Muba sebagai Ketua umum LTKL.

Baca: Setelah Dirikan Sekolah Kelapa Sawit, Begini Rencana Pemerintah Musi Banyuasin Selanjutnya

 

Nelayan mencari ikan di Sungai Lalan yang berbatasan dengan TN Sembilang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

KELOLA Sendang bertujuan menyelamatkan sejumlah kawasan konservasi sebagai rumah flora dan fauna khas sumatera, salah satunya harimau sumatera, serta mensejahterahkan rakyat, di tengah berbagai aktivitas ekonomi. Fokus proyek, pada kawasan Taman Nasional Sembilang, Suaka Margasatwa Bentayan dan Dangku.

Sementara Kawasan Industri Hijau Berkelanjutan memastikan semua komoditi seperti dari perkebunan dan migas tidak mengancam keberadaan lingkungan atau lestari, serta berkelanjutan. Targetnya, mampu meningkatkan kesejahteraan atau masyarakat Muba terbebas kemiskinan. Terpenting juga, bebas dari kebakaran saat kemarau, sebab tata kelola airnya terjaga.

Ada empat kecamatan yang menjadi target Kawasan Industri Hijau Berkelanjutan yakni Bayung Lencir, Lalan, Tungkal Jaya, dan Sungai Lilin. Selain menghasilkan komoditi perkebunan dan migas, juga ada potensi pariwisata sejarah dan ekowisata.

Baca: Restorasi Gambut di Musi Banyuasin Harus Selamatkan Situs Pra-Sriwijaya

 

Aktivitas masyarakat di sekitar SM Dangku. Mereka merasakan dampak positif seperti perikanan, dengan kondisi alam yang masih lestari. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Sebagai informasi luas Kabupaten Muba sekitar 1,433 juta hektar, sekitar 585 ribu hektar berupa perkebunan karet yang 95 persen merupakan perkebunan karet rakyat. Tercatat, 341 ribu hektar perkebunan kelapa sawit yang sekitar 56 persen dikuasai perusahaan. Sekitar 450 ribu hektar berupa hutan tanaman industri [HTI] yang seratus persen dikuasai perusahaan. Sebagian masyarakat Muba juga adalah sukuanak dalam [SAD].

Dari luasan tersebut, sekitar 648 ribu hektar merupakan kawasan rawa gambut atau High-Conservation Value [HCV] & High Carbon Stock [HCS] Area. Pada 2015 dan 2019, sebagian kawasan rawa gambut, seperti Muara Medak, mengalami kebakaran.

Penduduk miskin di Kabupaten Muba tercatat 105.149 jiwa. Angka ini mengalami penurunan dari 16,75 persen [2017] menjadi 16,52 persen [2018]. Jumlah penduduk tercatat sekitar 561.458 jiwa. Di Sumatera Selatan, Kabupaten Muba berada di bawah Kabupaten Musi Rawas Utara [19,49], dan Lahat [16,81].

Baca juga: Bagaimana Nasib Situs Sriwijaya di Lahan Gambut?

 

Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel, memiliki kawasan gambut yang hampir setiap tahun terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Lanskap ekologi, ekonomi dan budaya

Dr. Najib Asmani dari Yayasan Kelola Lanskap Berkelanjutan mengatakan, Muba merupakan kabupaten di Indonesia yang mendukung komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 26 persen pada 2020 dengan upaya sendiri, dan target pengurangan emisi karbon 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan dukungan international.

Terkait dukungan tersebut, Kabupaten Muba yang pertama mendukung implementasi Kemitraan Pengelolaan Lanskap [KOLEGA] di Sumatera Selatan dan perintis juga pelopor Lingkar Temu Kabupaten Lestari [LTKL], serta membentuk Pokja Pembangunan Hijau.

Najib mengapresiasi keinginan Kabupaten Muba untuk menata lanskap dari tiga kepentingan yakni ekologi, ekonomi dan budaya. “Artinya, sebuah lanskap tidak hanya dipahami hanya kepentingan konservasi juga ekonomi dan nilai-nilai budaya yang berkembang, baik masa lalu, hari ini, maupun melahirkan budaya baru yang lestari dan berperikemanusiaan,” katanya.

“Muba memiliki tiga hal tersebut. Saya optimitis Muba dapat mewujudkannya, sehingga tercapai apa yang pernah diwujudkan Kedatuan Sriwijaya selama berabad di Nusantara,” kata Najib Asmani, yang juga Staf Khusus Bupati Muba Bidang Pembangunan Hijau.

 

Sawit masih menjadi andalan di Kabupaten Muba. Tercatat 341 ribu hektar perkebunan sawit yang sekitar 56 persen dikuasai perusahaan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

VSA

Terkait komoditi berkelanjutan, akan dikembangkan VSA [Verified Sourcing Area] melalui lembaga Pusat Unggulan Komoditi Lestari [PUKL].

Ofra Shinta, Program Manager Yayasan Inisiatif Dagang Hijau [YIDH], menuturkan VSA adalah model pengelolaan sumber daya alam, yang menyatukan wilayah produksi suatu komoditas, aktor rantai pasok, dan pembeli akhir yang berkomitmen untuk menghasilkan komoditas lestari dengan memerhatikan pengelolaan dan perlindungan lingkungan.

Pelaksanaan VSA bertahap, melibatkan pihak swasta sebagai pemodal dan pembeli, pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan, serta masyarakat sebagai produsen dan pembeli.

Dibutuhkan kesepakatan antara swasta, pemerintah, dan petani di suatu wilayah produksi yang diikat dengan kesepakatan bersama atau compact. Targetnya, meliputi produksi [peningkatan produktivitas komoditas], proteksi [perlindungan hutan dan gambut] dan inklusi [peningkatan kesejahteraan petani].

“Guna mengawal pencapaian bersama ini dibentuklah Pusat Unggulan Komoditas Berkelanjutan [PUKB] atau Center of Excellence [CoE], perwakilan pemangku kepentingan memiliki kesetaraan atau equal power,” kata Ofra.

Ke depan, PUKB memastikan petani mendapatkan peningkatan kapasitas penanaman, penggunaan bahan tanam yang baik, dan pengelolaan komoditas lestari. Dengan begitu, dapat dihasilkan produk berkualitas ramah lingkungan. “Untuk pemasaran, petani dibantu mengakses pasar lebih luas di tingkat nasional maupun global, sehingga diharapkan kesejahteraan petani meningkat,” katanya.

 

Seorang warga menimbang buah sawit hasil kebunnya sebelum dijual ke perusahaan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Wisata Sriwijaya

Di Kecamatan Lalan terdapat situs permukiman pra-Sriwijaya dan era Sriwijaya. Situs hasil penelitian para arkeolog ini akan dikembangkan sebagai kawasan wisata sejarah dan ekologi yang disebut “Wanua Sriwijaya”.

“Pemerintah Kabupaten Muba akan melibatkan sejumlah sejarawan, arkeolog, pakar budaya, dan arsitek untuk menyusun dan melaksanakannya,” kata Dr. Najib Asmani.

Artefak sejarah akan didukung berbagai tradisi melayu yang masih bertahan di Kabupaten Muba. Mulai seni, seperti senjang [sastra lisan], kuliner seperti pindang ikan dan sale ikan, serta tradisi memaknai alam seperti sedekah laut. “Tradisi ini akan menghidupkan Wanua Sriwijaya tersebut,” katanya.

Beni Hernedi, Wakil Bupati Muba, dua tahun lalu pernah mengatakan restorasi gambut yang dilaksanakan di Kabupaten Muba hendaknya turut menjaga situs permukiman pra Sriwijaya dan era Sriwijaya.

“Program restorasi maupun pengelolaan lanskap Lalan berkelanjutan bukan hanya memperbaiki kondisi lahan gambut dan mensejahterahkan rakyat, tapi juga menyelamatkan berbagai situs sejarah terkait Kerajaan Sriwijaya,” papar Beni Hernedi kepada Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version