Mongabay.co.id

Nelayan, Profesi Mulia yang Masih Terabaikan

 

Pengakuan publik Indonesia dan dunia terhadap profesi nelayan sampai sekarang masih belum sebaik pengakuan untuk profesi yang lain. Fakta tersebut memicu banyaknya insiden negatif yang harus diterima oleh para nelayan Indonesia, baik yang bekerja di dalam atau luar negeri. Kondisi itu dinilai harus segera diperbaiki, karena menyangkut nasib para nelayan Indonesia yang bekerja aktif di atas kapal.

Organisasi buruh internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (ILO) menilai, Pemerintah Indonesia perlu melakukan koordinasi dan komunikasi yang intensif di tingkat nasional. Langkah itu harus diambil, karena untuk memastikan nasib profesi nelayan dalam negeri bisa sejajar dengan pekerjaan layak lain yang saat ini ada.

“Itu juga sekaligus untuk menjamin kekayaan laut Indonesia tidak dieksploitasi hanya oleh satu generasi saja,” demikian ungkap Kepala Perwakilan ILO untuk Indonesia dan Timor Leste Michiko Miyamoto dalam keterangan resmi yang dikirim kepada Mongabay, pekan lalu.

baca : Perlindungan ABK Indonesia di Luar Negeri Masih Lemah

 

Seorang nelayan hendak pulang ke Pulau Maringkik, setelah semalam penuh mencari ikan di perairan Teluk Jukung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Menurut Michiko, keberadaan profesi nelayan sampai kapan pun harus terus ada di Indonesia dan dunia. Terlebih, karena saat ini Indonesia juga sedang mengusung visi “Laut Masa Depan Bangsa” dan itu berarti laut harus bisa menopang pembangunan nasional serta sekaligus meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia di masa sekarang dan akan datang.

Pernyataan ILO tersebut menjadi penegas bahwa Indonesia harus terus berjuang untuk memberikan perlindungan kepada para nelayan yang bekerja di dalam atau luar negeri. Bagi Indonesia, pernyataan itu menjadi pemicu semangat untuk terus berjuang memberikan perlindungan kepada mereka, para pencari protein laut.

Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Basilio Dias Araujo mengatakan, Pemerintah Indonesia sudah menjalin kerja sama dengan ILO dalam melaksanakan upaya pemberian perlindungan kepada nelayan. Kerja sama tersebut, diharapkan akan bisa menekan praktik perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan di sektor kelautan dan perikanan.

 

Komitmen Negara

Hal itu diungkapkan Basilio saat menghadiri pertemuan Forum Nelayan Asia Tenggara (SEA Forum for Fishers) yang berlangsung di Bali, 25-26 September 2019. Menurutnya, pemberian perlindungan kepada nelayan, menjadi salah satu bentuk komitmen Negara untuk mewujudkan visi sebagai negara maritim yang kuat.

“Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah dengan melindungi secara penuh warga negara Indonesia yang bekerja di sektor perikanan, baik yang kerja di dalam maupun di luar negeri,” jelasnya.

Para nelayan yang harus dilindungi adalah yang bekerja di kapal-kapal milik sendiri atau milik pengusaha yang ada di dalam atau luar negeri. Mereka semua, harus mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama berkaitan dengan kondisi pekerjaannya, terutama jaminan sosial, hak berserikat dan berkumpul, dan hak-hak budaya, serta kebebasan indivisu secara kolektif (socio-cultural rights).

baca juga : Memperingati Hari Nelayan, Apakah Nelayan Makin Sejahtera?

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

 

Tentang profesi di sektor perikanan tersebut, Basilio kemudian mengutip pernyataan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) yang menyebutkan bahwa itu adalah pekerjaan yang paling kotor (dirty), berbahaya (dangerous), dan sulit (difficult). Semua klasifikasi tersebut, dalam istilah bahasa Jepang dikenal dengan sebutan Kitanai, Kiken, dan Kitsui.

Untuk itu, Pemerintah Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa profesi di sektor perikanan harus terus dilindungi, salah satunya adalah dengan menggalang kesepahaman dan kesepakatan bersama ILO dan negara-negara lain di dunia. Tujuannya, adalah bagaimana bisa tercipta perlindungan dan menjunjung hak-hak tinggi nelayan.

“Dengan melaksanakan penyusunan suatu rekomendasi kepada para pemangku kepentingan di industri perikanan dan menghimbau dilakukan ratifikasi konvensi work in fishing atau ILO 188,” ucapnya.

Di samping itu, Indonesia juga dengan tegas meminta semua negara yang terlibat untuk ikut mengesahkan empat instrumen internasional yang bisa menunjang upaya negara-negara dalam memberantas praktik illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF). Keempat instrumen itu, salah satunya adalah adalah Cape Town Agreement on Safety Fishing Vessel tahun 2012.

Kemudian, instrumen lain yang juga harus disahkan, adalah International Convention on the Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Fishing Vessel Personel (STCW-F) tahun 1995, Konvensi ILO C.188 tahun 2007 tentang Pekerjaan di Sektor Perikanan (Work in Fishing Convention), dan Port States Measures Agreement to Prevent, Deter and Eliminate IUUF.

“Serta mengimplementasikan perjanjian dan pengaturan bilateral, regional, dan multilateral yang relevan,” papar Basilio.

perlu dibaca : Kenaikan Nilai Tukar Nelayan Sejahterakan Nelayan Indonesia?

 

Nelayan merupakan profesi yang digeluti sebagian besar warga Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kesejahteraan Nelayan

Menurutnya, Forum Nelayan Asia Tenggara sangat sejalan dengan pernyataan Presiden RI yang menyebut bahwa Negara bertanggung jawab dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Juga, Indonesia memiliki tujuan pembangunan kelautan dan perikanan untuk meningkatkan sebesar-besarnya kesejahteraan nelayan.

Dengan kata lain, bertemunya para pemangku kepentingan dari setiap negara dalam forum tersebut, menjelaskan bahwa semuanya memiliki maksud dan tujuan yang sama, yaitu untuk mewujudkan pendekatan yang terarah dalam upaya penanganan masalah perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja pada sektor perikanan.

“Termasuk masalah mendasar kondisi tenaga kerjanya,” jelasnya.

Selain karena memiliki tujuan yang sama, Basilio menambahkan, forum juga memfasilitasi berbagai pertukaran pengalaman terbaik (best practices and lessons learnt) untuk penanganan perdagangan manusia dan eksploitasi tenaga kerja, perlindungan nelayan baik di tingkat nasional, regional, dan internasional.

“Semua itu, dilakukan melalui diskursus berbagai perjanjian bilateral dan multilateral tentang perlindungan nelayan dan nelayan migran,” tambahnya.

baca juga : Perempuan Nelayan, Profesi Berat tanpa Pengakuan Negara. Ada Apa?

 

Seorang nelayan sedang membetulkan jaring di pantai Depok, Yogyakarta. Foto : Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Adapun, negara yang terlibat dalam forum adalah Kamboja, Malaysia, Myanmar, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Kemudian, ada juga perwakilan organisasi internasional dari IOM dan Interpol, perwakilan dari dunia usaha, asosiasi buruh dan juga organisasi non-pemerintah seperti Plan International Indonesia, Greenpeace, Marine Change, Humanity United, dan Environmental Justice Foundation.

Selain itu, ada juga perwakilan Indonesia dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan, Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan perwakilan dari serikat pekerja dan pengusaha di sektor perikanan.

Diketahui, pada pertemuan tersebut, dihasilkan dua rekomendasi pokok, yaitu rekomendasi kepada negara bendera dan negara pantai untuk mengesahkan dan mengimplementasikan semua konvensi inti internasional untuk sektor kelautan dan perikanan seperti disebutkan di atas.

Kedua adalah rekomendasi kepada negara pasar untuk menghimbau kepada para importir di negara masing-masing agar tidak membeli produk ikan dari negara pelaku IUUF dan juga negara pelaku perdagangan manusia, kerja paksa, dan perbudakan.

Pada 2016, berdasarkan data statistik yang dirilis Kemenko Kemaritiman, jumlah nelayan perikanan tangkap mencapai 2,64 juta orang. Dengan rincian, 2,26 juta adalah nelayan tangkap perairan laut dan 378 ribu adalah nelayan tangkap perairan umum.

Seluruh nelayan tersebut diketahui mengoperasikan kapal ikan berukuran kurang dari 10 gros ton (GT) sampai 30 GT sebanyak 4.734 unit dan kurang dari 30 GT sebanyak 2.141 unit. Para nelayan tersebut, wajib mendapatkan pelindungan dari Negara sesuai ketentuan Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Peternak Garam.

 

Exit mobile version