Mongabay.co.id

Penambangan Emas Ilegal di Lombok Meredup, Penertiban Efektif? [2]

Tim penertiban PETI dari Polres Lombok Barat memasang police line di lokasi pengolahan emas di Sekotong, Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Tiga perempuan memecah batu dengan palu seukuran genggaman tangan orang dewasa. Tangan kiri mereka kayu dengan bagian depan dipasangi karet dari ban mobil.

Karet yang membentuk lingkaran itu jadi penahan batu agar tak tercecer ketika dipukul palu. Setelah cukup halus, material itu dipindahkan ke karung. Pekerjaan ini dilakoni perempuan ini sejak pukul 8.00 pagi, mereka istirahat sholat zuhur dan makan siang.

Pekerjaan kembali lanjut hingga sore. Dalam sehari, seorang perempuan mampu memecahkan tiga karung batu dari bukit-bukit pertambangan emas skala kecil.

Baca juga: Bertaruh Nyawa Demi Emas di Lombok [1]

Bebatuan halus jadi tanah itu selanjutnya masuk ke gelondongan. Gelondongan ini, merupakan tabung tempat mencampur material tanah dengan merkuri atau sianida. Gelondongan diputar dengan mesin dialiri listrik. Kalau gelondongan berukuran besar, disebut tong, mesin untuk memutar perlu tambahan genset. Lokasi tong ini biasa relatif jauh dari rumah.

Zainuddin, pemilik gelondongan bilang, saat ini tak setiap hari bisa mengolah tanah yang mengandung bijih emas. Kadang dalam sebulan, hanya dua minggu gelondongan beroperasi. Hasil pun tak banyak. Selain kandungan emas berkurang, dia sulit mencari merkuri.

Ketika kejayaan emas di Sekotong, Lombok, Nusa Tenggara Barat, sekitar 2008-2010, begitu mudah mencari merkuri. Kadang pedagang merkuri menawarkan ke lokasi gelondongan. Mereka seperti menjajakan barang dagangan biasa. Soal harga, para penambang tak pernah kesusahan. Mereka siap membeli dengan harga berapa pun.

“Barangnya (merkuri) sekarang susah,’’ katanya.

Untuk mengolahan material kadang Zainuddin bekerjasama dengan pemilik gelondongan lain yang memiliki merkuri. Mereka bagi hasil. Kalau tak ada kandungan emas, Zainuddin, yang menanggung biaya.

Kandungan emas sudah berkurang dan merkuri makin sulit, pria petani ini mulai berpikir kembali ke pekerjaan semula. Beberapa tahun belakangan ini dia kembali menggarap ladang, kalau dapat emas cukup, dia kembali mengolah emas.

“Sekarang (emas masih) jadi pekerjaan utama,’’ kata Zainuddin.

 

Buruh angkut membawa karung berisi batu dari lubang tambang. Ketika suatu lokasi banyak menghasilkan emas, biasanya diikuti kedatangan puluhan buruh. Mereka kadang membawa tinggal hingga berminggu-minggu. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Satgas Penanganan Tambang Ilegal terdiri dari aparat keamanan dan pemerintah aktif sosialisasi dan memotong rantai peredaran merkuri. Polisi, TNI, pemerintah turun ke lokasi pengolahan emas. Mereka menjelaskan bahaya merkuri dan sianida. Saat sama, operasi pembatasan peredaran merkuri juga gencar.

Darsono Setyo Adjie, Kasubid IB Ditreskrimum Polda NTB, bilang, baru-baru ini tim mereka mengamankan empat orang terlibat peredaran merkuri. Empat pelaku berinisial MM, T, S, dan U. Mereka ditangkap sebelum menjual tiga botol merkuri masing-masing satu kg. Perdagangan merkuri terbongkar berawal dari penangkapan U. Saat itu, U sedang transaksi pembeli merkuri di toko tukang mas milik MM.

Hasil interogasi terhadap MM, polisi mendapat informasi barang dari T. T ini yang menyuruh S mengantarkan merkuri ke MM.. T, bukan kali ini terlibat transaksi merkuri. Sebelumnya, dia pernah tertangkap menjual merkuri dan diproses hukum oleh Polda NTB.

Para pengedar merkuri itu dijerat Pasal 106 Jo Pasal 24 ayat (1) UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan. Pelaku perdagangan tak berizin dari menteri terancam pidana penjara paling lama empat tahun atau denda maksimal Rp10 miliar.

“Sejak 2017, kami sosialisasi ini,’’ kata Darsono.

Selain mendekati para pemilik gelondongan, polisi juga gencar mengawasi celah peredaran merkuri. Dampak pengetatan ini, harga merkuri di pasaran melonjak tajam. Dulu harga satu kg merkuri Rp550.000, sekarang jadi Rp1,6 juta. Walaupun kenaikan tinggi, para penambang tetap berani membeli, tanpa merkuri mereka tak bisa olah jadi emas.

Setelah melihat aktivitas di pengolahan berkurang, perlahan polisi menutup tempat pengolahan itu. Polres Lombok Barat mamasang police line di beberapa lokasi pengolahan emas.

Dalam penertiban sepanjang Agustus-September ini, Satgas penanganan tambang ilegal Lombok Barat dipimpin Kapolres Lobar AKBP Heri Wahyudi. Sekitar 150 anggota satgas terdiri dari kepolisian Polres Lobar, dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Lombok Barat dikerahkan. Satgas dibagi jadi dua regu untuk dua lokasi berbeda, yakni, Desa Sekotong Tengah dan Desa Taman Baru.

Berdasarkan data satgas itu, hasil penertiban Desa Sekotong Tengah ada lima lokasi pengolahan emas terpasang police line, antara lain, Dusun Sekotong (40 gelondong, satu mesin genset). Kemudian, Dusun Lendang Re, pada empat pemilik berbeda, menyita 14 tong, enam gelondong, dan tiga mesin genset.

Untuk Desa Taman Baru, di dua dusun yaitu Dusun Eyat Pece dan Dusun Batu Putih, menertibkan 22 tong, 42 gelondongan, 12 jenset, dan 24 kompresor. Alat-alat itu ditemukan pada lima titik dan pemilik berbeda serta rata-rata sudah tak beroperasi selama 2-6 bulan.

Alat-alat yang tak beroperasi ini kemungkinan karena tak mendapatkan pasokan merkuri, kandungan emas berkurang, atau kekurangan modal.

Tim dari Polres Lombok Tengah juga bergerak ke Gunung Prabu. Hasilnya, sepanjang tahun ini, sudah ada sembilan lokasi penambangan ditutup. Penutupan tambang di Prabu juga langsung berdampak pada penutupan beberapa pengolahan gelondongan.

“Penutupan ini masih bagian dari sosialisasi,’’ katanya.

 

Salah satu lokasi tambang emas di Sekotong, mereka menebang pohon dan merusak pegunungan. Kondisi ini rawan mengakibatkan longsor. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Darsono bilang, kepolisian tak ingin langsung menindak. Dia tahu dampak yang ditimbulkan kalau langsung penindakan. Penutupan lokasi tambang dan penyegelan tempat pengolahan pun secara hati-hati.

Kepolisian, katanya, mengajak dialog tokoh masyarakat, para pelaku penambangan, termasuk pemilik gelondongan. Kepolisian juga intens koordinasi dengan pemerintah, terutama Dinas Perdagangan.

“Karena kewenangan peredaran sianida itu ada pada Dinas Perdagangan,’’ katanya.

Upaya penertiban Satgas Penanganan Tambang Emas Ilegal ini cukup berhasil. Tak ada gejolak di tengah masyarakat. Walaupun ada protes, lebih kepada keinginan mereka agar disiapkan lapangan pekerjaan pengganti.

“Kita juga pikirkan nasib mereka, ini dampak ekonomi harus kita pikirkan,’’ kata Darsono.

Setelah peredaran merkuri berhasil ditekan, satgas juga mengawasi peredaran bahan bakar minyak (BBM). BBM ini dipakai para pemilik lubang galian tambang skala besar. Mereka menggunakan alat berat. Mereka mengoperasikan mesin untuk memecah batu. Termasuk juga mesin genset besar dalam proses pengolahan.

Beberapa waktu lalu, Polda NTB mengamankan ribuan liter BBM di Sumbawa. Diduga BBM akan dipakai untuk tambang illegal di Lunyuk dan Ropang. Ropang, adalah daerah paling banyak tambang ilegal.

Ropang juga konsesi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) yang berubah nama menjadi PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT). Ropang juga konsesi PT Sumbawa Juta Raya (SJR).

“Kalau kita potong distribusi BBM, mereka tak bisa gerakkan mesin,’’ kata Darsono.

Dinas Perdagangan NTB juga menyisir peredaran sianida. Kepala Dinas Perdagangan NTB, Selly Andayani meminta, distributor sianida terdaftar, PT Sumber Hidup Chemindo, menarik barang mereka.

Sianida yang beredar di tambang emas di Prabu dan Sekotong berasal dari perusahaan ini. Dinas Perdagangan meminta mereka mengembalikan barang itu ke Surabaya.

Saat ini, ada 199 drum sianida terdata. Satu drum sekitar 50 kg. Dalam Permendag Nomor 47/2019 tentang pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya, distributor tak boleh langsung menjual sianida ke konsumen. Mereka harus melalui pengecer.

Di Lombok, tidak ada pengecer terdata. Distributor langsung menjual ke konsumen. Walaupun ada pihak ketiga yang menjadi perantara, status mereka bukan pengecer.

 

Gunung Prabu menjadi tandus akibat proses penambangan emas yang berlangsung bertahun-tahun. Foto: Fathul Rakhman /Mongabay Indonesia

 

Solusi setelah tambang tutup?

Pertemuan 11 September di Kantor Bupati Lombok Barat antara para kepala desa, pemerintah kabupaten, kepolisian, dan TNI berlangsung cukup dinamis. Rapat tentang penertiban tambang emas ilegal itu menekankan, dalam upaya penertiban harus hati-hati. Jangan sampai terjadi gejolak di tengah masyarakat.

Rapat dipimpin Asisten II Setda Lombok Barat Lale Prayatni itu menekankan agar pendataan kembali, pemilik tambang, maupun pemilik pengolahan emas.

Dalam kasus di Sekotong, orang-orang yang beroperasi di lokasi tambang sebenarnya lebih banyak buruh. Pemilik modal tidak setiap saat di lokasi.

Kepala Desa Buwun Mas Rochidi meminta, dalam upaya penertiban, melibatkan pihak desa. Kalau terjadi masalah, katanya, pihak desa paling awal diprotes. “Jangan sampai penertiban itu, justru diketahui setelah terjadi keributan.”

Selain menyuarakan penertiban pelahan, para kepala desa dari daerah-daerah yang jadi lokasi penambangan meminta alternatif pekerjaan. Jangan sampai, katanya, setelah semua tambang ditutup, justru mendatangkan masalah baru di desa.

Para penambang di masing-masing desa bisa mencapai 10% dari jumlah penduduk. Artinya,kalau ada penutupan tambang, ada ribuan pengangguran baru di Kecamatan Sekotong.

“Pada akhirnya itu bisa berimbas pada keamanan,’’ katanya.

Lahan-lahan di Sekotong didominasi perbukitan. Sangat sedikit lahan datar yang bisa jadi lahan pertanian (sawah). Sebagian petani adalah petani ladang. Mereka hanya bisa menanami lahan sekali setahun, saat musim hujan. Mereka menanam jagung dan palawija.

Pada musim kemarau, mereka membiarkan lahan menganggur. Para petani inilah yang sebagian mencari tambahan uang dari usaha tambang.

Para pria biasa menjadi buruh angkut karang berisi batu dari lubang tambang ke tempat penampungan. Perempuan menjadi buruh pemecah batu. Ada juga yang menjadi buruh angkut kalau jarak dekat.

Tak ada lahan irigasi yang bisa mengairi lahan-lahan di Sekotong. Posisi di perbukitan sangat sulit terjangkau jaringan air. Walaupun beradar di pinggir pantai, para penduduk Sekotong juga bukan sepenuhnya nelayan. Mereka menangkap ikan hanya di sekitar pesisir sambil mengembalakan sapi mereka.

“Sekarang rata-rata dapat Rp3 juta. Kalau dulu bisa sampai Rp10 juta bersih sebulan,’’ kata Burhan, penambang, sebelumnya petani.

Daerah Sekotong Lombok Barat dan Gunung Prabu Lombok Tengah dikenal memiliki pemandangan indah. Sebagian berpasir putih. Di Sekotong juga ada beberapa gili (pulau kecil) yang sudah cukup dikenal sebagai tujuan wisata. Beberapa even pariwisata seperti Mekaki Marathon juga rutin digelar untuk mempromosikan pariwisata Sekotong. Harapan pemerintah, ketika pariwisata maju bisa mengubah lapangan pekerjaan masyarakat.

Rozak, pegiat pariwisata bilang, kendala pengembangan pariwisata adalah infrastrutkur dan telekomunikasi.

Di Blongas, daerahnya, dikenal dengan pantai pasir putih dan lokasi penyelaman melihat hiu. Akses jalan baru-baru ini mulus, tetapi komunikasi masing banyak blank spot. Kondisi inilah, katanya, yang menghambat perkembangan pariwisata di Sekotong.

Rozak juga mantan penambang. Dia sempat ikut penambangan di Bukit Malaikat. Tugasnya, jadi penyalur logistik. Belakangan Rozak memilih membuka usaha perjalanan wisata. Dia menyediakan paket tur sekaligus dokumentasi.

Dia melihat, kalau pemerintah serius mengembangkan pariwisata, lambat laut para penambang akan beralih.

“Makin lama juga makin sulit dan mahal biaya operasional tambang,’’ katanya.

Gunung Prabu, lokasi tambang emas di Lombok Tengah masuk dalam pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Alih-alih menyiapkan diri menyambut pariwisata, masyarakat justru mengeruk gunung untuk tambang emas. Padahal gunung yang dikeruk itu lokasi terbaik kalau ingin melihat pesisir pantai selatan Lombok Tengah. Tak jauh dari lokasi juga spot paralayang terbaik di Pulau Lombok.

“Kami berharap ada penyiapan sumber daya manusia masyarakat agar siap dengan pariwisata. Tidak sekadar jadi penonton,’’ kata Lalu Sandika, pegiat wisata di Lombok Tengah.

Sandika dan Rozak, anak muda yang merasakan dampak positif pariwisata berharap pemerintah juga harus mulai memikirkan pasca penutupan tambang. Bukit-bukit yang berlubang dan gundul karena penambangan harus direhabilitasi kembali.

Lokasi tambang yang sudah ditutup, harus segera direhabilitasi. Begitu juga lokasi-lokasi lain yang akan ditutup, harus mulai pendekatan ke masyarakat agar mereka mau membantu rehabilitasi.

“Kalau kembali jadi hutan asri, akan menjadi tempat wisata paling bagus Prabu itu,’’ kata Sandika. (Selesai)

 

 

Keterangan foto utama:   Tim penertiban PETI dari Polres Lombok Barat memasang police line di lokasi pengolahan emas di Sekotong, Lombok Barat. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Gelondongan skala besar yang dikenal dengan tong tak jauh dari pantai di Buwun Mas Sekotong, Lombok Barat. Hasil riset beberapa lembaga menyebutkan sudah terjadi pencemaran akibat mekuri. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Exit mobile version