Mongabay.co.id

Pulihkan Hak Masyarakat Adat

Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Pada 9 Agustus 2019, masyarakat adat merayakan Hari Internasional Masyarakat Adat. Hari ini dirayakan sejak Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) pada 1994. Deklarasi PBB ini memuat hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, baik kolektif maupun Individual.

Dalam kenyataan, masyarakat adat sampai saat ini masih menghadapi eksklusi sosial (pengucilan sosial) yang merupakan akar deskriminasi, peminggiran hak dan penghilangan martabat kemanusiaan.

 

Eksklusi sosial

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyebutkan, populasi masyarakat adat di Indonesia sekitar 40-50 juta orang. Mereka adalah kelompok masyarakat organik tradisional yang mempunyai ikatan erat dengan alam. Bagi masyarakat adat, alam membentuk cara pandang (world view) dan kekhasan tata sosial, yang seringkali dianggap berbeda dari masyarakat luas.

Kekhasan tata sosial masyarakat adat ini, seringkali tak dipahami masyarakat luas. Persepsi umum masih diselimuti prasangka negatif tentang cara hidup mereka, misal, julukan orang udik, primitif, anti pembangunan, dan stereotip lain.

Selaras dengan itu, ikatan masyarakat adat dengan alam mengandung dimensi spiritual (magis-relijius). Dimensi ini adalah kearifan lokal yang membentuk karakter religius masyarakat adat. Karakter religius masyarakat adat ini masih berada pada posisi sub-kultur, terutama setelah berhadapan dengan kebudayaan agama-agama arus utama.

Dampaknya, kearifan lokal dianggap sebagai penyimpangan dari agama-agama arus utama. Cara pandang ini mempertebal stigma terhadap masyarakat adat sebagai kelompok yang menyimpang dari norma umum yang mapan.

Stigma terhadap masyarakat adat adalah akar eksklusi sosial bagi kelompok ini, yang menyebabkan marjinalisasi dan deskriminasi. Bila ditelisik lagi, eksklusi sosial terhadap masyarakat adat adalah situasi penolakan dan ostracism. Penolakan terjadi terhadap individu dan sekaligus kelompok masyarakat adat karena identitas sosial dianggap berbeda.

Sedangkan, dalam konteks ostracism, yaitu, terjadi pengabaian individu dan kelompok masyarakat adat dalam relasi-relasi sosial dengan masyarakat luas. Akibatnya, ada identitas adat dianggap menyimpang itu.

 

Perempuan Suku Besemah, baik muda maupun tua tetap bekerja bersama lelaki mengurus rumah, sawah, kebun, tebat, sungai serta hutan. Dua perempuan ini dari masyarakat adat Puyang Kedung Samad, Pagaralam, Sumsel. Foto Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Upaya inklusif

Secara sederhana, inklusi sosial adalah kebalikan dari eksklusi sosial. Inklusi sosial sendiri merupakan pendekatan yang mendorong proses membangun relasi sosial dan penghormatan terhadap individu serta komunitas. Hingga mereka yang marjinal dan mengalami prasangka dapat berpartisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, kehidupan ekonomi, sosial, politik, budaya, serta memiliki akses dan kontrol yang sama atas sumber daya.

Paling tidak, rumusan inklusi sosial diatas mencakup dua cara. Pertama, gambaran secara luas kepada para pemangku kebijakan bahwa inklusi sosial adalah proses-proses perbaikan persyaratan bagi kelompok-kelompok marjinal untuk bisa ambil bagian (partisipasi penuh) dalam masyarakat.

Kedua, panduan kepada masyarakat tentang pemenuhan syarat-syarat untuk meningkatkan inklusi sosial, dan untuk siapa syarat itu diterapkan. Artinya, inklusi sosial mencakup proses-proses meningkatkan kemampuan, kesempatan dan martabat kelompok-kelompok marjinal untuk mendapatkan pengakuan dan ambil bagian dalam masyarakat.

Selaras dengan itu, Bank Dunia (2013) menyebutkan, masyarakat inklusif dapat dicapai melalui tiga bidang, yaitu, pasar, ruang dan layanan sosial. Tiga bidang ini saling berkaitan dan memiliki hambatan sekaligus peluang untuk inklusi sosial.

 

Ruang dan pasar

Bidang pasar dan ruang meliputi empat unsur, yaitu, tanah, perumahan, tenaga kerja, dan kredit. Dalam konteks masyarakat adat, unsur yang paling penting adalah tanah, selain tiga lain. Hal ini, katanya, terkait karakter sosial masyarakat adat yang mempunyai ikatan erat dengan alam.

Bagi masyarakat adat, tanah adalah ruang yang dimaknai sebagai aset (kekayaan) sekaligus identitas sosial-budaya. Sebagai aset, tanah adalah sumber daya yang dapat dikelola dan dipungut, yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja, pemukiman komunal dan modal pengembangan ekonomi. Sedangkan, sebagai identitas sosial dan budaya, tanah adalah ruang ekspresi spiritual dan budaya.

Akses legal masyarakat adat atas tanah masih jadi persoalan. Perangkat hukum Indonesia, belum sepenuhnya memberikan perlindungan menyeluruh hak masyarakat adat atas tanah. Kondisi ini, berkaitan dengan masih berlakukan pengakuan bersyarat (conditionalities) hak masyarakat adat dan sektoralisme pengurusan agraria.

Paling tidak, pemerintah mencoba membuka akses legal ini, walaupun masih bersifat sektoral, sebagaiman terlihat dalam program perhutanan sosial, hutan adat, dan pendaftaran tanah komunal adat.

Sampai saat ini, pemerintah telah menargetkan 12,7 juta hektar lahan untuk perhutanan sosial, yang di dalamnya untuk masyarakat adat.

 

Masyarakat penjaga hutan. Pepohonan di hutan adat Marena. Kala akses kelola dan hak kelola, mereka bisa menjaga hutan sekaligus memanfaatkannya. Foto: Minnie Rivai/ Mongabay Indonesia

 

 

Layanan dasar

Bidang lain untuk menumbuhkan inklusi sosial adalah akses layanan dasar bagi masyarakat adat. Penyediaan layanan dasar yang baik dan mudah terakses, seperti layanan kesehatan dan pendidikan akan meningkatkan sumber daya manusia komunitas adat. Layanan dasar ini akan jadi bantalan peredam bagi masyarakat adat terhadap guncangan sosial ekonomi, sekaligus meningkatkan kesejahteraan.

Begitu juga dengan layanan transportasi, yang akan meningkatkan mobilitas dan menghubungkan individu serta komunitas adat dengan peluang yang ada. Pada konteks masyarakat adat, misal, layanan transportasi jadi penting karena umumnya mereka hidup pada lokasi-lokasi terpencil.

Selain terisolasi geografis, masyarakat adat juga mengalami isolasi sosial. Banyak kasus menunjukkan, isolasi sosial menutup akses masyarakat adat atas layanan-layanan dasar. Misal, kasus Suku Anak Dalam di Jambi. Pada kasus ini, pemerintah daerah lakukan berbagai upaya. Pemerintah Merangin, Jambi, misal, telah inovasi layanan pendidikan khusus bagi anak-anak SAD.

Selaras dengan itu, pada tingkat relasi sosial dalam masyarakat, perlu kiranya mendorong dialog-dialog antar komunitas yang toleran dan terbuka. Dialog antar komunitas akan jadi wahana saling pengertian tentang keberagaman nilai dan budaya yang berkontribusi pada pengurangan stigma terhadap masyarakat adat.

Demikianlah, sejatinya inklusi sosial bagi masyarakat adat adalah upaya memulihkan martabat kemanusiaan masyarakat adat sebagai warga negara. Inklusi sosial mesti dimantapkan dengan kebijakan affirmative untuk memperkuat akses masyarakat adat terhadap ruang, pasar dan layanan dasar. Salah satu kebijakan yang perlu dilahirkan adalah Undang–undang tentang Masyarakat Adat, yang telah dibahas sejak 2013 dan belum kunjung disahkan.

*Penulis: adalah peneliti socio-legal dan advokat. Tulisan ini merupakan opini penulis.

 

Keterangan foto utama: Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Warga adat di Sungai Utik ini bisa menjaga hutan mereka tetapi belum juga mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui penetapan wilayah atau hutan adat. Foto: Rhett A. Butler

Pemandangan hutan rimba Komunitas Adat Laman Kinipan, yang sudah jadi kebun sawit. Belum adanya pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat ini menyebabkan warga hidup dalam ketidakpastian. Foto: dokumen Laman Kinipan

 

 

Exit mobile version