Mongabay.co.id

Likuifaksi, Bisa Juga Terjadi di Bengkulu [Bagian 4]

4. Danau Dendam Tak Sudah yang berjarak 6 kilometer dari pusat Kota Bengkulu dilihat dari udara. Foto: Sui Bengkulu/Mongabay Indonesia

 

 

Baca sebelumnya:

Masih Membekas, Gempa Bengkulu 12 Tahun Lalu [Bagian 1]

Jika Bengkulu Diterjang Tsunami, Begini Pemodelan Tinggi Gelombang dan Waktu Evakuasi [Bagian 2]

Sabuk Hijau Peredam Tsunami yang Hilang [Bagian 3]

**

 

Selain gempa dan tsunami, potensi likuifaksi juga mengancam Bengkulu, seperti yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018.

Peneliti Geoteknologi LIPI, Adrian Tohari mengatakan, sebaiknya Provinsi Bengkulu bersiap diri menghadapi likuifaksi.

“Memang, likuifaksi di Palu potensinya lebih berbahaya ketimbang Bengkulu. Tapi, tidak ada salahnya bila pemerintah dan masyarakat mengetahui ancaman tersebut agar meminimalisir dampak bencana,” terangnya kepada Mongabay, Jumat [20/9/2019].

Adrian Tohari sudah melakukan kajian likuifaksi di Bengkulu pada 2007. Hasilnya, wilayah ini rentan sekali dengan tanah amblas akibat gempa.

Berdasarkan peta geologi dan hasil penelitian Adrian, lapisan tanah di pesisir Bengkulu terbentuk oleh endapan pasir berdasarkan variasi kepadatan dan kedalaman. “Lapisan pasir yang tidak padat itu cenderung amblas ketika terjadi gempa,” katanya.

Adrian juga menjelaskan, wilayah pesisir Kota Bengkulu memilik air tanah yang dangkal, berkisar 2-4 meter dari permukaan darat. “Menyebabkan lapisan tanah tidak padat. Air tanah yang dangkal akan luruh ketika gempa bumi dahsyat terjadi,” lanjutnya.

 

Nelayan tradisional mencari ikan di Danau Dendam Tak Sudah. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Adapun wilayah dengan kerentanan tinggi terjadinya likuifaksi di Bengkulu adalah sepanjang Pantai Panjang, Lempuing, Penurunan, Padang Harapan, Kandang, Teluk Sepang, dan sekitar Danau Dendam Tak Sudah. Alasannya, daerah ini terdiri dataran yang tersusun endapan pasir.

Wilayah dengan kerentanan sedang dan rendah meliputi daerah ketinggian, yang tersusun endapan vulkanik, seperti Pagardewa, Pekan Sabtu, Dusun Besar, Kebon Tebeng, Sukarami, dan Kota Bengkulu.

“Walau demikian, likuifaksi Palu dan Bengkulu berbeda. Kalau di Palu seperti tanah meleleh karena amblas sekian meter, sehingga berdampak merobohkan rumah, sedangkan likuifaksi Bengkulu berupa amblas tanah berapa sentimeter. Dampaknya, penurunan pondasi bangunan,” jelas dia.

“Mitigasi terbaik menghindari likuifaksi adalah membuat peta zonasi kerentanan amblasan,” kata dia.

 

Danau Dendam Tak Sudah yang berjarak 6 kilometer dari pusat Kota Bengkulu dilihat dari udara. Foto: Sui Bengkulu/Mongabay Indonesia

 

Kajian juga dilakukan Peneliti Pusat Sumber Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Sugalang dan Taufiq Wira Buana. Penelitian mereka berjudul “Potensi Likuifaksi Daerah Kota Bengkulu Provinsi Bengkulu” yang dimuat di Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol.22 No. 2 Agustus 2012.

Dalam penetian itu dijelaskan daerah Tanah Jambu, Bentiring, Semarang, Surabaya, Padang Harapan, Jatigedong, Kandamas, Pasar Aceh, dan Pasar Lebar merupakan daerah dengan potensi likuifaksi sangat tinggi.

Untuk menghindari dampaknya, Sugalang dalam jurnalnya menyarankan bangunan fisik yang bertumpu pada endapan tanah pasir perlu diperkuatan pondasinya. Selain itu, penataan ruang terhadap kawasan permukiman, industri, dan bangunan vital lainnya ditempatkan di area yang tidak berpotensi likuifaksi.

 

Pantai Panjang sebagai destinasi wisata favorit Kota Bengkulu. Foto: Ahmad Supardi/Mongabay Indonesia

 

Likuifaksi

Ahli geologi dari ITB, Imam Achmad Sadinum menjelaskan, fenomena likuifaksi secara sederhana diartikan sebagai perubahan material padat [solid], dalam hal ini endapan sedimen atau tanah sedimen, yang akibat gempa, meterial tersebut seakan berubah karekternya seperti cairan [liquid].

Sebenarnya fenomena ini bisa terjadi pada tanah yang jenuh air [saturated]. Air tersebut terdapat di antara pori-pori tanah dan membentuk air pori.

“Tanah yang berpotensi likuifaksi umumnya tersusun atas material yang didominasi oleh ukuran pasir,” tulis Imam di situs Itb.ac.id.

 

Foto wilayah Palu yg terkena likuifaksi diolah oleh Lapan, Center for Remote Sensing ITB dan AIT. Sumber: ITB.ac.id

 

Kejadian likufaksi di Palu tahun lalu berawal dari rentetan gempa pukul 15.00 WITA dengan kekuatan magnitudo 6.0. Puncak gempa pada pukul 18.02 WITA, berpusat di utara Donggala sejauh 26 kilometer, dan 80 kilometer barat laut Kota Palu dengan kedalamn 10 kilometer.

Gempa sore itu berkekuatan magnitudo 7.4. Goncangan terasa dari Kabupaten Dongala, Kota Palu, Perigi Moutong, Sigi, Poso, Memuju, Tolitoli, Samarinda, Balikpapan hingga Makassar.

Lima menit setelah gempa, Badan Meteologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG] merilis peringatan tsunami. Lima menit setelah peringatan itu, tsunami menerjang Donggala dengan ketinggian air tujuh meter, bahkan di Wani gelombang setingi 15 meter.

Gelombang itu juga menghantam ujung Teluk Palu, kawasan paling ramai penduduk di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Juga merobohkan ikon Kota Palu, Jembatan Ponulele.

Beberapa saat setelah gempa bumi, muncul gejala likuifaksi, terutama di Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu.

Saat likuifaksi, terjadi kenaikan dan penurunan permukaan tanah, bahkan beberapa bagian amblas 5 meter, dan bagian lain naik 2 meter.

Laporan Dampak Bencana Gempa, Tsunami dan Likuifaksi, yang disampaikan Pemerintah Sulawesi Tengah pada 22 Februari 2019, menunjukkan, korban meninggal dunia sebanyak 2.830 jiwa, terkubul massal 1.016 jiwa, hilang 701 jiwa, serta pengungsi sekitar 172.999 jiwa. [Selesai]

 

 

Exit mobile version