Mongabay.co.id

Pemerintah Aceh Diminta Lindungi Hutan dari Aktivitas Pertambangan

Kawasan Ekosistem LEuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah

 

 

Pemerintah Provinsi Aceh telah mencabut 98 izin usaha pertambangan [IUP] eksplorasi dan operasi produksi mineral logam dan batubara. Keputusan tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 540/1436/2018 tanggal 27 Desember 2018.

Dari 98 IUP, tercatat luas hutan dan bukan kawasan hutan yang dikuasai perusahaan mencapai 549.119 hektar. Meski IUP telah dicabut, namun dalam keputusan itu disebutkan pula, tidak menghilangkan kewajiban keuangan pemegang IUP di Aceh untuk menyelesaikan tunggakan penerimaan negara bukan pajak [PNBP]. Jumlah total PNBP yang belum lunas mencapai Rp41 miliar.

Baca: Pemerintan Aceh Tidak Lagi Perpanjang Moratorium Tambang, Mengapa?

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Menanggapi pencabutan IUP tersebut, Gerakan Anti Korupsi [GeRAK] Aceh bersama Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] mendesak Pelaksana Tugas [Plt] Gubernur Aceh, Nova Iriansyah untuk melakukan proteksi hutan dari segala kegiatan pertambangan.

Mereka menilai, Pemerintah Aceh harus segera melakukan perlindungan hutan dan lahan sehingga tidak lagi dimanfaatkan perusahaan tambang.

Fernan, Kepala Divisi Kebijakan Publik GeRAK Aceh, Sabtu [05/10/2019] mengatakan, dalam diseminasi data luasan hutan yang diselamatkan pasca-pengakhiran 98 IUP, diketahui seluruh izin tersebut tersebar di 14 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.

Rinciannya, Kabupaten Aceh Besar [4 IUP, 4.656 hektar], Aceh Jaya [10 IUP, 31.368 hektar], Aceh Barat [7 IUP, 20.329 hektar], Nagan Raya [1 IUP, 90.576 hektar], Aceh Barat Daya [2 IUP, 298,9 hektar], Aceh Selatan [14 IUP, 59.826 hektar], dan Aceh Singkil [6 IUP, 46.313 hektar].

Berikutnya, Gayo Lues [2 IUP, 41.200 hektar], Aceh Tamiang [4 IUP, 33.559 hektar], Aceh Tengah [13 IUP, 190.568 hektar], Aceh Timur [2 IUP, 6.080 hektar], Pidie Jaya [2 IUP, 2.555 hektar], Pidie [14 IUP, 114.205 hektar], dan Kota Subussalam [8 IUP, 6.227 hektar].

Fernan menjelaskan, berdasarkan hasil analisis data luasan eks wilayah IUP tersebut, diperoleh gambaran bahwa 305.589 hektar berada di kawasan hutan. Sisanya, 242.499 hektar di areal penggunaan lain [APL].

“Hasil interpretasi citra satelit menunjukkan, dari total luasan IUP itu, sekitar 286.293 hektar masih memiliki tutupan hutan, selebihnya tidak berhutan. Dari eks IUP itu, yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] seluas 181.673 hektar,” ujarnya.

Baca juga: Pemerintah Aceh Menutup Rapat Data Pertambangan, Alasannya?

 

Hutan alami di Aceh yang harus dijaga dari perambahan dan juga alih fungsi menjadi perkebunanan dan ancaman pertambangan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tidak diperpanjang moratorium tambang

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani menilai, tidak diperpanjangnya moratorium tambang di Aceh merupakan keputusan yang tidak tepat, karena masih banyak persoalan sumber daya alam yang belum ditertibkan.

“Banyak alasan yang bisa dipakai untuk kembali memberlakukan moratorium tambang. Misal, belum ada penyusunan wilayah izin usaha pertambangan [WIUP] dan sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh. Potensi kerugian negara akibat tunggakan piutang penerimaan negara bukan pajak [PNBP] juga belum selesai jumlahnya mencapai Rp41 miliar,” jelasnya.

Masalah lain, sambung Askhalani, lemahnya pengawasan reklamasi dan pasca-tambang. Banyaknya IUP di kawasan hutan lindung harus menjadi tolok ukur memperpanjang jeda tambang ini. IUP yang sudah clean and clear [CnC] juga, masih menimbulkan masalah serta konflik dengan masyarakat.

“Kami mendesak Plt. Gubernur untuk memperpanjang moratorium tambang. Banyak manfaat yang dirasakan masyarakat dan pemerintah sejak penertiban tambang dilakukan. Bahkan, hutan jauh dari ancaman perusahaan,” tegasnya.

 

Tumpahan batubara di Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, awal Agustus 2018. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Sekretaris Yayasan HAkA, Badrul menyampaikan, terdapat beberapa poin yang harus dilaksanakan Pemerintah Aceh, terkait urusan tambang. Validasi data dengan melakukan ground checking untuk mendapatkan gambaran nyata terhadap eks WIUP harus ada.

“Pemerintah Aceh juga harus mempertimbangkan kembali peruntukan bekas WIUP di kawasan hutan maupun APL yang bernilai sosial dan ekologi tinggi,” ujarnya.

Badrul mengatakan, Pemerintah Aceh perlu mempertimbangkan kembali pemanfaatan hutan dan lahan tersebut sebagai potensi kema perhutanan sosial yang diintegrasikan dalam pola ruang Peninjauan Kembali [PK] Rancangan Tata Ruang Wilayah Aceh [RTRWA]. Diusulkan, menjadi Peta Indikatif Alokasi Perhutanan Sosial [PIAPS] di Aceh.

“Selain itu, Pemerintah Aceh perlu melanjutkan moratorium izin tambang, guna menjamin peruntukan hutan dan lahan. Tentunya, dengan mempertimbangkan pembangunan berkelanjutan serta tujuan pembangunan Aceh sebagaimana UU Pemerintah Aceh,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version