Mongabay.co.id

Katak Tanduk, Spesies Baru dari Kalimantan

 

 

Penemuan spesies baru terus diungkap. Di tengah ancaman kerusakan habitat, sejumlah spesies yang belum teridentifikasi diyakini masih bertahan hidup.

Para peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI] bersama Kyoto University, Aichi University of Education, Institut Teknologi Bandung dan Universitas Negeri Semarang berhasil mengidentifikasi spesies baru katak tanduk dari Kalimantan. Temuan itu sudah dipublikasikan dalam Jurnal Zootaxa Vol. 4679, No. 1 [2019].

Amir Hamidy, peneliti herpetologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI yang juga tergabung dalam penulisan jurnal tersebut kepada Mongabay Indonesia mengungkapkan, katak tanduk kalimantan dengan nama ilmiah Megophrys kalimantanensis itu dikoleksi dari ekspedisi di pegunungan Meratus, [Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur], serta di Bario [Sarawak] dan pegunungan Crocker di Sabah, Malaysia.

Dia menuturkan, karena karakternya sangat mirip, katak tanduk kalimantan itu awalnya diduga merupakan katak tanduk pinokio [Megophrys nasuta] yang tersebar luas mulai dari Sumatera, Kalimantan, Semenanjung Malaya dan pulau kecil sekitar. Namun, setelah dilakukan analisa mendalam melalui sejumlah pendekatan identifikasi, spesimen yang sebelumnya diduga sebagai katak tanduk pinokio itu tervalidasi sebagai spesies berbeda. Belum memiliki nama ilmiah.

Baca: Katak Bertanduk Lancip Ini Jenis Baru di Sumatera

 

Katak tanduk kalimantan yang resmi sebagai jenis baru. Foto: Tomohiko Shimada/LIPI

 

Dalam laporan berjudul A new species of Megophrys Kuhl & Van Hasselt [Amphibia: Megophryidae] from Borneo allied to M. nasuta, spesies katak baru itu memiliki tanduk atau dermal accessory pada bagian moncong dan mata lebih pendek dibandingkan katak tanduk pinokio. Selain itu, terdapat sepasang lipatan lateral tambahan pada sayap. Saat masih kecebong, katak baru itu berwarna cokelat tua yang cenderung ke oranye-cokelat dan berubah menjadi cokelat pucat saat dewasa.

“Dari struktur suara panggilan atau akustik, individu jantan dari spesies baru itu memiliki variasi lebih banyak dan lebih panjang dibandingkan katak tanduk pinokio. Berdasarkan analisis dan deskripsi dengan membandingkan karakter struktur morfologi, molekuler dan suara panggilan, tim peneliti menyimpulkan spesies itu merupakan jenis baru dan terpisah,” jelas Amir, Rabu [9 Oktober 2019].

Amir mengungkapkan, proses pengumpulan data katak baru tersebut membutuhkan waktu hampir 10 tahun. Spesimen pertamanya sudah dikoleksi pada 2008 oleh peneliti senior Pusat Penelitian Biologi LIPI, Irvan Sidik, namun dengan nama katak tanduk pinokio.

Penemuan katak tanduk kalimantan yang tersebar di bagian pegunungan utara Borneo, Malaysia dan Pegunungan Meratus, Kalimantan, Indonesia ini sebenarnya sangat mengejutkan peneliti. Sebab, lokasi keduanya terpisah jauh sekitar 950 kilometer. Kendati begitu, kedua populasi tersebut memiliki variasi genetik sangat rendah dan menunjukkan sebagai spesies yang sama.

“Batas Malaysia dengan Indonesia tidak berlaku untuk spesies baru ini. Hamparan gambut dan hutan dataran rendah di antara bagian utara dan selatan Kalimantan sepertinya menjadi penentu, sehingga spesies baru ini hanya dapat ditemukan di kawasan pegunungan baik di utara maupun selatan pulau,” ujar Amir.

Baca: Sigale-gale, Marga dan Jenis Kodok Baru di Sumatera

 

 

Selain spesies baru katak tanduk kalimantan dari marga Megophrys, para peneliti juga berhasil mengungkapkan tiga spesies baru kodok marga Sigalegalephrynus di hutan dataran tinggi Sumatera. Penemuan ini juga sudah dipublikasi dalam Jurnal Zootaxa Vol. 4679, No. 2 [2019].

“Dari hasil perbandingan karateristik struktur morfologis, molekuler dan akustik terhadap ketiga spesies baru tersebut dipastikan berbeda dengan dua spesies genus Sigalegalephrynus yang sudah ada sebelumnya. Yaitu, Sigalegalephrynus mandailinguensis, dari Gunung Sorikmarapi, Sumatera Utara dan Sigalegalephrynus minangkabauensis dari Gunung Kunyit, Jambi,” kata Amir.

Secara rinci, tiga spesies itu adalah Sigalegalephrynus gayoluesensis dari Gayo Leus, Aceh dan Sigalegalephrynus burnitelongensis dari Gunung Burni Telong, Aceh yang ditemukan di daerah utara Sumatera. Satu lainnya yaitu Sigalegalephrynus harveyi berasal dari Gunung Dempo, Sumatera Selatan.

Baca juga: Cerita Dewi Prawiradilaga Menamai Burung Temuan dengan Iriana Widodo

 

Spesimen katak tanduk yang ada di Museum Zoologicum Bogoriense LIPI yaitu M. lancip (a), M. parella (b), dan M. nasuta (c). Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Tidak hanya katak, belum lama ini LIPI bersama National University of Singapore serta kolega dari Australia dan Belgia juga telah mendeskripsikan spesies baru burung dari marga Myzomela, yaitu Myzomela prawiradilagae. Dalam Journal of Ornithology edisi 5 Oktober 2019, burung endemik yang ditemukan di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur ini memiliki kemiripan warna dengan Myzomela dammermani dari Sumba dan Myzomela vulnerata dari Timor. Kendati begitu, mereka adalah spesies terpisah.

“Burung pemakan madu alias nektorivora jenis baru ini juga secara filogenetik berkerabat dekat dengan Myzomela kuehni yang berasal dari Pulau Wetar, Maluku. Namun, jika ditelaah mendalam secara keilmuan dan pendekatan identifikasi, keduanya jelas berbeda dari segi karakter morfologi, bioakustik dan ekologinya,” terang peneliti Ornitologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Mohammad Irham.

Di samping itu, penyematan nama prawiradilagae merupakan bentuk penghargaan kepada peneliti senior LIPI di bidang yang sama yakni Dewi Prawiradilaga. Terutama, atas kontribusi besarnya bagi pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung Indonesia.

 

Myzomela prawiradilagae sebagai jenis baru. Foto: Philippe Verbelan/LIPI

 

Kaya di tengah ancaman

Sepanjang 2015 hingga 2018, Pusat Penelitian Biologi LIPI telah mengindentifikasi sekitar 150-an spesies fauna baru melalu program Eksplorasi Nusantara. Dalam kegiatan itu tim peneliti gabungan menemukan sekitar 30 spesies baru per tahun yang sebagian besar berasal dari Provinsi Papua dan Papua Barat.

“Tentunya penemuan spesies baru bukan sebagai euforia untuk dieksploitasi, tetapi menunjukkan bahwa negara kita memiliki potensi keragaman hayati sangat tinggi dengan potensi ancaman kepunahan yang mengiringi pula. Harus ada antisiapasi,” ujar Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi dari Pusat Penelitian Biologi LIPI di Gedung Pusat Biologi LIPI, Cibinong, Jawa Barat.

Dia mengungkapkan, empat tahun terakhir temuan-temuan itu didominasi kelompok krustasea [crustacean], moluska [Mollusca], hewan bertulang belakang seperti burung dan ikan, menyusul amfibi serta reptil. “Kami juga meyakini, beberapa tahun ke depan akan lebih banyak spesies baru yang terindentifikasi melalui rangkaian eksplorasi,” terangnya.

Senada, Amir mengatakan penemuan-penemuan itu bukan yang terakhir, mengingat luasnya Indonesia yang belum tereksplorasi: Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua dan daerah lainnya. Dalam sistem taksonomi, di antara mamalia dan burung, kelas vertebrata yang masih belum stabil adalah reptil, amfibi, dan ikan.

Artinya, tiga kelas terakhir vertebrata ini akan terus bertambah dengan penemuan spesies baru setiap tahunnya, di mana pun di dunia ini. “Sepuluh tahun terakhir, temuan spesies baru dari kelas amfibi dan reptil meningkat dua kali lipat, dari 200-an spesies kini menjadi 502 spesies,” tuturnya.

Menurut Amir, ancaman terbesar bagi kelangsungan spesies-spesies baru dan spesies yang belum dideskripsikan adalah hilangnya kawasan hutan yang menjadi habitat mereka. Bisa saja, begitu terdeskripsikan, saat itu juga diketahui sebagai spesies terancam punah atau mungkin populasi terakhir.

“Untuk tingkat ancaman kepunahan, kami merekomendasikan tiga spesies kodok baru berstatus Kritis [Critically Endangered], katak spesies baru dari Kalimantan berstatus Rentan [Vulnerable], serta burung Myzomela prawiradilagae berstatus Genting [Endangered],” tandasnya.

 

 

Exit mobile version