Myzomela irianawidodoae. Begitu nama spesies baru burung pemakan nektar temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur ini. Nama burung ini diambil dari nama Ibu Negara, Iriana Widodo. Alasan Dewi Malia Prawiradilaga, peneliti senior LIPI, dan tim memberikan penamaan ini berangkat dari kekhawatiran begitu banyak burung diburu dari alam, dan hidup dalam sangkar.
“Kami menamai burung jenis baru dengan nama Ibu Negara ini jadi semacam penghargaan kepada beliau yang hobi dan sayang kepada burung. Kami juga berharap beliau membantu program konservasi burung di habitat alami, bukan disangkar,” katanya.
Baca juga: Peneliti: Potensi Penemuan Jenis Burung Baru di Indonesia Sangat Terbuka
Dia berharap, dengan penyampai Ibu Iriana, kampanye penyelamatan burung bisa lebih mudah diterima. “Kalau orang biasa yang menyampaikan sulit. Kalau Ibu Negara, mungkin bisa menular kepada orang lain untuk melakukan hal baik.”
Dewi risau makin banyak burung hidup dalam sangkar. Kicauan burung di alam bebas terus berkurang. Padahal, kicauan burung di alam bebas bisa jadi penanda sebuah ekosistem masih sehat.
Sebaliknya, jika makin jarang mendengar kicauan burung di alam bebas, berarti ada sesuatu yang sedang mengancam kelestarian lingkungan.
Peneliti yang meraih doktor bidang ekologi dari Australian National University ini lebih dari 35 tahun mendedikasikan hidup buat penelitian burung di Indonesia. Mulai burung air, burung pemakan serangga, hingga predator seperti elang Jawa. Juga flu burung, biosistematika burung, hingga DNA burung.
Dia merasa malu saat salah satu jurnal burung internasional justru jadikan foto berbagai sangkar dengan burung di dalamnya sebagai halaman muka.
“Sebagai peneliti yang sudah lama meneliti burung, saya malu. Seharusnya tak seperti itu,” kata peraih Satya Lencana Wirakarya pada Agustus 2016 ini.
“Saya lebih suka lihat mereka bebas di alam. Pingin sangkarnya dibuka agar mereka bebas,” katanya ditemui Mongabay di sela Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia keempat, di Universitas Negeri Semarang, 8 -10 Februari lalu.
“Tapi kita juga jangan sembarangan melepas burung. Jangan sampai burung dilepas bukan pada habitatnya, pasti burungnya juga bingung. Malah bisa mati, percuma nanti. Kasihan.”
Di Indonesia, katanya, konservasi burung sudah mengarah ke lampu merah.
“Sudah kuning mengarah ke merah ya kalau menurut saya. Karena sudah banyak jarang kita lihat. Terutama burung-burung berkicau sulit ditemukan di alam. Pengambilan atau penangkapan dan perdagangan sulit dicegah,” kata perempuan dengan nama tengah, Malia, diambil dari nama burung dari Sulawesi.
Di negeri ini, pemelihara burung tak hanya rakyat biasa juga pejabat. Untuk itu, katanya, pejabat negara juga perlu mendapatkan pemahaman karena masih ada memelihara satwa dilindungi entah sengaja atau ketidaktahuan.
Nama Dewi banyak dibicarakan belakangan ini saat menemukan jenis burung baru di Pulau Rote. Burung ini berbulu merah pada bagian kepala, dan perut berwarna kelabu memutih. Warna hitam mendominasi sayap, punggung, dan ekor. Suaranya pun merdu.
“Burung yang baru ditemukan itu famili Meliphagidae, kelompok burung pemakan nektar,” katanya.
Pada Desember lalu hasil penelitian dia bersama tim publis dalam jurnal Treubia volume 33 edisi Desember 2017 pada halaman 77 hingga 100. Jurnal Treubia adalah jurnal zoologi kepulauan Indo-Australia.
Dalam jurnal itu menyebutkan, spesimen burung jenis baru yang populer sebagai myzomela rote ini diperoleh dari hutan Seda di Kecamatan Rote Selatan, Rote Ndao, NTT.
Secara umum dibanding dengan jenis myzomela merah dan myzomela sumba (Myzomela dammermani), jenis burung ini tak berbeda dalam ukuran tubuh. Dibanding myzomela sumba, misal, bulu myzomela rote, dada ke perut lebih terang.
Kala Dewi dan tim menguji suara (bioakustik) sebanyak 87 sampel dari beberapa burung myzomela di luar Rote diperoleh perbedaan nyata. Saat suara rekaman myzomela rote diputar kembali untuk myzomela jantan dari jenis sama, langsung memancing myzomela satu jenis untuk adu suara. Saat diputar jenis berbeda, misal, myzomela sumba tak direspon agresif.
Myzomela rote diketahui menyukai tinggal di hutan, tebing, daratan kering, semak-semak, dengan pohon-pohon berbunga. Burung jenis ini kadang ada di hutan jati.
Penelitian Dewi dan kawan-kawan bukanlah pertama kali untuk burung di Rote khusus myzomela rote. Jenis burung ini pernah muncul dalam catatan penelitian Johnstone dan Jepson (1990), mamun mereka tak menyertakan spesimen.
Setelah memastikan, tak ada klaim sebelumnya atas penemuan jenis burung baru ini, secara resmi penemuan Dewi dan kawan-kawan publikasikan dalam jurnal itu.
“Ia kemungkinan juga berperan sebagai penyerbuk, tapi harus diteliti lagi. Memang burung pemakan nektar berpotensi sebagai penyerbuk,” katanya.
Myzomela rote diketahui berpindah dari satu bunga ke bunga lain. Soal bunga apa saja yang disukai perlu penelitian lebih jauh.
“Itu yang harus dipelajari lanjut. Setelah ketemu jenis, seharusnya dipelajari ekologi bagaimana, perilaku bagaimana, populasi, dan habitat di mana saja.”
Minim penelitian
Dalam berbagai kesempatan, Dewi kerap mengajak peneliti muda lebih banyak meneliti burung. Apalagi penelitian burung di Indonesia, terbilang sedikit padahal keragaman jenis memberi peluang jadi obyek penelitian yang tak pernah habis tergali.
Dalam penelitian soal elang Jawa, Dewi menemukan jumlah kecukupan makanan bagi elang ini. Dari sana lantas bisa diperkirakan jumlah ideal ketersediaan hewan buruan bagi kelestarian elang Jawa.
Dia sendiri bergelut dengan penelitian elang Jawa sekitar 15 tahun. Meski penelitian elang jawa hampir identik dengan dirinya, Dewi mengaku, semua jenis burung yang diteliti menarik perhatiannya.
“Saya dulu pernah kerjakan elang, yang memang hewan pemangsa penting untuk lingkungan kita, jadi indikator suatu kesehatan lingkungan. Buat saya semua menarik. Masing-masing punya kekhasan.”
Bukan hanya elang Jawa, burung-burung lain yang dilindungi juga masih banyak terancam. Ancaman itu, katanya, karena masih tinggi minat orang memelihara burung dalam sangkar. Dengan begitu, perdagangan burung berlangsung terus. Aturan untuk memelihara burungpun, katanya, tak seketat negara tetangga.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia menempati urutan ketiga dunia dalam keberagamaan jenis. Bahkan, katanya, untuk jumlah burung endemik, Indonesia nomor satu dunia.
“Banyak jenis-jenis khas atau endemik di pulau-pulau kita. Terutama kawasan Wallacea, itu pulau-pulaunya tersebar dan ukuran lebih kecil dibanding pulau-pulau di barat.”
Meskipun begitu, kata Dewi, jangan berbangga dulu dengan keragaman tinggi karena jenis-jenis burung yang terancam punah pun, Indonesia, paling tinggi.
Dia sebutkan, trulek jawa, endemik Jawa. Burung ini, katanya, sudah bertahun-tahun dicari masih belum ketemu. Trulek jawa hidup di mangrove, semak dan daerah pantai.
“Kemungkinan karena ada pengambilan, penangkapan, atau habitat hilang. Dulu, terakhir terlihat di rawa-rawa Muara Gembong, Bekasi. Sekarang di sana banyak tambak, abrasi. Kita belum berhasil menemukan kembali. Beberapa kali peneliti menyusuri pantai utara maupun selatan Jawa sampai sekarang belum ketemu.”
Dia berharap, dari sekitar 1600-an jenis burung yang diketahui dapat diteliti lengkap.
“Seperti maleo, meski sudah diteliti intensif, kita belum tahu detil kehidupan maleo dewasa bagaimana, cara menentukan pasangan, mencari tempat bersarang, itu juga masih diteliti orang.
Semoga saja, penelitian burung di Indonesia makin lengkap, kicauan burung di alam pun terus terdengar.