Mongabay.co.id

Kepatuhan Cegah Karhutla Rendah, KLHK Kaji Perampasan Keuntungan Korporasi

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

 

 

 

Seputar Penegakan Hukum Karhutla di KLHK data 1 Oktober 2019

 

Wilayah membara karena kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dan Sumatera, mulai turun hujan. Langit kembali biru, menyisakan ratusan ribu hektar hutan dan lahan terbakar sepanjang 2019 ini. Kebakaran mulai padam, tetapi pekerjaan belum usai. Penegakan hukum bagi para pembakar atau pengelola hutan dan lahan yang terbakar harus terus berjalan.

Selama ini, tampaknya, penegakan hukum baru efek kejut, belum efek jera. Salah satu bukti, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sampai September 2019, memperlihatkan, kepatuhan perusahaan dalam memberikan laporan pencegahan atau pengendalian kebakaran hutan dan lahan hanya 22%. Selain jerat sanksi administrasi, perdata maupun pidana seperti yang sudah dilakukan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berencana menerapkan pasal pidana tambahan yang tertera dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32/2009, soal perampasan keuntungan.

“Ini yang sedang didiskusikan, lakukan pidana tambahan, Pasal 119 UU 32/2009, soal perampasan keuntungan korporasi. Kami bicara dengan para ahli, lawyer untuk bahas ini,” kata Rasio Ridho Sani, awal Oktober lalu dalam temu media di Jakarta.

Langkah-langkah ke sana, katanya, lewat penyegelan, geospasial satellite image forensic, dan soil forensic.

Direktorat Penegakan Hukum, katanya, sudah punya data lokasi-lokasi terbakar. Contoh, lima tahun lalu terbakar dan terbakar lagi, maka besaran keuntungan bisa dihitung.

“Kita bisa lihat. Ini akan kita terapkan. Termasuk bisa dilacak dengan digital forensic dan data-data satelit dengan lokas-lokasi perkebunan yang ada,” kata Roy, sapaan akrabnya.

Selain itu, katanya, pendekatan banyak pintu (multidoor) juga terus dilakukan. Jerakan hukum bagi pelaku, kata Roy, akan menggunakan berbagai peluang hukum yang ada hingga bisa ada efek jera.

 

64 perusahaan disegel

Untuk karhutla tahun ini, sampai awal Oktober, KLHK sudah menyegel 64 perusahaan, sektor kehutanan, maupun perkebunan sawit. “Ada 20 perusahaan asing, Malaysia, Singapura dan Hong Kong,” katanya.

Perusahaan-perusahaan ini ada di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. KLHK, kata Roy, punya data perusahaan bersumber dari berbagai instansi.

Sampai awal Oktober, KLHK sudah menetapkan sembilan tersangka, delapan perusahaan dan satu perorangan. Dia bilang, penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersegel itu jadi target Direktorat Penegakan Hukum, KLHK.

“Jumlah ini akan bertambah. Di Jambi, akan nambah, di Kalteng, di Sumsel, akan nambah. Walau api sudah padam, jejak arang, jejak digital masih ada. Kami akan lakukan. Nama-nama dan perusahaan, Indonesia dan luar,” kata Roy.

 

Sejumlah siswa menggunakan masker karena asap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Meskom, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Dorong peran pemerintah daerah

Dia bilang, KLHK terus melakukan kerja sama dengan kepolisian dan kejaksaan juga mengajak Kementerian Pertanian terlibat, karena lahan terbakar banyak di perkebunan sawit.

KLHK, katanya, juga akan perluas skala penindakan dengan mendorong pejabat pemberi izin baik itu bupati, walikota, maupun gubernur mengawasi dan beri sanksi kalau terjadi pelanggaran.

Roy bilang, izin lingkungan hidup itu paling utama dalam pemberian perizinan. Yang berwenang memberikan izin, katanya, wajib lakukan pengawasan.

“Kalau ini dilakukan, bisa hentikan operasi, pemaksaan pemerintah dan lain-lain. Saya bicara dengan gubernur, bupati agar mulai lakukan pengawasan,” katanya.

Ketika pengawasan ketat dari pemerintah daerah atau pemberi izin, katanya, pencegahan karhutla oleh perusahaan bisa berjalan efektif.

“Kalau ditemukan, perusahaan tak patuh alat, tak punya sumber daya manusia, langgar perizinan, sarana prasarana, dan pencegahan lain, bisa sanksi, bisa jadi cabut izin,” kata Roy, seraya bilang, sanksi administratif bisa memberikan shock therapy lebih cepat daripada gugatan pidana atau perdata yang memerlukan proses lama.

 

Perusahaan tak patuh?

Data KLHK, sampai September 2019, sekitar 78% pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan belum memenuhi kewajiban memberikan laporan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Padahal, pemerintah mewajibkan setiap pemilik izin menyediakan sarana dan prasarana (sarpras) pencegahan kebakaran hutan, serta memfasilitasi kelompok masyarakat peduli api (MPA).

Ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 32/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan dan Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim P.8/2018 tentang Pedoman Pelaporan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

”Hasil pantauan kami, ada banyak perusahaan nggak patuh. Kami kasih sanksi. Ada yang punya [sarana dan prasarana pengendalian karhutla], tapi nggak memadai. Ada peralatan, tapi jumlah orang tidak cukup. Ada punya tapi jumlah minim. Ada juga yang tak melaporkan,” ujar Roy.

Untuk itu, KLHK mendorong pengawasan dan peningkatan kepatuhan. KLHK terus meningkatkan upaya pengawasan dan pendalaman kasus-kasus karhutla yang sudah penyegelan.

”Kalau ada lahan terbakar, kita telusuri, apakah aktif pemadaman, apakah dulu pernah terbakar juga? Kalau iya, sanksi akan lebih keras.”

 

Banser juga ikut berjibaku memadamkan karhutla di Sei Ambawang, Kubu Raya, Kalimantan Barat. Foto: Banser Kalbar

 

Dari 22% pemegang izin usaha kehutanan dan perkebunan yang memenuhi kewajiban memberikan laporan pengendalian karhutla sampai September 2019, terdiri dari pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) ada 254, dan 295 hutan tanaman industri. Juga 16 pemegang izin restorasi ekosistem, 839 pemegang izin penggunaan kawasan hutan, serta 775 pemegang izin perusahaan kebun.

Rhuanda Agung Sugardiman, Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK mengatakan, keseluruhan ada 2.179 perusahaan sudah memberikan laporan.

Laporan perusahaan ini, katanya, jadi salah satu indikasi pemegang izin usaha kehutanan untuk mengantisipasi karhutla di areal yang masih kurang.

“Laporan itu sudah menampung seluruh rangkaian kegiatan yang harus dipenuhi pemegang izin, dari peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, dan dukungan manajemen,” katanya.

Adapun jenis laporan karhutla yang harus disampaikan pemegang izin, katanya, berupa laporan Insidentil bila terjadi kebakaran dan laporan rutin terdiri dari laporan bulanan dan tahunan.

Dalam PermenLHK 32/2016, pada Pasal 100, menyatakan, perlu ada pelaporan meliputi pelaporan rutin berupa bulanan dan tahunan soal pengendalian karhutla. Sekurang-kurangnya, memuat data dan informasi keorganisasian, sumberdaya manusia, sarana prasarana, penyelenggaraan pencegahan, penanggulangan dan penanganan pasca karhutla, serta dukungan manajemen.

Padahal, katanya, pelaporan mandatori telah dipermudah, sudah web base sistem pelaporan online pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Raffles B. Panjaitan, Plt Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK mengatakan, sedang kompilasi data perusahaan mana saja yang sudah mematuhi atau tak patuh berdasarkan PermenLHK 32/2016. Sekitar 22% itu, katanya, angka pelaporan online. Sedangkan pelaporan manual, masih tahap penghitungan.

”Banyak yang masih mengirim gunakan pos. Alasannya, karyawan masih gaptek (gagap teknologi-red), kita kasih waktu,” katanya.

 

 

Kalau masih belum patuh, maka KLHK akan merekomendasikan Direktorat Penegakan Hukum agar memberikan sanksi administrasi. ”Jika tiga kali peringatan tak berubah, bisa pengurangan dan pencabutan izin,” katanya.

Nantinya, data wilayah kebakaran yang sudah disegel akan pengkajian soal kepatuhan, dan akan penyidikan.

Upaya pencegahan dan pengendalian ini, kata Rafles, perlu dukungan pemerintah daerah dalam pengawasan dan evaluasi, terutama izin-izin yang mereka keluarkan.

Sementara itu, hingga 20 September 2019, kepolisian telah menetapkan enam perusahaan dan 249 sebagai tersangka karhutla. Pelaku individu terbesar seperti Riau (47), Kalimantan Barat (61), Kalimantan Tengah (65), Sumatera Selatan (27), Jambi (14), dan Kalimantan Selatan (4).

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan, data sementara setidaknya, 919.516 penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) karena asap karhutla.

Agus Wibowo, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB pada penghujung September, mengatakan, jumlah itu tersebar di enam provinsi, yaitu, Riau 275.793 orang, Jambi 63.554 orang, 291.807 di Sumatra Selatan, 180.695 orang di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan 40.374 orang, dan 67.293 orang di Kalimantan Tengah.

Luas karhutla dari awal tahun hingga Agustus 2019, mencapai 328.724 hektar. Karhutla didominasi kebakaran di lahan mineral 239.161 hektar dan gambut 89.563 hektar.

Doni Monardo, Kelapa BNPB awal Oktober menyatakan, pencegahan karhutla jadi poin penting. Terlebih, di Indonesia, karhutla makin parah karena terjadi di lahan gambut. Tak ada jalan lain, katanya, gambut harus kembali sesuai kodrat, basah, berair dan berawa.

Gambut, katanya, juga memiliki hak asasi ekosistem hingga karthula dapat dicegah atau dikurangi. Gambut kering atau rusak, kata Doni, kalau sudah terbakar sangat sulit padam.

Gambut di Indonesia, memiliki kedalaman beragam bahkan sampai 30 meter hingga sulit pemadaman oleh personel darat, pengemboman air bahkan dengan hujan buatan (TMC) sekalipun.

 

Direktorat Penegakan Hukum KLHK usai peyegelan lokasi terbakar. Foto: dari Facebook Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK

 

 

Jangan biarkan terus berulang

Karhutla berulang dan menimbulkan berbagai kerugian, lingkungan, keragaman hayati dan warga, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan hamil dan usia lanjut. Penanganan pemerintah lamban hingga menimbulkan banyak korban.

Walhi dan berbagai organisasi masyarakat sipil pun pada peetengahan September mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Badan Restorasi Gambut (BRG).

Khalisah Khalid, Kepala Desk Politik Walhi Nasional, mengatakan, karhutla masih berulang, walau pemerintahan Joko Widodo, sudah menyampaikan komitmen politik untuk mengatasi persoalan yang sudah puluhan tahun terjadi di Indonesia ini. “Ini sudah darurat [diselesaikan].”

Dia juga mengkritisi pejabat yang melontarkan pernyataan yang seakan menyalahkan masyarakat adat maupun peladang. Kecenderungan ini, katanya, mengingkari dan mencoba mencari kambing hitam dari kegagalan negara menarik pelaku sebenarnya karhutla ini.

Dalam kejadian karhutla di Indoneisa, katanya, titik api terbesar di konsesi. “Yang dikambinghitamkan masyarakat adat dan peladang.”

Dia menilai, pemerintah terkesan lemah di mata korporasi. Negara, katanya, seolah memperlihatkan praktik impunitas, pasif dan permisif hingga tak punya wibawa di mata korporasi.

“Kami akan menempuh melalui mekanisme yang ada di PBB, untuk melihat kejahatan lingkungan hidup sebagai kasus HAM serius. Kami akan laporkan kasus ini ke Special rapporteur PBB. Ini bukan hanya kejahatan luar biasa juga lintas batas negara.”

Siti Rakhma Mary, dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)  mengatakan, karhutla berulang, bahkan sampai ada gugatan dari warga di Kalteng. Sayangnya, pemerintah tak memenuhi putusan Mahkamah Agung terkait gugatan warga (citizen lawsuit) atas kasus karhutla di Kalimantan Tengah, belum lama ini.

Dalam putusan itu, antara lain memerintahkan, pemerintah memperkuat aturan ketat guna mencegah karhutla, meninjau ulang izin-izin kehutanan dan perkebunan yang potensial menyebabkan kebakaran, mengumumkan kepada publik perusahaan-perusahaan terbakar. Juga, pelayanan publik berupa penyediaan rumah sakit untuk korban kebakaran. Alih-alih menjalankan putusan, pemerintah malah ajukan peninjauan kembali (PK).

“Ini artinya, pemerintah mengelak dari tanggunga jawab dan kewajiban. Ada keengganan menyelamatkan lingkungan. Pemerintah juga tak review perizinan dan audit lingkungan terhadap perusahaan-perusahaan yang jelas-jelas terjadi kebakaran lahan. Ini menyebabkan karhutla terus terulang hingga kini,” katanya.

Senada dikatakan Arie Rompas, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpece Indonesia. Dia bilang, perlu serius menangani karhutla dengan menaati dan menjalankan putusan Mahkamah Agung. ”Jika pemerintah saja tak taat hukum, bagaimana dengan pelaku pembakar hutan?”

Kala dia kembali ke Palangkaraya, kondisi hampir sama dengan 2015. “Sayangnya, pemerintah pusat dan daerah tak memberikan perhatian kepada masyarakatnya.”

 

Hutan lindung gambut Londerang, Jambi, merupakan kawasan kesatuan hidrologi gambut Mendahara-Sungai Batanghari. Kini, kondisi menyedihkan. Karhutla menghanguskan pepohonan yang kembali dtanam sebagai upaya restorasi lahan gambut. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) juga berikan pandangan. Dia bilang, karhutla ini rata-rata karena perusahaan perkebunan dan HTI. Setiap tahun, katanya, masyarakat terkepung asap.

Ketika terjadi pembebasan lahan untuk investasi perkebunan sawit dan HTI, mereka tergusur. “Ketika kebakaran, mereka menjadi korban lagi. Masyarakat terus menerus jadi korban,” katanya.

Yati Andriyani, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengatakan, karhutla tak bisa lagi dipandang sebagai persoalan biasa dan terus berulang.

“Kami menyebut ini ecosida karena peristiwa berdampak luar biasa pada ekosistem. Tidak hanya tanah dan hutan, juga manusia. Kita bisa lihat bagaimana masyarakat sipil jadi korban.”

Zenzi Suhadi dari Walhi Nasional mengatakan, selama ini penegakan hukum belum memberikan efek jera. Dia mendesak, keberanian pemerintah tak hanya memberikan hukuman bagi pelaku pembakaran hutan juga penerima manfaat.

”Proses hukum ini harus menyasar dari penerima kehancuran lingkungan ini. Apa nama holding group harus dikejar. Siapa  penerima manfaat dari grup ini harus disasar. Konstitusi kita memungkinkan untuk mengejar sampai ke sana,” katanya.

Lukas Adhyakso, Direktur Konservasi WWF-Indonesia mengatakan, penyebab karhutla bukan cuaca, juga menyangkut ulah manusia, oleh korporasi dan individu yang membuka lahan dengan membakar.

”Kebakaran hutan dan lahan ini jangan lagi dipandang sebagai permasalahan biasa dan normal. Ini bencana manmade, buatan manusia yang bisa diselesaikan dari manusia itu sendiri.”

Tak hanya itu, pengawasan terhadap pembukaan lahan secara ilegal pun masih minim. WWF merasa kesulitan dalam penanganan karhutla di fasilitas dan wilayah konservasi di Sumatera dan Kalimantan. Dia contohkan, hutan lindung gambut Londerang di Jambi, sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Riau, Taman Nasional Tesso Nilo, Riau, maupun sekitar Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah.

WWF Indonesia, katanya, sudah mencoba mempertahankan wilayah restorasi tak terbakar, namun sulit karena ada wilayah lain di sekitar masih terbakar.

”Perlu peningkatan upaya bersama agar jadi darurat karhutla Indonesia. Kita perlu semua pihak memadamkan api bersama. Ke depan, perlu ditingkatkan kepedulian agar tidak berulang.”

Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan and Advokasi WWF Indonesia menilai, banyak orang menganggap karhutla dan kabut asap itu masih di posisi normal karena sering terjadi, padahal tidak.

Karhutla, katanya, memiliki implikasi serius dan langsung bagi kehidupan manusia terutama kaum rentan, seperti, anak-anak dan orangtua. Karhutla pun berdampak pada keterancaman keragaman hayati, seperti satwa dan habitatnya.

“Ancaman terbesar dari kematian spesies terbesar bukan dari perburuan tapi habitat alami hilang. Kebakaran hutan ini membuat habitat satwa berkurang.”

Makin sempit wilayah pakan satwa, katanya, konflik dengan manusia bakal makin meningkat. ”Memang saat ini sangat penting dalam setiap tempat dijaga betul untuk restorasi. Alternatifnya udah tidak ada. Satu-satunya menjaga spesies langka, ya selamatkan habitat.”

 

Keterangan foto utama:  Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Exit mobile version