Mongabay.co.id

Pemerintah Bentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan

Konsesi perusahaan sawit yang terbakar di Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Akhirnya, Pemerintah Indonesia meluncurkan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup sebagai pengganti Badan Layanan Umum, pada Rabu (9/10/19). Lembaga ini perwujudan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dan Peraturan Presiden Nomor 77.2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

Badan pengelola dana ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 137/2019 soal Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, tertanggal 30 September 2019.

Sebelumnya, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada BLU Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (BLUP3H). Dengan begitu, pengelolaan dana bergulir untuk usaha kehutanan yang selama ini di KLHK (BLUP3H) jadi terintegrasi dalam BPDLH.

Badan ini untuk mendorong pengelolaan dana bidang lingkungan, seperti kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan dan bidang lain terkait lingkungan.

Peluncuran ini dilakukan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan; Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup. Kementerian dan lembaga serta beberapa duta besar dan para pihak lain juga hadir.

Sri Mulyani mengatakan, pengarusutamaan isu perubahan iklim dalam program pembangunan nasional perlu ditingkatkan. Tujuannya, isu lingkungan dan perubahan iklim jadi bagian dalam perencanaan dan pembangunan nasional.

”Ini trusted fund yang kita dedikasikan untuk lingkungan hidup,” katanya.

Guna menjaga keselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, katanya, jadi bagian penting bagi Indonesia. Terlebih, pemerintah telah menandatangi Perjanjian Paris terkait target penurunan emisi. Ia tercantum dalam dokumen nationally determined contribution (NDC), 29% penurunan emisi dengan upaya sendiri dan 41% kalau ada dukungan internasional.

”Pendanaan dari negara maju terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan tumbuh seiring keperluan pendanaan lingkungan di negara berkembang, sejalan implementasi Paris Agreement,” katanya.

Dia barharap, melalui BPDLH, sebagai lembaga pengelola keuangan, bisa menghasilkan pengelolaan dana akuntabel dan profesional. Tata kelola, katanya, bisa berstandar internasional dan mencari alternatif pembiayaan lingkungan.

”Saya juga berharap BPDLH dapat jadi cara bagi negara maju untuk memberikan pendanaan ke Indonesia.”

Sri Mulyani mengatakan, kemenkeu terus mendukung kementerian atau lembaga dalam pemeliharaan lingkungan, salah satu, dengan penandaan anggaran perubahan iklim (climate budget tagging) yang terus menunjukkan tren kenaikan.

Tercatat, katanya, ada peningkatan dukungan APBN dalam program nasional terkait perubahan iklim. Dalam APBNP 2016, sebesar Rp72,4 triliun (3,6%), Rp95,6 triliun (4,7%) dalam APBNP 2017 dan 2018 sebesar Rp109,7 triliun (4,9%) dari total APBN.

 

Dari kiri ke kanan, Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian, Sri Mulyani, Menteri Keuangan dan Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Foto: sumber Facebook Dida Gardera dari Kemenko Perekonomian

 

Darmin Nasution, Menko Perekonomian mengatakan, BPDLH tak hanya mengelola dana tetapi memberikan perlindungan kepada lingkungan. Nantinya, lembaga ini akan berisi tenaga profesional, terdiri dari direktur keuangan, umum, dan sistem informasi; direktur penghimpunan dan pengembangan dana dan direktur penyaluran dana. Juga, direktur hukum dan manajemen risiko, maupun satuan pemeriksaan intern.

”Fungsi utama, memobilisasi pendanaan guna perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Tanpa pendaaan, itu tidak berjalan, baik yang restorasi, konservasi atau pencegahan, seperti kebakaran hutan. Itu urusan penting,” katanya.

Badan ini terbentuk dengan menerapkan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana, dan standar tata kelola internasional.

Nantinya, ada Komite Pengarah, terdiri dari beberapa menteri yang berkaitan langsung dengan lingkungan seperti Kemenko Perekonomian, Kemenkeu, KLHK, KESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Pertanian, Kementerian PPN/Bappenas, Kemenperin, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Menko Bidang Perekonomian sebagai ketua pengarah.

”Orientasi penyaluran akan mencakup kegiatan small grant, investment dan capacity building bagi masyarakat dan aparat,” kata Siti Nurbaya.

Dia sebutkan, secara garis besar, ada lima sektor utama pencapaian target NDC, yakni, energi; land use, land use change and forestry (LULUCF); pertanian; limbah maupun proses industri serta penggunaan produk (IPPU).

Pengelolaan dan perlindungan lingkungan yang mendukung pembangunan berkelanjutan, katanya, perlu pendanaan besar. Apalagi, kata Siti, anggaran pemerintah untuk keragaman hayati dan konservasi terbatas. Untuk itu, katanya, perlu upaya kolaborasi dalam memobilisasi sumber pembiayaan dari berbagai sumber dan pemangku kepentingan.

Siti bilang, upaya pengendalian perubahan iklim, berdasarkan dokumen Third National Communication 2017, yang disampaikan KLHK kepada Sekretariat United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC ) menyatakan, kurun 2016-2020, aksi adaptasi perlu Rp840 triliun (sekitar US$64 miliar). Untuk aksi mitigasi perlu Rp225 triliun (US$17 miliar).”

Untuk upaya mitigasi dan adaptasi sendiri, Indonesia telah menyiapkan berbagai instrumen inovatif seperti Sistem Registrasi Nasional (SRN), Monitoring Reporting dan Verifikasi (MRV) Protocol, Sistem Informasi Safeguards (SIS) REDD+. Lalu, Sistem Identifikasi Kerentanan (SIDIK), SIGN-SMART dan lain-lain. Ada BPDLH ini, katanya, melengkapi upaya Indonesia dalam pengendalian dan penanganan dampak perubahan iklim.

Untuk saldo awal dana pokok dari BLUP3H Rp2,1 triliun dengan komitmen kumulatif Rp2,2 triliun. Jadi, perlu penambahan dana kelola baru dan fasilitas dana bergulir (FDB) kumulatif Rp1,1 triliun serta sisa Rp939 juta akan tersalurkan sesuai kinerja debitur.

Sri Mulyani bilang, potensi pengelolaan dana di BPDLH sekitar Rp800 triliun. Untuk FDB, katanya, sudah dirasakan 27 provinsi di Indonesia dengan berbagai jenis pembiayaan kepada lebih 24.000 penerima.

 

Masyarakat adat di Kalimantan  Barat, yang berusaha melindungi hutan adat mereka dari gempuran bisnis ekstraktif. Warga Iban mendayung sampan di Sungai Utik di hutan adat Sungai Utik di Kalimantan Barat. Foto: Rhett A. Butler

 

Berdasarkan capaian itu, layanan BLUP3H tetap berjalan meskipun telah berintegrasi ke BPDLH. Masa transisi, katanya, secara bertahap dan semua pihak terlibat ikut mengawal transisi ini.

Ruanda Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK mengatakan, akan ada dua masa transisi: hingga akhir fiskal 2019 dan satu tahun peraturan menteri. Pada masa transisi, akan ada direktur pengelola BPDLH. Dia sebutkan, sumber dana antara lain dari donor, PNBP dan lain-lain termasuk kemungkinan dana ganti rugi dari perusahaan.

Dia contohkan, ganti rugi kebakaran hutan dan lahan oleh perusahaan yang menimbulkan kerusakan lingkungan hasil gugatan KLHK. Dana itu, katanya, bisa diusulkan masuk BPDLH.

”Bisa juga memberikan pinjaman dana untuk penanganan kerusakan lingkungan saat masa gugatan berjalan. Setelah tuntutan selesai, dana kembali masuk ke sini,” katanya, sambil bilang, aturan teknis dirumuskan nanti.

 

Harapan baru

Yayasan Madani Berkelanjutan menilai, BLU ini bisa jadi harapan baru untuk mempercepat program-program perlindungan dan pemulihan lingkungan. ”Indonesia berjalan selangkah lebih maju untuk mengimplementasikan Paris Agreement konkret untuk mencapai komitmen iklim dan meningkatkan ambisi iklim masa depan,” kata Muhammad Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.

BLU ini, katanya, dapat jadi senjata baru, dengan fokus pada program prioritas yang nyata berdampak luas pada iklim dan kesejahteraan masyarakat. Dia contohkan, percepatan restorasi ekosistem gambut dan pendampingan perhutanan sosial pasca-izin agar dapat berkontribusi pada pencapaian target NDC.

Percepatan dan perluasan restorasi gambut, termasuk di wilayah konsesi terbakar adalah kunci mencegah kebakaran hutan dan lahan berulang.

Perhutanan sosial, katanya, mampu jadi strategi pemerataan ekonomi yang berpotensi berkontribusi pada pencapaian komitmen iklim Indonesia bila ada pendampingan kuat dari pemerintah dan pihak-pihak lain.

Dia berharap, Indonesia mampu melakukan langkah-langkah mitigasi agar tak terus-menerus diterpa bencana seperti karhutla, dan kabut asap.

Teguh juga meminta, ada mekanisme partisipasi masyarakat yang terlembaga dalam operasionalisasi BLU ini. Hingga masyarakat dan organisasi masyarakat sipil memiliki ruang ikut menentukan prioritas penggunaan dana. “Juga ruang mengajukan keluhan apabila hak-hak mereka terlanggar dalam implementasi berbagai aksi mitigasi dari pendanaan BLU,” kata Anggalia Putri, Manajer Pengelolaan Pengetahuan Yayasan Madani.

Partisipasi publik terlembaga itu, katanya, penting sebagai instrumen pengendalian perubahan iklim. Pada akhirnya, kata Anggi, panggilan akrabnya, BLU ini harus bisa mengoperasionalkan prinsip-prinsip dalam pembukaan Paris Agreement. “Mencakup penghormatan HAM, hak-hak masyarakat adat dan lokal, kesetaraan gender, dan ketahanan pangan.”

 

Keterangan foto utama: KLHK menyatakan, dana  BLU ini dari berbagai sumber. KLHK mengusulkan, seperti  dari dana-dana ganti rugi dari perusahaan, yang konsesi alami kebakaran. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version