Mongabay.co.id

Gubernur Sulbar Nilai Kontribusi Sawit Minim, Malah Merusak Lingkungan

Hamparan sawit milik PT Pasang Kayu, di Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat. Foto: Eko Rusidanto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

ABM, begitu nama populer Ali Baal Masdar. Anak Mandar ini kini duduk sebagai Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) periode 2017-2022.

Pada 2013, Ali sempat jadi sorotan. Dugaan skandal menyeret namanya, tertulis di pelbagai laman berita dan jadi omongan aktivis lingkungan. Pada Juli 2013, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Barat (Kejati Sulselrabar) memanggil Ali diperiksa sebagai saksi.

Ali diminta beri klarifikasi soal izin usaha tambang (IUP) yang dia lepas pada 2009 bernomor 133/2009 kepada PT Isco Polman Resource (Isco), sebuah perusahaan tambang bijih besi.

Baca juga: Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit

Penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati-Sulselrabar bilang, lahan konsesi tambang Isco di hutan lindung itu terbit tanpa rekomendasi Dinas Lingkungan Hidup Polman, juga tanpa izin Menteri Kehutanan—kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Jaksa bilang, berkat IUP itu, Isco dapat menguasai lahan konsesi seluas 204,19 hektar di Duampanua, satu desa di Kecamatan Anreapi, Polewali Mandar (Polman), kabupaten yang dipimpin Ali, selama dua periode (2004-2008 dan 2009-2014).

Akhir 2013, Kejati Sulselrabar menyetop kasus ini. Mohammad Kohar, Kepala Kejati saat itu, bilang, proses penyidikan dugaan korupsi Isco setop dengan alasan tak menemukan unsur pidana.

Siapa Ali Baal Masdar? Pada 5 Mei 1952, putra dari Masdar Pasmar, tokoh Partai Golkar—partai penguasa Orde Baru— cum bekas Ketua DPRD Polmas, yang punya jalinan kerabat dengan Baharudin Lopa—ini lahir.

Merintis sebagai PNS pada 1984, karir Ali kian menukik. Tahun 2000, Ali didapuk sebagai Camat Tapano dan menjabat selama dua tahun.

 Baca juga: Nasib Orang Bunggu, Sawit Datang, Hutan dan Sagu Hilang

Pada 2004, dia maju sebagai kandidat calon Bupati Polewali Mamasa (Polmas–kini jadi Polewali Mandar/Polman)  setelah dapat dukungan Partai Golkar. Dia menang. Sejak itu, Ali duduk sebagai Bupati Polmas.

Lima tahun berikutnya, Ali menang dalam pentas pemilihan umum kepala daerah (pilkada) pertama. Ali kembali jadi bupati. Di masa inilah, Ali tersandung skandal konsesi Isco.

Selama jadi bupati, Ali berhasil tekan angka kemiskinan di Polman. Dari tangannya, persentase kemiskinan yang semula pada 2005 sekitar 30.71%, turun jadi 17,79% kala akhir masa jabatan 2014.

Selepas Ali, sang adik, Andi Ibrahim Masdar, terpilih jadi Bupati Polman, juga dua periode.

Pada 2017, Ali resmi sebagai peraih suara tertinggi pada pentas pilkada provinsi setelah kalah dari petahana, Anwar Adnan Saleh, pada 2011. Ali peroleh 244.763 total suara, kalahkan dua paslon lain. Wakilnya, Enny Angraeny Anwar.

 

Gubernur Sulawesi Barat Ali Baal Masdar. Foto: Saberpungli Pemprov Sulbar

 

Melihat riwayat politik keluarga ini, sejumlah kalangan akademisi mencap keluarga Ali, sebagai salah satu klan berpengaruh di kancah politik lokal selain Manggabarani dan Mengga. Dalam jurnal ilmu pemerintahan Universitas Hasanuddin menyebut, ketiga klan ini, merupakan bentukan negara, dengan pendekatan ABRI, Golkar dan birokrasi. Situasi yang lumrah terjadi di bawah rezim Orde Baru.

 

 

***

Pada 25 September 2019, saya menemui Gubernur Sulbar di ruang kerjanya. Di ruangan yang dominan dengan balutan warna kayu itu, kami berbincang dengan bahasan seputar deforestasi, sawit hingga bagaimana kelak pengelolaan hutan di provinsi yang tergerus industri ekstraktif ini. Berikut petikannya:

Pada 1999, luas hutan di Sulbar tercatat 1,131 juta hektar. Kurun 20 tahun, 62.000 hektar berubah fungsi atau laju deforestasi rata-rata 3.100 hektar pertahun. Bagaimana Anda melihat persoalan ini?

Kita akan mengidentifikasi. Apakah karena perbuatan manusia ataukah kondisi bawaan alam. Kalau memang perkembangan masih perlu peremajaan, ya, kita buat peremajaan hutan dan lain-lain.

Ada kegiatan rehabilitasi lahan. Kemampuan pemerintah daerah rata-rata 1.000 hektar pertahun [untuk peremajaan]. Maka laju deforestasi itu, akan kita kejar melalui kegiatan RHL (rehabilitasi hutan dan lahan) yang telah masuk dalam RPJMD. Akhir 2022, itu kita perkirakan, lahan (rehabilitasi) kita tinggal sisa 3.600-an hektar. Ini target nanti. 

Salah satu penyebab deforestasi adalah perluasan kebun sawit. Hingga 2019, luas kebun sawit di Sulbar 205.251 hektar. Menurut Anda?

Itu sawit lahir sebelum Sulbar lahir. Bahwa, izin itu sejak Astra Group dan sebagainya itu, masih Gubernur Sulsel. Sekarang saat sudah terbentuk (Sulbar) itu sudah peremajaan. Artinya, sudah generasi kedua.

Izin sawit pertama pada Orde Baru, itu domain pemerintah pusat. Saat otonomi daerah, [baru di ] pemerintah kabupaten. Terbitnya Astra Group, semua, masih pusat, saat itu. Pada saat akhir pemerintahan SBY [Presiden Susilo Bambang Yudhoyono], itu sudah tidak ada lagi izin sawit [di Sulbar]. Moratorium.

(Sulawesi Barat, merupakan pemekaran wilayah, sebelumnya masuk administrasi Sulawesi Selatan. Sejak 1960, Sulbar sudah mencanangkan pemisahan diri. Pada 1963, usulan tidak terwujud. Barulah 2004, Sulbar resmi jadi provinsi baru di Sulawesi, berdasarkan UU Nomor 26/2004. Data sementara Kementerian Pertanian, luas perkebunan sawit di Sulbar, pada 2018 sebesar 196.625 hektar, naik jadi—angka prediksi– 205.251 hektar pada 2019).

September tahun lalu, Presiden Joko Widodo meneken inpres moratorium izin dan evaluasi kebun sawit, bagaimana implementasi di Sulbar?

Sekarang perusahaan saya setop. Saya sudah kirimi surat semua. Itu perusahaan sawit yah..

Tidak ada lagi keluarkan izin. Kita sudah koordinasi dengan pusat. Ya sudah. Tutup saja. Di Sulbar ini, semenjak saya jadi gubernur, tidak ada kasih keluar izin.

Bagaimana kontribusi sawit untuk Sulawesi Barat?

Kontribusi sawit terhadap pembangunan di Sulbar, tidak ada, kecuali pembukaan lapangan kerja. Yang kita harap dana CSR (corporate social responsibility/tanggung jawab sosial) tapi tidak ada. Katanya dipakai, tapi tidak jelas juga. Nah, ini perlu BPK periksa itu, audit itu semua.

Mana? Kita mau lihat. Mana dana selama ini. Apakah betul selama ini dipakai? Ataukah selama ini ada orang yang terima? Ada lima persenkah atau berapa, ah siapa itu? Harus diungkap itu, lebih bagus lagi. Mana itu semua konrtibusinya? Hanya merusak lingkungan saja.

Merusak seperti apa?

Kemarin itu, banyak mati ikan. Pencemaran sungai. Hasilnya, ia (perusahaan sawit) janji ingin perbaiki. Jadi, di pantai sudah tanam bakau lagi kembali. Hanya saya mau, kalau kita di sini gubernur tegas. Pusat memberikan dukungan tegas, begitu. Jangan kita tegas, dia (pemerintah pusat) tidak. Bagaimana caranya? Kita jadi bulan-bulanan di sini. Harus kita satu komando. Begitu ada laporan gubernur, begini, begini, tindak.

Ini saya sudah bentuk tim. Periksa itu tanah, sekian meter, sekian dalamnya, periksa masalah lingkungan.

(Mei 2019, ribuan ikan mati di sepanjang Sungai Barakkang, Sungai Barakkang, Kecamatan Budong-budong, Mamuju Tengah. Warga yang memanfaatkan sungai itu juga mengaku derita penyakit kulit).

 

Pengambilalihan kembali lahan warga dari perusahaan perkebunan sawit di Kampung Kabuyu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Dari penulusuran Mongabay, beberapa perusahaan sawit kerap berbenturan dengan masyarakat lokal/adat soal lahan. Bagaimana menurut Anda?

Memang ada masyarakat punya, tapi tidak mungkin juga (konflik). Bisa juga kalau terjadi mis komunikasi. Misal, itu kalau ada yang mau ambil diukur dulu loh. Ada yang klaim, keluarkan, ada yang klaim, keluarkan. Jika sudah aman, baru dikeluarkan surat.

Masalahnya, kita jadi gubernur, bisa diledekin orang, diledekin perusahaankah, diledekin masyarakat karena tidak tegas. Padahal, kita sudah ada hukum, ada ketentuan. Kenapa kita tidak bisa selesaikan? Harusnya bersatu. Pemerintah itu satu. Ia tentara, polisi, jaksa, gubernur. Itu pemerintah. Jangan terpisah-pisah.

Saat kunjungan kerja ke anak usaha PT. Astra Agro Lestari di Pasangkayu pada 17 April 2018, apakah Anda mendengar konflik antar perusahaan dan komunitas adat Bunggu?

Yang disampaikan dampak-dampak terhadap masyarakat adat. Betul ada. Itu sudah terjadi, termasuk terhadap masyarakat Desa Adat Pakawa dan sekitar.

Ini kan, zaman dulu. Jadi, kita susah menelusuri itu. Apalagi sejak saya menjadi gubernur tidak ada yang pernah datang melapor. Kalau ada, pasti saya panggil. Selesaikan ini. Itu ditindaklanjuti terus sampai selesai. 

Bagaimana cara menyelesaikannya?

Sekarang yang diperbaiki oleh Sulbar, bagaimana kondisi konflik tak hanya masyarakat adat Bunggu, juga masyarakat lain dengan perusahaan. Kami sudah membentuk tim untuk fasilitasi konflik-konflik antara perusahaan besar masyarakat adat.

Pemerintah menetapkan 456.033 hektar hutan lindung di Sulbar, yang juga masuk hutan adat. Bagaimana akses atau hak kelola warga adat di sana?

Masyarakat adat itu boleh mengelola hutan lindung sesuai regulasi yang digulirkan kementerian. Yang penting, masyarakat adat itu ada payung hukum yang menaungi, yakni, Perda Masyarakat Hukum Adat (MHA).

Bagaimana masyarakat lokal/adat sekitar hutan lindung?

Jadi hutan lindung itu, banyak kesalahan persepsi, seolah-olah kalau ditetapkan sebagai hutan lindung, tertutup masyarakat adat untuk mengelola. Mengelola boleh. Hutan itu boleh diambil hasilnya bukan kayu. Menebang kayu tidak boleh. Kecuali hutan konservasi, itu tidak boleh sama sekali.

Masyarakat hukum adat, sesungguhnya bisa kami fasilitasi. Cuma yang sampai saat ini, yang kami tunggu, adalah dukungan perda. Karena menteri mensyaratkan, harus ada Perda MHA. Yang bisa di-perda-kan yang punya kearifan lokal. Yang tidak punya, tidak bisa diakui sebagai MHA.

Kalau sudah ada perda saya bawa. Saya bisa usulkan sebagai hutan adat. Lalau perda belum ada, itu masih ‘klaim adat’.

Sampai 2018, luasan kawasan hutan di Sulbar 1,069 juta hektar. Bagaimana pengelolaan hutan ini ke depan?

Pemerintah provinsi telah membentuk unit kesatuan-kesatuan pengelolaan hutan (KPH)—Forest Unit Management. Dari Pasangkayu sampai Mamasa Timur, ini sudah beroperasi. Semua dikelola berkelanjutan. Sekarang ini, tahap organisasi, baru umur tiga tahun. Mudah-mudahan nanti kita kuatkan sambil jalan.

Selain itu, Sulbar telah menorehkan pembentukan Taman Nasional Gandang Dewata, melalui revisi tata ruang tahun 2014.

 

Hutan tersisa di Desa Pakawa. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Beberapa waktu lalu, Anda mendaku Sulbar, siap jadi penyangga ibukota baru. Maksudnya bagaimana?

Begini… Kan, di Kalimantan itu tidak lengkap toh. Baik juga karena dipilih ibukota pemerintah, tapi pasti ada kekurangan. Artinya, penyangga itu, pelengkap. Apa yang tidak ada di sana, di sini disiapkan, termasuk hasil bumi. 

Termasuk pengerukan sumber daya alam?

Ya, di sini sudah pasti akan disiapkan. Di sana juga akan berkembang. Cuman akan sumpek kalau di sana semua.

Bagaimana dengan pulau-pulau kecil di Balabalakang, mengingat letak Ibukota yang berdekatan…?

Di kepala saya sekarang ini, saya pikir bagaimana Balabalakang. Bisakah jadi transit jembatan di sana? Bisakah jadi kota kecil di sana?

Saya sudah kirim surat ke Mba’ Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti). Mba’ Susi, iniloh lima pulau saya di Balabalakang, jadikan pulau konservasi. 

Kenapa harus konservasi?

Biar orang datang di situ, menyelam dan lain sebagainya. Kemudian tiga pulau berpenghuni di sana, kita undang investasi. Pergi bangun hotel, resor atau apapun itu.

Nama Anda pernah terseret dalam skandal perizinan operasi PT Isco di kawasan hutan lindung saat masih Bupati Polman. Bagaimana tanggapan Anda atas tuduhan itu?

Dulu, waktu saya di Polman. Banyak saya lihat, bantu kasih lolos izin. (Saat jadi bupati, dia bilang banyak pihak datang dengan berbagai latar belakang, minta kemudahan izin). Saya kan banyak ‘berkelahi’, didemo, karena saya larang gali ini, gali ini. Saya larang semua.

Termasuk Isco, yang selalu didemo. Ini kan, kalau sudah begini, sudah kepentingan lagi. Seharusnya, sama-sama kita melarang, tapi ada lagi yang punya kepentingan di situ. Bantu apa. Jadi kadang-kadang ‘berkelahi.’

 

Keterangan foto utama:  Hamparan sawit milik PT Pasangkayu, di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Foto: Eko Rusidanto/ Mongabay Indonesia

Warga pun hidup dalam kekhawatiran karena rumah dan lahan belum ada kejelasan hak. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia
Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version