,

Batalkan Penyidikan Kasus Izin Tambang PT Isco, Kejati Sulsel Tuai Kritik

Diduga kuat ada upaya Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Selatan (Sulsel) dan Sulawesi Barat (Sulbar) menghentikan penyidikan kasus penerbitan izin bermasalah dari PT Isco Polman Resource (Isco). Aksi inipun menuai kritik kalangan aktivis lingkungan.

Terlebih, kasus ini mencuat pada Mei 2013 berawal dari ekspos Kejati, di sejumlah media nasional dan lokal. Ketika itu, Asisten Pidana Khusus Kejati Sulselbar, Chairul Amir mengakui ada masalah proses perizinan yang diterbitkan Bupati Polman, Ali Baal, kepada Isco.

Kesimpulan Kejati, diperoleh setelah pemeriksaan sejumlah saksi, baik pemda maupun DPRD Polman, termasuk Direktur Isco, Taufik Surjawijaya.

Setelah hampir setahun bergulir, perkembangan baru terjadi akhir 2013, tiba-tiba ada indikasi Kejati hendak menghentikan penyidikan kasus ini. Muhammad Kohar, Kepala Kejati Sulselbar, menyatakan, proses penyidikan dugaan korupsi Isco dihentikan dengan alasan tak menemukan unsur pidana.

Anwar Lassapa, Aktivis Forum Studi Lingkungan Hidup (Fosil), menyayangkan langkah Kejati. “Seharusnya Kejati lebih serius menangani kasus-kasus tambang bermasalah, karena dampaknya bagi kualitas lingkungan sangat besar. Apalagi terkait penggunaan hutan lindung untuk aktivitas tambang tanpa izin pemerintah,” katanya di Makassar, Kamis (30/1/14).

Dia berharap, Kejati bisa lebih transparan menjelaskan  kepada masyarakat alasan penghentian penyidikan itu. Kesimpangsiuran sikap Kejati khawatir bisa menimbulkan curiga dan memicu konflik dari masyarakat yang tinggal di kawasan tambang bermasalah.

“Sikap seperti inilah justru memicu konflik antara warga dengan pemerintah. Warga menjadi curiga pemerintah justru lebih memihak kepentingan pengusaha dibanding mereka.”

Isco adalah perusahaan tambang sebagian investasi dari China, yang mengeksplorasi biji besi di Desa Duampanua, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polewali Mandar, Sulbar.

Kasus ini sudah lama bergulir. Bermula dari izin tambang Bupati Polman, Ali Baal Masdar kepada Isco pada 2009. Ketika itu, Bupati, mengeluarkan izin penambangan di kawasan hutan area penggunaan lain (APL) seluas 130 hektar. Pemda ketika itu merekomendasikan Isco mengajukan izin pinjam pakai kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan (Kemenhut), meski upaya ini tak dilakukan.

Dalam perkembangan, luas wilayah dikelola mencapai 204,19 hektar, mencakup kawasan hutan lindung. Dalam aturan dikatakan hanya 153,33 hektar kawasan hutan dengan izin pengelolaan lahan bisa dikeluarkan bupati. Sisanya, 50,6 hektar izin Kemenhut.

Kasus ini, awalnya ditangani Kejati Sulselbar berdasarkan laporan warga. Kepada penyidik Kejaksaan, Direktur Isco, Taufik Surjawijaya, mengakui tak tahu seluk beluk perizinan tambang. Dia hanya tahun izin bupati, yang dinilai sudah cukup untuk aktivitas penambangan.

BPN Sulbar kepada penyidik kejaksaan mengakui banyak kejanggalan dalam pemberian izin Isco ini. Mereka merasa tidak pernah dilibatkan dalam setiap proses seharusnya terlibat, seperti proses pengecekan lahan maupun ganti rugi warga.

Peta lokasi tambang di Desa Duampanua, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yang berjarak sekitar 300 km dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Peta lokasi tambang di Desa Duampanua, Kecamatan Anreapi, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, yang berjarak sekitar 300 km dari Kota Makassar, Sulawesi Selatan.

“Pada saat pembayaran ganti rugi atau santunan, BPN juga tidak dilibatkan hingga tidak diketahui latar belakang orang-orang yang mengklaim lahan,” kata Nur Alim Rachim, Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Sulsel, dikutip dari Harian Sindo, akhir September 2013.

Tak hanya prosedur perizinan, Kejati ketika itu menemukan indikasi manipulasi data Isco maupun Pemda Polman, yang mengakui memberi ganti rugi kepada 233 warga. Meskipun mereka kesulitan menunjukkan daftar nama warga yang dimaksud.

Pemalsuan data ini diduga dilakukan Isco demi memenuhi syarat administrasi yang mewajibkan izin dan sepengetahuan warga setempat, termasuk pemberian ganti rugi bagi warga yang terkena dampak.

Ikhsan Welly, Direktur Walhi  Sulawesi Barat, angkat bicara. “Dugaan kami banyak prosedur dilanggar dalam proses pemberian perizinan terhadap perusahaan ini.”

Menurut dia, keberadaan tambang ini sarat masalah dan banyak mendapat penolakan warga. Apalagi, pembangunan tambang ini hanya berdasar surat izin bupati tanpa rekomendasi BPN dan Kemenhut, . Padahal, sebagian lokasi tambang di hutan lindung.

“Tim kami kini sudah ke lapangan untuk investigasi kasus ini. Kami sedang mengumpulkan informasi siapa yang terlibat proses perizinan ini. Kami menduga ada upaya gratifikasi.”

Armansyah Dore, Juru Bicara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, menilai, langkah Kejati terkesan pilih kasih dan membeda-bedakan penegakan hukum. Ketika warga bermasalah dengan hutan lindung, proses cepat dan langsung divonis tanpa pemeriksaan jelas.

“Kala perusahaan, jelas-jelas merambah hutan lindung, justru proses diperlambat dan seakan dicarikan celah untuk dibatalkan prosesnya. Ini aneh dan menggelikan.”

Dia mencontohkan, kasus Najamuddin, warga Dusun Tasosso, Desa Gunung Perak, Kecamatan Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai, Sulsel, divonis lima bulan penjara karena dituduh menebang dua pohon di hutan lindung. Ironisnya, pohon itu dulu sebenarnya ditanam oleh Najamuddin sendiri.

Sikap Kejati juga memicu reaksi dari aktivis Anti Corruption Commitee (ACC) Sulsel, yang segera melayangkan protes keras kepada lembaga ini. ACC mengancam mengadukan Kejati Sulsel ke Komisi Kejaksaan RI. Kejati berdalih penghentian kasus ini karena berdasar temuan Polda yang tidak mendapatkan indikasi pelanggaran dalam kasus Isco ini.

Anehnya, Humas Polda Sulsel, Kombes Endi Sutendi, membantah pernah menyelidiki apalagi penghentikan penyidikan terhadap kasus ini. Polres Polman juga membantah pernah menangani kasus ini.

“Ketika ditanyakan ke Kejati mereka bilang ini sudah ditangani kepolisian, kepolisian membantah menangani kasus ini. Terakhir dikonfirmasi, Kejati mengatakan tidak menghentikan kasus ini, hanya di-pending, sambil menunggu hasil kepolisian,” kata Kadir, aktivis ACC Sulsel.

Menurut Kadir, concern ACC pada kasus ini lebih pada kemungkinan korupsi ataupun penyalahgunaan kewenangan oleh pemda. Terkait aspek lingkungan akan diserahkan pada Walhi Sulbar dan NGO lingkungan lain.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , ,