Mongabay.co.id

Susahnya Menjaga Ekosistem Pesisir dan Laut Indonesia Bisa Tetap Baik

 

Potensi perairan laut Indonesia sejak lama sudah dikenal luas sebagai salah satu yang paling kaya di dunia. Kekayaan laut itu, mengelilingi gugusan 17.508 pulau dengan garis pantai membentang sepanjang 81.000 kilometer. Di antara gugusan pulau itu, ada 3,1 juta km persegi luas laut yang mencakup 0,8 juta km2 perairan teritorial, dan 2,3 juta km2 perairan Nusantara.

Wilayah laut yang luas tersebut, diketahui menjadi kawasan yang paling disukai oleh banyak biota laut dan makhluk hidup lainnya. Itu kenapa, wilayah laut Nusantara menjadi kawasan perairan yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi di dunia.

Pernyataan itu diungkapkan Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian PPN/BAPPENAS Sri Yanti JS di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, wilayah laut Indonesia menjadi ekosistem pesisir yang menyimpan potensi beragam yang sangat besar. Contohnya, adalah potensi hutan bakau (mangrove) dengan luas mencapai 3,3 juta hektare.

“Itu adalah 23 persen dari total ekosistem mangrove dunia, terluas di dunia,” ucapnya.

baca : Mangrove Itu Bermanfaat, Sekaligus Terancam, Kenapa?

 

Hutan mangrove yang memberi kebaikan bagi kehidupan manusia. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Tak hanya mangrove, Sri Yanti mengatakan, ekosistem pesisir dan laut Indonesia juga menyimpan potensi lamun hingga mencapai luas 29.464 ha, dan terumbu karang dengan luasan mencapai 25 ribu km2.

Luasan tersebut menasbihkan Indonesia sebagai pemilik terumbu karang terbesar di Asia Tenggara dan sekaligus menjadikannya sebagai jantung segitiga karang dunia. Adapun, wilayah segitiga karang dunia tak hanya meliputi perairan di Indonesia saja, namun juga di Malaysia, Papua Nugini, Filipina, Kepulauan Solomon, dan Timor Leste.

Ketiga ekosistem tersebut, memiliki peran penting secara ekologi, sosial budaya, dan berkontribusi untuk pertumbuhan ekonomi nasional maupun regional. Oleh itu, ketiga ekosistem tersebut, yakni mangrove, lamun, dan terumbu karang akan saling berkaitan antara satu dengan yang lain.

Untuk bisa tetap menjaga ekosistem tetap bagus sepanjang waktu, Sri menyebut diperlukan upaya bersama dengan melibatkan banyak pihak. Salah satunya, adalah dengan melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) 14 yang menjadi bentuk komitmen Pemerintah Pusat untuk mengelola ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.

“Komitmen itu kemudian ditungkan dalam indikator pencapaian pada proporsi produksi perikanan tangkap yang lestari, dan luasan kawasan konservasi perairan yang ditetapkan,” jelasnya.

Menurut Sri, indikator yang menjadi turunan nyata dari komitmen Pemerintah, kemudian dituangkan menjadi bagian dari dokumen perencanaan rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) periode 2020-2024. Salah satu yang menjadi prioritas, adalah melaksanakan pengelolaan kelautan dan kemaritiman melalui peningkatan pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan RI (WPP RI).

Di mata dia, WPP RI bisa menjadi basis pembangunan kelautan dan perikanan yang mumpuni, karena di dalamnya ada kemampuan yang tidak dimiliki oleh ekosistem lain. Melalui WPP RI juga, itu menjadi upaya strategis untuk menjaga kelestarian sumber daya perikanan dan sekaligus menjadi kendaraan menuju kesejahteraan ekonomi.

baca juga : Tata Kelola Terumbu Karang Berkelanjutan Resmi Diadopsi PBB

 

Nelayan tradisional menggunakan tangkul untuk menangkap ikan di Danau Dendam Tak Sudah. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Basis Pengelolaan

Sri menambahkan, menjadikan WPP RI sebagai basis pengelolaan, menjadi langkah strategis karena memang setiap WPP memiliki karakteristik, komoditas, kondisi ekosistem, dan permasalahan yang berbeda dengan WPP lain. Dengan demikian, diperlukan penanganan yang berbeda untuk setiap WPP yang ada di perairan Indonesia.

Maka dari itu, Pemerintah Indonesia sudah berencana untuk membentuk kelembagaan mandiri yang bisa mengatur dan mengelola setiap WPP. Dengan tujuan, agar lembaga tersebut nantinya bisa mewujudkan revitalisasi pengurusan dan pengelolaan perikanan dengan baik.

Di sisi lain, walau ada potensi yang besar dari ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Sri Yanti menyebut bahwa perairan Indonesia menyimpan tantangan yang besar dan sekaligus bisa menjadi isu strategis untuk pengelolaan perikanan. Di antaranya, adalah tingginya pencemaran laut yang mencapai 1,29 juta ton per tahun.

Kemudian, degradasi lingkungan serta tingginya tingkat kehilangan kehati (biodiversity loss) kelautan, dan ancaman perubahan iklim terhadap ekosistem pesisir. Semua tantangan itu berdampingan dengan isu strategi bagaimana memanfaatkan sumber daya perikanan bisa berjalan baik namun tetap terjaga kelestariannya.

Sementara, Guru Besar Ekonomi Kelautan Institut Pertanian Bogor Tridoyo Kusumastanto di tempat yang sama mengatakan, sebagai bagian dari konstelasi dunia dengan dua per tiga luasan wilayahnya adalah laut, Indonesia harus bisa bekerja sama secara kolaboratif berbasis ilmu pengetahuan untuk mengelola wilayah lautnya.

Untuk bisa melaksanakan itu, diperlukan pendekatan yang merujuk pada TPB 14 dan mencakup di dalamnya adalah tentang perspektif kesejahteraan, dan pendampingan masyarakat. Dalam melaksanakan pendekatan tersebut, diperlukan peraturan dari unit wilayah yang paling kecil.

Dengan melaksanakan pendekatan secara baik, Tridoyo meyakini bahwa sektor kelautan dan perikanan akan bisa menyumbangkan persentase yang besar untuk produk domestik bruto (PDB) nasional. Keyakinan itu muncul, karena laut menjadi masa depan pembangunan bangsa Indonesia dan saat ini baru menyumbang 3 persen saja untuk PDB nasional.

“Kita menantikan bagaimana komitmen Pemerintah yang baru berkaitan dengan pembangunan sektor kelautan dan perikanan Indonesia,” ucapnya.

Menurut Tridoyo, agar potensi ekonomi dari ekosistem pesisir dan laut bisa dimanfaatkan secara optimal dan memberikan sumbangsih untuk kemajuan ekonomi nasional, maka diperlukan upaya penyatuan manajemen perairan laut. Dengan cara tersebut, maka pengelolaan sumber daya perikanan dan ekosistem laut bisa dilakukan lebih baik dan terintegrasi.

perlu dibaca : Seluruh Dunia Didorong Segera Terapkan Ekonomi Biru untuk Laut Berkelanjutan

 

Kapan nelayan Suku Bajo di Pulau Bungin, Sumbawa, NTB. Di Indonesia, orang Bajo, menyebar di seluruh perairan Indonesia, dari barat sampai ke timur. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Potensi Ekologi

Sementara, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan mengatakan, laut saat ini menjadi masa depan bangsa, karena ada banyak potensi ekonomi dan ekologi yang bisa dikembangkan dan dimanfaatkan. Namun, agar pemanfaatan itu bisa berjalan, diperlukan pengelolaan yang baik, termasuk dengan membangun kawasan pulau terluas yang jumlahnya ada 12 di seluruh Indonesia.

“Akan ada mekanisme industrialisasi di pulau-pulau kecil kita untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga ketahanan pangan,” tuturnya.

Selain itu, agar TPB 14 bisa terlaksana dengan baik, KKP juga fokus melaksanakan tugasnya dengan baik yang di antaranya mencakup program pengurangan semua jenis pencemaran laut; pengelolaan dan perlindungan ekosistem laut dan pesisir secara berkelanjutan; meminimalisasi dan mengatasi dampak pengasaman laut.

Kemudian, mengatur pemanenan dan menghentikan penangkapan ikan yang berlebih, penangkapan ikan ilegal, praktik penangkapan ikan yang merusak; melestarikan setidaknya 10 persen dari wilayah pesisir laut; melarang bentuk subsidi perikanan tertentu yang berkontribusi terhadap kelebihan kapasitas dan penangkapan ikan ilegal, yang tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF).

Selain dari sisi ekonomi yang banyak dieksploitasi, ekosistem pesisir dan laut juga nyatanya menyimpan potensi ekologi yang tak kalah besarnya, yaitu karbon biru. Hal itu dikatakan oleh Peneliti Senior Center for International Forestry Research (CIFOR) Daniel Murdiyarso.

Menurut dia, ekosistem pesisir dan laut salah satunya menyimpan potensi hutan mangrove untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Keberadaannya bisa menyerap emisi yang bertebaran di udara dengan sangat banyak.

Kemudian, kemampuan mangrove dalam menyerap emisi di bumi, bisa mencapai 20 kali dari kemampuan hutan tropis yang ada di wilayah daratan. Karena itu, mangrove keberadaannya bisa menjadi gudang terbesar untuk penyimpanan emisi dunia.

“Potensi ekonomi dari mangrove sangatlah besar. Ada potensi blue carbon yang bisa menghasilkan nilai ekonomi besar,” jelas dosen Ilmu Atmosfer Institut Pertanian Bogor (IPB).

baca juga : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?

 

Hutan mangrove di Teluk Etna, Kabupaten Kaimana, Provinsi Papua Barat yang masih asri. Mangrove di Teluk Etna menjadi bagian dari mangrove Kaimana yang terluas dan potensial menjadi blue carbon di Indonesia. Foto : M Ambari/Mongabay Indonesia

 

Besarnya potensi karbon biru tersebut, kata Daniel, karena luasnya kawasan mangrove di Indonesia yang saat ini mencapai 2,9 juta hektare. Luasan tersebut sama dengan luas negara Belgia di Eropa atau seperempat dari total luas mangrove yang ada di seluruh dunia.

Dalam satu hektar hutan mangrove di Indonesia, tersimpan potensi karbon yang jumlahnya 5 kali lebih banyak dari karbon hutan dataran tinggi. Dan faktanya, saat ini hutan mangrove di Indonesia menyimpan cadangan karbon 1/3 dari total yang ada di dunia.

“Saat ini karbon yang tersimpan di hutan mangrove Indonesia mencapai 3,14 miliar ton. Dan, untuk bisa mengeluarkan karbon sebanyak itu, Indonesia perlu waktu hingga 20 tahun lamanya,” ucap anggota penyusun laporan panel antar pemerintah untuk perubahan iklim PBB (IPCC) itu.

 

Exit mobile version