Mongabay.co.id

Menjaga Sumber Pangan Berkualitas dan Aman dari Laut

 

Ketersediaan pangan yang sehat untuk dikonsumsi masyarakat dunia menjadi beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap Negara, salah satunya Indonesia. Selain itu, keamanan pangan juga harus bisa terjamin sebelum didistribusikan kepada para konsumen dan kemudian dikonsumsi oleh mereka semua.

Demikian kampanye yang didengungkan Badan Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) untuk memperingati Hari Pangan se-Dunia yang jatuh pada 16 Oktober lalu. Dengan menjamin ketersediaan pangan yang sehat disertai keamanan pangan yang terjaga, FAO meyakini itu akan bisa menghapus bencana kelaparan.

Kepala Perwakilan FAO Indonesia Stephen Rudgard di Jakarta, Rabu (16/10/2019) menyebutkan, keterjaminan sumber pangan dengan tetap menjaga kualitas dan keamanan pangan, akan mewujudkan terciptanya zero hunger atau tanpa kelaparan di setiap negara. Dengan pola tersebut, juga akan mengatasi bencana kekurangan gizi yang dialami oleh negara-negara di dunia.

“Mencapai tanpa kelaparan, tidak hanya tentang mengatasi kelaparan saja, tetapi juga memelihara kesehatan manusia dan bumi,” ungkap dia dalam keterangan resmi yang dikirimkan kepada Mongabay.

baca : Menggugat Kebijakan Investasi di Hari Pangan se Dunia

 

Masyarakat adat Pagu dan Modole di Halmahera Utara hidup di hutandengan berkebun dan bertani, antara lain, berladang padi. Foto: AMAN Malut

 

Menurut dia, agar masyarakat dunia, khususnya di Indonesia bisa mewujudkan prinsip tanpa kelaparan, maka diperlukan kerja sama lintas sektoral untuk menciptakan pola pangan yang sehat dan berkelanjutan, serta bisa dijangkau oleh semua orang. Untuk itu, masyarakat harus bisa membiasakan diri untuk berpikir makanan apa yang bisa dikonsumsi dan tidak.

Stephen mengatakan, pola pangan yang diterapkan oleh masyarakat dunia dalam beberapa tahun terakhir mengalami perubahan secara dramatis sebagai akibat adanya globalisasi, urbanisasi, dan bertambahnya pendapatan. Perubahan itu, ditandai dengan beralihnya menu makanan yang dikonsumsi masyarakat dari olahan pangan musiman ke olahan dari produk pasar modern seperti supermarket.

Perubahan itu bisa terjadi, karena waktu yang dibutuhkan masyarakat untuk menyiapkan makanan di rumah semakin berkurang. Kondisi itu muncul, karena kesibukan pekerjaan atau profesi yang dijalani masyarakat dunia, terutama yang tinggal di wilayah perkotaan, dari waktu ke waktu semakin tinggi.

“Konsumen semakin bergantung pada supermarket, gerai makanan cepat saji, makanan kaki lima, makanan pesan antar,” ucapnya.

Kebiasaan yang telah berubah itu, menurut Stephen menjadi pesan darurat yang harus dibaca oleh semua pihak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Mengingat, kombinasi dari pola pangan yang tidak sehat dan gaya hidup yang kurang aktif, menjadi faktor resiko pembunuh nomor satu di dunia. Juga, menjadi pemicu angka obesitas yang terus melonjak di seluruh dunia.

baca juga : Pertanian Berkelanjutan: Untuk Keamanan Pangan atau Untuk Ketahanan Petani?

 

Makanan berlebihan bisa memicu masalah lingkungan. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Perubahan

Oleh itu, Hari Pangan se-Dunia 2019 menyerukan aksi untuk membuat pola pangan sehat dan berkelanjutan yang dapat diakses dan terjangkau bagi semua orang. Kemitraan dengan banyak pihak, seperti petani, nelayan, Pemerintah, peneliti, sektor swasta, dan konsumen menjadi hal yang mendasar dan semuanya memiliki peran yang penting.

“Di Indonesia, 30,8 persen anak tergolong stunting atau mengalami kekerdilan, 10,2 persen anak-anak di bawah lima tahun kurus, dan 8 persen mengalami obesitas,” paparnya.

Salah satu sumber pangan yang bisa dikonsumsi dengan mudah oleh masyarakat dunia, khususnya di Indonesia, adalah berasal dari laut. Bertahun-tahun sejak lama, sumber daya perikanan selalu menjadi andalan bagi masyarakat di seluruh pulau, terutama yang mendiami pulau-pulau kecil.

Tetapi, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai, ketersediaan pangan yang sehat dan berkualitas dari laut saat ini sudah mulai terancam keberlangsungannya, menyusul banyaknya proyek pembangunan yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Salah satu contohnya, adalah pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hal itu diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati. Menurut dia, kehadiran PLTU di kawasan pesisir mengancam kehidupan nelayan yang selama ini menjadi produsen tetap pangan laut.

Dalam catatan KIARA, sampai dengan 2028 Pemerintah Indonesia akan membangun lebih dari 60 proyek PLTU dengan dukungan investasi dan utang dari sejumlah lembaga keuangan internasional. Keberadaan PLTU, dinilai sangat membahayakan ekosistem pesisir dan laut, karena produksinya sangat bergantung kepada komoditas batu bara.

“Itu terbukti mencemari udara dan perairan. Hal ini jelas mengancam ruang hidup nelayan, ekosistem perairan, dan keberlangsungan pangan laut,” jelas dia.

perlu dibaca : Reklamasi Pesisir Jadi Pilihan Rakyat atau Pemerintah?

 

Kapal pengangkut pasir sedang menyemprotkan pasir untuk megaproyek reklamasi Gurindam 12 di Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Foto : F Jailani/Batampos

 

Susan menambahkan, tidak hanya pembangunan PLTU, proyek pembangunan lain di kawasan pesisir juga menjadi penyumbang ancaman keberlangsungan ekosistem pesisir. Contohnya, adalah proyek reklamasi yang tersebar di kawasan pesisir dan juga mengancam ruang hidup nelayan serta keberlangsungan pangan laut di Indonesia.

Saat ini, tercatat ada 41 wilayah pesisir di Indonesia yang sedang melaksanakan proyek reklamasi dan itu mengancam ruang hidup nelayan yang selama ini menjadikan kawasan pesisir sebagai area pusat penangkapan ikan. Dengan ancaman tersebut, maka produksi ikan juga terancam akan berkurang dan bahkan hilang.

 

Pangan Laut

Hal lain yang juga mengancam keberlangsungan pangan laut adalah penambangan laut seperti penambangan pasir, minyak, dan gas. Proyek tersebut, bahkan sudah mendapat legalisasi dari Pemerintah Indonesia melalui regulasi rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

“Padahal, dalam praktiknya, RZWP3K justru sangat berpihak terhadap proyek-proyek ekstraktif yang mengancam keberlanjutan pangan laut,” tutur dia.

Menurut Susan, secara umum kebijakan Pemerintah di level nasional dinilai sangat memprioritaskan investasi. Namun, di saat yang sama, Pemerintah justru tidak memiliki orientasi perlindungan terhadap kehidupan nelayan, sebagai produsen utama pangan laut.

Akibat orientasi kebijakan seperti itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2017 merilis data yang menyebutkan bahwa sebanyak 7,87 juta jiwa atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional adalah mereka yang menggantungkan hidupnya pada sektor kelautan.

“Mereka adalah nelayan yang selama ini mendiami pesisir dan pulau-pulau kecil,” sebutnya.

baca juga : Keamanan Pangan Produk Perikanan, Kunci Bersaing di Pasar Internasional

 

Nelayan di pantai selatan Lebau, Flores. Foto: Burung Indonesia/Erlangga

 

Selain level nasional, Susan mengatakan, persoalan di kawasan pesisir dan laut juga terjadi di level internasional yang berkaitan dengan krisis iklim. Persoalan tersebut, juga mengancam keberlangsungan pangan laut karena imbas dari krisis iklim yang menjadi dampak akumulatif dari proyek pembangunan ekstraktif dan eksploitatif secara global.

Berkaitan dengan hal tersebut, pihak yang paling bertanggung jawab terhadap situasi krisis iklim secara global, adalah negara-negara industri. Padahal, akibat ulah negara-negara tersebut, suhu laut meningkat cepat dan menyebabkan terjadinya pemutihan karang (coral bleaching).

Saat situasi itu sedang terjadi, maka proses reproduksi ikan akan mengalami kesulitan dan akan berdampak jangka panjang pada produksi pangan laut. Akibatnya, produksi ikan yang biasa dilakukan nelayan dipastikan akan mengalami penurunan secara signifikan.

Dengan segala kondisi tersebut, Susan mendesak agar Pemerintah Indonesia mengevaluasi berbagai program pembangunan ekstraktif yang terbukti mencemari laut dan mengancam keberlangsungan pangan laut. Tak hanya itu, KIARA mendesak Pemerintah serius untuk meminta negara-negara industri menghentikan pembangunan yang menjadi kontributor utama krisis iklim.

Dalam catatan KIARA, produksi pangan laut dari sektor perikanan tangkap dunia mencapai 90,9 juta ton dan sektor perikanan budi daya dunia mencapai produksi 80 juta ton. Itu berarti, sebanyak 170,9 juta ton pangan laut berhasil diproduksi dari dua sektor unggulan tersebut. Dari angka tersebut, sebanyak 151,2 juta ton dikonsumsi oleh manusia.

“Ini merupakan bukti bahwa pangan laut merupakan sektor strategis dan penting bagi keberlangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, siapapun penting untuk terlibat memperjuangkan keberlangsungan pangan laut, mulai dari level nasional sampai dengan internasional,” pungkasnya.

 

Exit mobile version