Mongabay.co.id

Program Konservasi di Wallacea Turunkan Ancaman terhadap Puluhan Satwa Endemik

Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. Foto: Grace Ellen/Burung Indonesia

 

 

Desa Lamatokan yang berada di Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah daerah pesisir dimana Teluk Hadakewa berada. Satu dekade berlalu, ikan-ikan mulai berkurang. Sebabnya, terumbu karang yang rusak karena bom ikan. Nelayan harus melaut hingga keluar wilayah teluk agar bisa dapat ikan yang banyak.

Kondisi ini membuat Benediktus Bedil dan pemangku adat setempat berinisiatif menghidupkan kembali pranata adat untuk melindungi kembali laut mereka. Mereka menghidupkan tradisi yang disebut muro lewa yang berarti larangan laut.

Muro sendiri bisa dipahami sebagai kawasan di wilayah laut dan darat yang dilindungi melalui larangan. Wilayah yang telah ditentukan untuk perlindungan akan ditutup untuk aktivitas apapun dalam jangka tertentu. Tujuannya agar wilayah tersebut bisa menjadi cadangan pangan dan sekaligus memberi kesemoatan kepada alam untuk memulihkan diri.

Benediktus ketika tampil sebagai salah satu pembicara dalam acara bertajuk “Merayakan Capaian Konservasi di Wallacea” yang diselenggarakan oleh Burung Indonesia, di Hotel Fourpoint, Makassar, Rabu (2/9/2019) lalu, bercerita bahwa ketika muro sudah dipasang maka semua wajib ditaati karena akan ada sanksi adat bagi yang melanggar.

“Jadi mereka diawasi atau tidak, tidak akan dilanggar oleh masyarakat,” katanya.

baca : Wawancara dengan Benediktus Bedil: Menjaga Pesisir Pulau Lembata dengan Adat “Muro”

 

Benediktus Bedil, pendiri dan Direktur Lembaga Barekat. Foto: Ridzki R Sigit/Mongabay Indonesia

 

Penerapan kembali aturan lama ini ternyata berdampak pada pemulihan eksosistem di sekitar wilayah Teluk Hadakewa.

“Ikan-ikan kini sudah kembali. Masyarakat tak perlu lagi jauh-jauh mencari ikan ke tengah laut. Dan tentunya ini baik bagi penghasilan masyarakat sini,” ungkap Benediktus.

Kisah Benediktus adalah satu dari sekian cerita sukses pelaksanaan Program Kemitraan Wallacea diluncurkan pada tahun 2015 dan berakhir pada Oktober 2019 ini. Kisah ini terangkum juga dalam buku “Inspirasi dari Wallacea” bersama 16 kisah sukses lainnya.

Perjuangan Benediktus mengembalikan kembali muro ini bukan hal yang mudah. Tantangan muncul dari berbagai pihak dan bahkan pernah diancam akan dipolisikan oleh orang-orang yang terganggu.

Menurut Direktur Eksekutif Burung Indonesia, Dian Agista, selama ini Burung Indonesia dengan kerjasama berbagai Lembaga, bekerja untuk menyelamatkan tidak kurang dari 251 wilayah penting keberagaman hayati secara global, dari mulai hutan, pegunungan sampai pesisir. Dari mulai penyelamatan endemis sampai penyelamatan lokasi habitatnya dan banyak bekerja juga dengan masyarakat sekitar lokasi tapak.

“Jadi ini sudah mau berjalan 5 tahun dan kita mendekati akhir dan kita lihat sudah banyak capaian yang berhasil dikerjakan mitra-mitra di lapangan,” katanya.

Menurutnya, upaya konservasi ini tak bisa berhasil tanpa peran serta masyarakat, Cuma tak bisa diseragamkan karena setiap lokasi punya karakteristik masing-masing, status kawasan yang mempengaruhi, keberadaan masyarakat juga pasti mempengaruhi.

“Tapi tidak bisa konservasi keragaman hayati menganggap tidak ada manusia di dalamnya.”

baca juga : CEPF Burung Indonesia Tawarkan Dana Konservasi Satwa Endemik Sulawesi.  Apa Programnya?

 

Dalam acara “Merayakan Capaian Konservasi di Wallacea” yang diselenggarakan oleh Burung Indonesia, di Hotel Fourpoint, Makassar, Rabu (2/9/2019), disebutkan Program Kemitraan Wallacea telah menyalurkan pendanaan kepada 65 lembaga mitra untuk pelaksanaan 102 proyek konservasi di seluruh wilayah Wallacea. Foto : Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dian bilang bahwa Indonesia merupakan rumah berbagai burung endemis yang hanya ditemui di Indonesia. Di satu sisi merupakan potensi yang sangat besar namun di sisi lain juga mempunyai ancaman yang sangat besar.

“Untuk di laut karena adanya perubahan fungsi lahan. Dan sampai hari ini masih menjadi tantangan utama adalah perburuan liar. Juga perubahan iklim yang semakin panas memaksa fauna menjadi migrasi sehingga semakin berat tantangan yang dihadapi oleh keanekaragaman hayati.”

Terkait pelaksanaan kegiatan ini, Dian menyatakan bahwa upaya menghadirkan penggerak perubahan dan penentu kebijakan sengaja dilakukan agar mereka dapat menjalin kerjasama dan dapat diakomodir di tingkat nasional.

“Melalui selebrasi ini kami berharap dapat menumbuhkan energi positif bagi kita semua. Untuk maju lebih cepat dalam menyelamatkan keanekaragaman hayati, karena ini adalah salah satu kekayaan aset bangsa. Pengalaman dari kampung-kampung ide berbagai Wallacea kami yakin ini dapat memengaruhi keanekaragaman hayati yang lebih luas,” katanya.

Sri Mulyani dari Bappenas menjelaskan bahwa dalam rangka melestarikan keanekaragaman hayati di Indonesia pemerintah antara lain telah menetapkan kawasan konservasi dari taman nasional, suaka marga satwa dan lain-lain.

“Di situ ada list tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Lebih dari itu kita juga harus menerapkan spesies skala prioritas. RPJM pertama adalah menentukan 10 spesies yang harus ditingkatkan jumlahnya, dimana pada tahun 2015 sudah ada 25 jenis spesies untuk ditingkatkan jumlahnya, serta bagaimana memonitor perkembangan spesies tersebut,” ujarnya.

Selain itu, kegiatan utama yang dilakukan juga pemerintah selain melakukan pembinaan juga melakukan penanganan konflik satwa yang sering terjadi misalnya harimau dan gajah, dan buaya.

“Kami memiliki keterbatasan baik dari sumber daya manusia dan dana. Kegiatan lain selain penanganan konflik kami juga mengonservasi spesies-spesies dan melepasliarkan,” tambahnya.

menarik dibaca : Wallacea, Surga Keragaman Hayati yang Minim Penelitian

 

Hutan yang menyimpan keragaman satwa dan tumbuhan luar biasa di kawasan Wallacea. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Capaian Program Wallacea

Inisiasi program Wallacea ini sendiri telah dimulai sejak 2013 silam dimana CPF sebagai lembaga multidonor mempercayakan ke pada Burung Indonesia untuk melakukan program konservasi di Indonesia, khususnya di wilayah Wallacea, yang membentang sepanjang wilayah timur Indonesia, mencakup Sulawesi, NTT, Maluku dan Maluku Utara.

Program Kemitraan Wallacea diluncurkan pada tahun 2015 sebagai fasilitas pendanaan bagi organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk meningkatkan kapasitas dan perannya dalam perlindungan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan.

Dijelaskan Dian bahwa sejak dimulai hingga saat ini, program telah menyalurkan pendanaan kepada 65 lembaga mitra untuk pelaksanaan 102 proyek konservasi di seluruh wilayah Wallacea.

Proyek-proyek tersebut telah berkontribusi bagi pelestarian jenis-jenis yang mengalami ancaman eksploitasi, perlindungan daerah-daerah penting bagi keanekaragaman hayati (KBA), serta penguatan peran masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Secara singkat, dampak program ini mencakup dimensi species, sites dan people.

“Dalam perlindungan atas jenis-jenis flora dan fauna darat, program mampu berkontribusi menurunkan ancaman bagi 19 dari 22 jenis prioritas Wallacea. Beberapa di antaranya adalah Kakatua Maluku, Nuri Talaud dan Kura-kura Hutan Sulawesi.”

Hasil ini dicapai lewat berbagai strategi seperti perubahan perilaku, substitusi mata pencaharian serta penegakan komitmen dan penguatan kebijakan.

Sedangkan bagi keanekaragaman hayati laut, strategi program cukup efektif dalam melindungi ekosistem karang, mangrove dan lamun sehingga berkontribusi menurunkan ancaman bagi tidak kurang dari 207 jenis prioritas laut di Wallacea, di antaranya adalah dugong, penyu dan beragam jenis karang.

Dalam perlindungan KBA, program telah berkontribusi menciptakan kawasan konservasi baru seluas lebih dari 500 hektar.

“Tidak hanya kawasan konservasi yang sebagian besar berada di pesisir ini dirancang oleh masyarakat sendiri, namun juga secara efektif dikelola manajemennya oleh warga yang mendapat manfaat dari hasil laut yang membaik.”

perlu dibaca : Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru

 

 

Beberapa jenis satwa liar endemik yang terancam punah di Kawasan Wallacea. Searah jarum jam: Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis), Kakatua Putih (Cacatua alba), Babirusa (Babyrousa babirussa). Foto: Ridzki R. Sigit

 

Selain itu, program juga berkontribusi memastikan bentang lahan produksi dimanfaatkan secara berkelanjutan. Tidak kurang dari 160.000 hektar kawasan produksi baik di darat maupun pesisir dikelola agar tetap mendukung pelestarian kehati dan layanan alam (ecosystem services).

Secara keseluruhan, program telah dijalankan di 202 desa dan komunitas di 24 kabupaten dan kota dari 6 provinsi. Total jumlah penerima manfaat yang tercatat adalah 26.008 orang dengan lebih dari 10.000 di antaranya adalah perempuan.

“Program diharapkan telah berkontribusi meningkatkan peran dan kapasitas mereka dalam perlindungan kehati lewat berbagai pelatihan dan edukasi, asistensi dan pelibatan dalam perumusan kesepakatan dan kebijakan di berbagai tingkatan,” jelas Dian.

Berbagai organisasi di tingkat bawah serta platform multipihak telah terbentuk dan mendapatkan penguatan untuk dapat lebih berperan dalam menjaga benteng-benteng terakhir keanekaragaman hayati Wallacea.

***

 

Keterangan foto utama : Kakatua putih hasil sitaan Polair Maluku Utara dalam kandang karantina BKSDA Maluku di Ternate. Foto: Grace Ellen/Burung Indonesia

 

Exit mobile version