Mongabay.co.id

Setahun Kebijakan Moratorium: Sulitnya Benahi Tata Kelola Sawit

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Setahun lebih sudah Presiden Joko Widodo menerbitkan Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Harapannya, lewat kebijakan ini, bisa memperbaiki tata kelola perkebunan sawit yang karut marut menuju prinsip berkelanjutan, berkepastian hukum, menjaga dan melindungi lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca dan meningkatkan produktivitas perkebunan sawit. Sayangnya, sudah satu tahun kebijakan ini berjalan, belum terlihat ada kejelasan bagaimana pelaksanaan di lapangan. Bahkan, temuan beberapa organisasi masyarakat sipil, memperlihatkan izin tetap keluar meskipun ada inpres.

Tigor Hutapea, Manajer Advokasi Yayasan Pusaka dalam diskusi media di Jakarta, baru-baru ini mengatakan, penundaan izin perkebunan sawit selama tiga tahun ini, diharapkan dapat menyelesaikan masalah dengan benahi menata industri sawit dan sektor usaha terkait lain. Caranya, dengan verifikasi, evaluasi perizinan, penegakan hukum dan pemulihan kawasan hutan. Inpres ini, katanya, dia bayangkan mempunyai taring kuat dan tambahan amunisi dalam menyelesaikan permasalahan sawit.

“Setahun usia Inpres moratorium sawit, belum terlihat bisa mengurai dan membenahi tata kelola pengurusan lahan dan hutan,” katanya.

Berbicara keterbukaan, masih minim. Hingga kini, pemerintah masih belum mau memberikan informasi data hak guna usaha. Bahkan, pada Mei 2019, Deputi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Kemeko Perekonomian mengirimkan surat yang agar menutup akses informasi sawit. Pada November 2018, Menteri ATR/BPN masih menerbitkan HGU kepada perusahaan sawit PT. Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura.

Di tingkat warga, inpres ini dijadikan alat buat melawan. Salah satu terjadi di Suku Awyu, Distrik Fofi, Boven Digoel, Papua. Inpres moratorium bermanfaat melawan rencana ekspansi dan menunda bisnis perkebunan sawit di wilayah adat mereka.

Mereka yang tergabung dalam Gerakan Cinta Tanah Adat, kolektif dan meluas, membuat dan memasang papan plang yang mencantumkan judul Inpres moratorium sawit. Puluhan papan perlawanan ini dipasang di samping tiang salib pada tiap batas tanah adat setiap kelompok marga di 20 kampung di Distrik Fofi, Distrik Mandobo, (Boven Digoel), dan Distrik Kamur, Mappi.

Kebijakan moratorium izin sawit, katanya, memang perlu lebih membuka diri dan melibatkan masyarakat luas. Pada tataran praksis, moratorium tak semata bergantung pada pada tim kerja yang sangat teknokratik dan analisis di atas kertas. “Perlu upaya lebih radikal untuk melihat problem-problem di lapangan. Tim juga sebaiknya dipimpin presiden langsung.”

Dia mendesak, pemerintah mengakui dan mengembalikan hutan adat Papua yang dialihkan kepada perusahaan perkebunan. Yayasan Pusaka memperkirakan, ada sekitar 1.161.446 hektar kawasan hutan lepas jadi berizin namun belum diusahakan.

Sekar Banjara Aji dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengatakan, kebijakan ini menarik karena keluar setahun sebelum masa jabatan Presiden Joko Widodo, periode pertama berakhir.

Inpres ini sebenarnya sudah lebih maju dibandingkan kebijakan lain, seperti, Inpres Moratorium Izin Hutan Primer dan Lahan Gambut. Inpres ini, satu-satunya berbicara mengenai evaluasi perizinan.

Meskipun begitu, katanya, ada beberapa catatan kritis dari inpres moratorium sawit ini, seperti perlu masyarakat sipil masuk dalam tim kerja. Juga, tim hanya perlu melaporkan ke presiden enam bulan sekali kala sewaktu-waktu presiden minta, tetapi tak terbuka ke publik.

 

Perusahaan yang membuka kebun sawit dan berkonflik lahan dengan masyarakat adat Laman Kinipan di Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

 

Baru sebatas persiapan

Hadi Saputra dari Sawit Watch mengatakan, implementasi inpres moratorium sawit, masih bersifat persiapan dan koordinasi, belum ada capaian signifikan. Belum ada kasus-kasus tumpang tindih yang jadi perhatian publik selesai lewat inpres ini. Dari 25 provinsi dan 247 kabupaten dan kota yang mempunyai perkebunan sawit, mayoritas belum memberikan respon inpres ini.

Dalam satu tahun inpres, beberapa hal sudah dilakukan pemerintah. Menteri Koodinator Bidang Perekonomian yang ditunjuk sebagai koodinator inpres ini misal membentuk tim kerja penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit, menyusun standar minimum kompilasi data, menyusun rencana kerja pemetaan luas perkebunan sawit nasional. Juga, menyelenggarakan rapat koordinasi tindak lanjut Inpres. Kemenko Perekonomian juga menunjuk tujuh provinsi prioritas, yakni, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur.

“Sayangnya, Papua dan Papua Barat, dua provinsi dengan tutupan hutan terbanyak di perkebunan sawit, tidak masuk daftar provinsi prioritas. Padahal potensi hutan alam yang dapat diselamatkan sangat luas,” katanya.

Selama satu tahun, katanya, Kemenko Perekonomian lebih banyak begerak dalam perumusan kebijakan dan persiapan instrumen pendukung. Khususnya, konsolidasi dan rekonsiliasi data perkebunan sawit di Indonesia yang akan teringrasi dalam Kebijakan Satu Peta berbentuk IGT tematik sawit. Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian, sebagai walidata.

Dalam beberapa kali audiensi dengan Koalisi Masyarakat Sipil, salah satu tantangan dikemukakan Kemenko Perekonomian, karena belum bergerak beberapa kementerian teknis dalam mengerjakan mandat inpreså. Beberapa kali pula Kemenko Perekonomian menyatakan tak dapat eksekusi langsung mandat inpres, hanya memberikan panduan pelaksanaan.

Kemudian, hal sudah dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penundaan penerbitan izin baru pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. KLHK menyebut telah menunda pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit 950.000 hektar.

“Namun, daftar nama perusahaan yang ditunda permohonan pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutannya belum juga disampaikan kepada Kemenko Perekonomian. Data perusahaan yang ditunda izin oleh KLHK juga tak pernah dirilis kepada publik,” kata Hadi.

Hadi juga menyebut, peta kebun-kebun sawit ilegal di kawasan hutan tak pernah terpublikasi. Begitu juga daftar perusahaan yang wajib membangun kebun rakyat—20% dari pelepasan kawasan hutan, juga tak pernah tahu.

“Menteri LHK dalam pernyataan di media menyatakan akan mengevaluasi izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 2,5 juta hektar. Terdiri dari permohonan izin yang diajukan namun belum dikabulkan. Izin yang telah diberikan namun belum tatabatas atau belum pembukaan lahan. Hasil evaluasi ini belum didapatkan oleh Kemenko Perekonomian,” katanya.

KLHK sudah membentuk tim penyusunan langkah-langkah pelaksanaan inpres moratorium sawit terdiri dari para pakar. KLHK tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) berisikan langkah-langkah penyelesaian perkebunan sawit berdasarkan masukan tipologi penyelesaian sawit di kawasan hutan usulan Yayasan Kehati, WWF, dan Auriga.

Klaim KLHK soal penundaan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit, katanya, layak diperdebatkan. Sebagai contoh, kasus Buol. Pada 23 November 2018, KLHK mengeluarkan pelepasan izin penggunaan hutan atas nama PT Hardaya Inti Plantations seluas 9.964 hektar. “Meskipun kawasan lepas masih memiliki tutupan hutan alam produktif. Laporan masyarakat sipil terkait hal ini juga tidak direspon memadai oleh KLHK,” katanya.

Kemudian, perkembangan Menteri ATR/BPN dengan mengumpulkan data HGU perkebunan sawit yang tersedia dalam Kebijakan Satu Peta. Data HGU ini masih harus dimutakhirkan.

Selain terkendala data tak lengkap dan tak sinkron, katanya, kelambatan implementasi inpres ini dalam setahun terakhir terindikasi karena faktor kelembagaan. Tim Kerja Menko Perekonomian menempatkan asisten deputi sebagai ketua tim teknis, hingga wewenang kurang kuat.

“Masih saja ditemukan permasalahan klasik seperti ego sektoral antar lembaga hingga koordinasi terkait implementasi inpres ini kurang terlaksana baik. Proses transisi politik masih belum menentu turut memperlambat implementasi,” katanya.

 

Sepanjang mata memandang perkebunan sawit HIP di Kabupaten Buol. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Ada daerah komitmen, ada HGU keluar setelah inpres…

Adapun terkait capaian di tingkat daerah, mulai tampak di berbagai daerah meskipun belum begitu banyak. Papua Barat, misal, membuat komitmen Deklarasi Manokwari. Lewat deklarasi ini, mereka bertekad meningkatkan fungsi lindung hinggal 70% dalam alokasi pola ruang provinsi.

Meski begitu, kata Hadi, implementasi Inpres Moratorioum Sawit di Papua Barat, belum optimal.

Saat ini, Papua Barat mengumpulkan data sekunder berkenaan perkebunan sawit. “Luas perkebunan sawit di Papua Barat, 300.000 hektar. Ini bersinergis dengan inpres. Hal ditunggu publik, operasionalisasi dari Deklarasi Manokwari dan Inpres Moratorium Sawit dalam bentuk kebijakan publik, baik peraturan daerah atau kebijakan lain,” katanya.

Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, katanya, merespon inpres ini dengan mengeluarkan surat edaran. “Pemkab Sanggau, juga meluncurkan sistem informasi data perkebunan sawit berbasis internet sebagai upaya transparansi dan akuntabilitas informasi perkebunan sawit di Sanggau.”

Di Sulawesi Selatan, menindaklanjuti inpres ini dengan mengumpulkan organisasi perangkat daerah guna persiapan inpres dan sepakat membentuk tim kerja implementasi inpres dari lintas sektor, akademis, organisasi masyarakat sipil dan swasta.

Komitmen serupa juga keluar dari Bupati Banyuasin, yang akan membentuk kebijakan lokal dalam merespon kebijakan moratorium sawit. Rencana produk kebijakan berupa surat edaran atau peraturan bupati. Pemkab Banyuasin juga berkomitmen membentuk gugus tugas reforma agraria (GTRA).

Bupati Gorontalo, juga menyepakati akan menjalankan inpres ini. Bupati segera menyiapkan pembuatan surat edaran tentang inpres di Kabupaten Gorontalo dan penyusunan surat keputusan GRTA kabupaten.”

Di tengah berbagai komitmen muncul di berbagai daerah, keadaan berbeda terjadi di pemerintah provinsi dan kabupaten di Papua. Menurut Hadi, di Papua, tak banyak mengetahui kebijakan ini. Masih ada dugaan pemberian izin baru kepada beberapa perusahaan sawit, seperti pemberian izin usaha perkebunan kepada PT. Mitra Silva Lestari (MSL) di Distrik Tahota, Manokwari Selatan dan perusahaan PT. MSL buka lahan tanpa analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

“Kasus serupa terjadi di Boven Digoel. Ada pemberian atau pengalihan izin lokasi baru kepada PT. Digoel Agri di Distrik Jair. Menteri ATR/BPN masih menerbitkan HGU kepada perusahaan sawit PT. Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura,” katanya.

Berbeda dengan di Kabupaten Aceh Utara. Jauh sebelum inpres moratorium sawit keluar, Aceh Utara membuat kebijakan daerah mememoratorium izin perkebunan sawit baru.

Bupati Aceh Utara mengeluarkan Instruksi Bupati Aceh Utara No.548/INSTR/2016 tentang Moratorium Izin Perkebunan Sawit Baru.

Dalam instruksi ini memuat bukan hanya menghentikan izin perkebunan sawit baru, juga mengintruksikan untuk pemantauan dan evaluasi terhadap perkebunan yang ada.

“Secara garis besar, implementasi terhadap inpres moratorium sawit dalam satu tahun ini tak berbeda signifikan dengan imlementasi enam bulan sebelumnya. Temuan-temuan implementasi morarotium sawit ini menunjukkan, belum ada hal-hal luar biasa yang dilakukan pemerintah pusat ataupun kabupaten dan provinsi.”

Hadi juga menyoroti, produktivitas petani sebagai amanat inpres ini. Kementerian Pertanian memiliki target agar produktivitas perkebunan sawit bisa mencapai 36 ton per hektar per tahun. Sayangnya, produktivitas petani masih rendah, 12 ton perhektar pertahun.

Salah satu program peningkatan produktivitas saat ini, katanya, program peremajaan sawit rakyat dengan pemaanfaatan dana BPDP-KS. Sampai pertengahan 2019, realisasi program peremajaan sawit rakyat (PSR) di bawah 10% dari target 200.000 hektar.

“Kementerian Pertanian belum berkontribusi signifikan. Tim kerja moratorium sawit belum ada informasi resmi berkenaan hasil verifikasi dan evaluasi izin usaha perkebunan, surat tanda daftar usaha perkebunan, dan fasilitasi pembangunan kebun rakyat paling kurang 20% oleh pemilik IUP.”

Mengenai penyelesaian permasalahan perkebunan sawit dalam kawasan hutan, kata Hadi, dalam satu tahun inpres, belum terlihat ada kemajuan signifikan.

Di Papua, misal, luas perkebunan sawit sampai 2017 mencapai 2,96 juta hektar atau 9% dari provinsi. Berdasarkan peta penunjukan fungsi kawasan No 782/Menhut_II/2012 di Papua menunjukkan, 61.24% (1,81 juta hektar) dari luas kebun sawit dalam kawasan hutan.

 

Hutan Papua yang terus terancam, salah oleh perkebunan sawit. Foto: Nanang Sujana

 

Setidaknya, 31.050 hektar kebun sawit dalam hutan alam dan 10.860 pada kawasan konservasi. Konsesi kebun sawit di Papua, terbesar pada hutan produksi terbatas, sebesar 1,06 juta hektar.

Secara umum, konsesi sawit juga salah satu penyebab deforestasi di Papua tinggi. Analisa Forest Watch Indonesia (FWI) 2013-2018 menunjukan, deforestasi kebun sawit di Papua mencapai 186.099 hektar.

Analisis spasial FWI, menunjukkan, terdapatada lima perusahaan terbesar terindikasi kebun sawit di kawasan lindung, seperti PT. Anatanin Roda Persada, sebesar 9.394 hektar (18,4%). PT. Sinergi Tani Nusantara, 12% total luasan dalam taman nasional.

“Ini persoalan serius mengingat kawasan-kawasan lindung dan konservasi seharusnya tak tersentuh konsesi apapun.”

Di Kalimantan Timur, ada 2,3 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan. Dalam RPJMD tahun 2013-2018, Pemerintah Kaltim menargetkan 1.3 juta hektar perkebunan sawit. Ternyata, Kaltim mengalokasikan 3.26 juta hektar lahan untuk perkebunan sawit di dalam RTRW 2016-2036.

Data Dinas Perkebunan Kaltim 2017, menyebutkan, konsesi izin sawit di Kaltim sudah 3.07 juta hektar, dengan luas IUP 2.53 juta hektar, kepada 329 perusahaan. Dari luas itu, 184 izin hak guna usaha (HGU) seluas 1.14 juta hektar.

Temuan Kaoem Telapak menyebut, ada sebaran HGU tak memiliki informasi spesifik kapan pemerintah beritakan HGU itu, dengan luas pelepasan kawasan hutan 622.045 hektar. Izin-izin ini tersebar merata di delapan kabupaten di Kaltim, yaitu, Nunukan dan Bulungan– masih bergabung dengan Kaltim.

Sawit Watch meminta, presiden menginstruksikan kementerian atau lembaga terkait segera membuat peta jalan satu pintu moratorium sawit. Hal ini perlu, katanya, untuk mengefektifkan proses moratorium sawit hingga tak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran. Selain itu, peta jalan juga perlu untuk peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat.

Kementerian terkait, katanya, segera menindaklanjuti beberapa daerah baik di provinsi maupun kabupaten yang berkomitmen mendukung moratorium sawit. Dukungan ini, katanya, dapat memfasilitasi aturan teknis di lapangan dan dukungan anggaran.

Dalam pelaksanaan dan pengawasan moratorium sawit, katanya, pemerintah mesti melibatkan organisasi masyarakat sipil dan organisasi lintas keagamaan. Pelibatan organisasi keagamaan penting karena bisa jadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat untuk mendukung proses moratorium sawit. Pelibatan masyarakat lokal dan adat juga sangat penting dalam pengawasan moratorium sawit agar mencegah perusakan lingkungan.”

 

Sawit petani kecil terutama sawit mandiri (swadaya) masih menghadapi berbagai masalah, dari tata kelola, sampai produktivitas. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

Sulitnya perbaiki tata kelola sawit

Prabianto Mukti Wibowo, Asisten Deputi Tata Kelola Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menampik upaya moratorium sawit jalan di tempat. Meskipun begitu, dia membenarkan, tak ada data tutupan lahan sawit nasional pun jadi kendala dalam mengurai permasalahan sawit di Indonesia.

”Dari awal kita tak memiliki database (kebun sawit) yang kuat. Database dalam artian data spasial, di mana sebenarnya letak posisi kebun sawit. Artinya, HGU seringkali diterbitkan tidak sesuai peruntukan tata ruang. HGU juga terbit, ternyata tumpang tindih dengan kawasan hutan,” katanya dalam diskusi Setahun Moratorium Sawit, Intensifikasi Tanpa Ekspansi, di Jakarta, pekan lalu.

Berdasarkan hasil rekonsiliasi data spasial lintas kementerian lembaga dan teknologi citra satelit resolusi tinggi, yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Informasi Geospasial (BIG), Lapan, dan organisasi masyarakat sipil ditentukan luasan tutupan lahan sawit kurang lebih 16.381.959 hektar. Tentunya, angka ini bisa terus bertambah.

Dari 16,28 juta itu, luasan didominasi di beberapa daerah, seperti Riau 20,68% (3.387.206 hektar), Sumatera Utara 12,69% (2.079.027 hektar), Kalimantan Barat 11,03% (1.807.643 hektar), Kalimantan Tengah 10,86% (1.778.702 hektar) dan Sumatera Selatan 8,96% (1.468.468 hektar).

Tahap rekonsiliasi ini perlu guna mengintegrasikan data dalam kebijakan satu peta yang jadi dasar pengambilan keputusan. Dari pemetaan 16,38 juta itu, akan pendataan perizinan, mencocokkan dengan peta hak guna usaha, peta tutupan kawasan hutan, izin-izin perkebunan mulai IUP, surat daftar usaha perkebunan (STDUP) dan izin lokasi.

Dengan identifikasi itu, katanya, diharapkan mampu meningkatkan tata kelola perkebunan sawit nasional guna mengamankan hak-hak negara, salah satu, pajak restribusi dan kesejahteraan masyarakat

Dari kajian pra inpres, KLHK menemukan terdapat 3,1 juta hektar perkebunan sawit di kawasan hutan yang belum mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan. Prabianto bilang, penyelesaian tidaklah mudah dan sedang dibicarakan bersama dengan pakar hukum.

Kajian mendalam, katanya, untuk menghindari gugatan kepada pemerintah. Penyelesaian, katanya, perlu melihat sejarah perubahan regulasi di pemerintahan yang memungkinkan membangun kebun. Adapun, regulasi yang mengatur proses penarikan atau penyelesaian perkebunan sawit dalam masih dirumuskan.

”Ini sedang kami rumuskan melalui peraturan pemerintah. […] Kita usahakan secepatnya, sudah ada konsep tapi masih memerlukan pembahasan para pihak. Minimal kita sudah identifikasi tipologi masalah dan solusi seperti apa.”

 

Sawit. Komoditas dengan tata kelola masih bermasalah. Pemerintah berupaya benahi tata kelola dengan berbagai aturan dan kebijakan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, pemerintah juga mengindentifikasi dari 5,8 juta hektar lahan dari pelepasan kawasan hutan, ada 1,5 juta hektar belum dikonversi jadi perkebunan, 1,4 juta hektar masih bertutupan lahan baik. Temuan ini, kata Prabianto, jadi subyek evaluasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

”Izin yang dikeluarkan tapi belum dimanfaatkan perlu dievaluasi dan bisa diambil kembali sebagai tanah negara, bisa jadi kawasan hutan ataupun redistribusi tanah obyek reforma agraria,” katanya.

Dalam satu tahun moratorium berlangsung, KLHK telah menunda izin baru pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan seluas 1,6 juta hektar. Jumlah itu, antara lain, 17.000 hektar masih dalam permohonan, 1,5 juta hektar belum ada persetujuan prinsip dan tutupan hutan masih baik, dan 160.000 hektar sudah ada izin prinsip namun belum ada tata batas lahan.

Secara terpisah, Wiko Saputra, peneliti dari Yayasan Auriga menyebutkan, belum ada perkembangan signifikan terkait tata kelola sawit pasca inpres terbit.

”Hasil pemantauan dan evaluasi moratorium sawit, pertama, masih banyak lahan di dalam areal PKH (pelepasan kawasan hutan-red) yang masih memiliki tutupan hutan alam.” Juga masih banyak perusahaan penerima surat PKH yang tak menunaikan kewajiban 20% untuk membangun kebun plasma, dan masih ada titik api di areal itu.

Hasil pemantauan, Auriga menemukan dalam areal pelepasan kawasan hutan, ada sekitar 1.121 titik api terpantau. Dia berharap, bisa proses penegakan hukum KLHK.

“Hasil pemantauan moratorium sawit kami ada ada sekitar 1.406.505 hektar masih tutupan hutan alam di dalam pelepasan. Banyak izin-izin pelepasan kawasan hutan sudah lama tapi tidak dikerjakan dan dibiarkan, tutupan masih hutan alam dan risiko kebakaran tinggi,” katanya.

 

Hutan rusak akibat pembukaan lahan kelapa sawit di Aceh Tamiang. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Kembalikan jadi kawasan hutan

Rekomendasi Koalisi Masyarakat Sipil, luasan 1,4 juta itu tidak menjadi sawit. “Ada pelepasan 1,4 juta hektar lahan masih berhutan untuk korporasi sawit oleh KLHK. Jika semua pihak benar menyepakati prinsip moratorium, untuk intensifikasi tanpa ekspansi lahan, area ini perlu segera dikembalikan sebagai hutan,” kata Syahrul Fitra, Direktur Komunikasi Yayasan Auriga Nusantara.

Senada dengan Syahrul, Aditya Bayunanda, Direktur Kebijakan dan Advokasi WWF Indonesia mengatakan, meski rekonsiliasi data jadi landasan penting dalam upaya tata kelola, hal harus diselesaikan pengembalian areal pelepasan kawasan hutan yang masih berhutan baik jadi kawasan hutan.

”Areal yang belum diuasahakan tapi sudah dilepas, inilah yang jadi konsentrasi segera diselesaikan. Persoalan besarnya, sawit itu masalah deforestasi. Ini akan jadi sinyal bagus bagi para pelaku dan pasar karena mereka memperhatikan upaya-upaya Indonesia dalam memastikan sawit tata kelola baik,” kata Aditya.

Secara global, dia yakin langkah dan sinyal positif ini mampu menunjukkan komitmen serius Pemerintah Indonesia dalam perbaikan tata kelola sawit. Pemerintah pun diharapkan memiliki peta jalan yang tegas dalam penyelesaian masalah tata kelola sawit.

Mengenai penyelesaian 3,1 juta perkebunan dalam kawasan hutan, katanya, tak perlu terbawa konteks pemutihan. Kalau memang petani kecil bisa jadi bagian dari tanah untuk reforma agraria (tora). “Perlu hati-hati itu banyak penyusup, cukong dan sebagainya,” katanya, seraya bilang, perlu penegasan mengenai defenisi smallholder (petani skala kecil).

 

Berbeda maknai 20%

Selain permasalahan tumpang tindih lahan dan tak ada data pasti dalam perkebunan sawit, juga terdapat beberapa aturan sektoral yang memiliki regulasi yang saling tumpang tindih dan berbeda pemahaman, seperti soal alokasi 20% untuk plasma atau kebun rakyat.

Berdasarkan UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan dan Pementan Nomor 98/2013 mewajibkan, pembangunan perkebunan rakyat di luar area perusahaan pemegang izin usaha perkebunan sebesar 20% dari izin dan berlaku bagi izin usaha perkebunan yang terbit pada 2007-2017.

Sedangkan regulasi sektor Kehutanan, yakni, UU 41/1999 tentang Kehutanan dan Permen LHK Nomor 51/2017 menyebutkan, ada kewajiban pemegang izin pelepasan kawasan hutan mengalokasikan 20% areal bagi kebun rakyat, dan berada dalam areal izin pelepasan kawasan hutan.

”Realisasi fasilitasi pembangunan kebun masyarakat 28,98% dari targer 2,14 juta hektar,” kata Irmijati Rachmi Nurbahar, Irmijati Rachmi Nurbahar, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar Kementerian Pertanian.

Dari Permen ATR.BPN Nomor 7/2017 mengatur pemegang hak guna usaha wajib menyediakan 20% lahan untuk kebun plasma. Meski demikian, setiap aturan tak memiliki pedoman teknis dalam pelaksanaannya.

“Kalau misalkan, diambil 20% mau bagikan kepada siapa? Apakah mau dibagikan di kabupaten lain, provinsi lain misalkan. Atau bagi hasil saja 20% diserahkan pada kelompok masyarakat mana, misal. Ini masih sedang kita rumuskan sebenarnya,” kata Prabianto.

Berdasarkan data BPK (2019), kata Wiko, dari pelepasan kawasan hutan seharusnya ada 1.083.681 hektar lahan sawit untuk masyarakat. Baru 28% perusahaan menjalankan kewajiban membangun kebun plasma.

“Selain tidak terjadi alokasi, juga kami menemukan ada banyak persaingan usaha tidak sehat dalam kemitraan ini.” Konflik seperti ini, katanya, cukup tinggi, terutama masyarakat adat di situ.

“Dari 28% ini, masih tersisa 72% harus masuk ke dalam program reforma agraria. Ini cukup luas dan perlu dibahas terkait model reforma agraria yang ideal seperti apa yang pas untuk menyelesaikan masalah ini,” katanya.

Mukti Sardjono mengatakan, manfaat inpres moratorium masih belum terasa karena masih banyak izin lahan tumpang tindih. “Saat ini, masih terjadi tumpang tindih berbagai izin, terutama hak guna usaha dan kawasan hutan,” ujarnya.

Katanya, perizinan yang tidak sinkron tersebut dapat memicu terjadinya perdebatan dan konflik. Hal inilah yang menurutnya tidak memberi kepastian dalam berinvestasi dan menjauhkan target untuk meningkatkan produktivitas.

 

Masih tergantung  sawit

Wiko Saputra, peneliti dari Yayasan Auriga menyebutka,n  Indonesia masih belum memiliki keberanian untuk benar-benar terlepas dari ketergantungan sawit.

“Pemerintah Indonesia tidak punya roadmap keluar dari sawit. Kalau Malaysia, jelas roadmap-nya,  yaitu berkeinginan  benar-benar keluar dari ketergantungan perkebunan sawit,” katanya.

Pemerintah Malaysia, katanya, memiliki perencanaan tahun 2010 tidak ada lagi pembukaan lahan baru di  Semenanjung Malaysia, begitu juga peremajaan. Artinya, penanaman setop  di Semenanjung Malaysia. “Mereka fokus hanya di Sabah dan Sarawak. Mereka punya ketentuan, lahan yang bekas sawit itu untuk apa,” kata Wiko.

Meski memiliki Inpres Moratorium Sawit, pengelolaan  sawit Indonesia  masih jauh dari Malaysia, bahkan mereka sudah mempertimbahngkan terkait lahan bekas tanaman sawit.

Lahan bekas sawit yang terlanjur tak  produktif di Malaysia, katanya, bisa untuk  fasilitas umum dan fasilitas sosial, pusat perkantoran atau pemerintahan dan kawasan ekonomi ekslusif. Perencanaan seperti ini, katanya, perlu matang.

 

Keterangan foto utama:  Kala tata kelola buruk, berbagai masalah muncul, salah satu kebakaran. Kebakaran di perusahaan sawit di Muarojambi, Jambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Warga di Kampung Kabuyu, menduduki kembali lahan yang dulu tanah-tanah keluarga mereka yang sudah jadi konsesi perusahaan sawit. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version