Mongabay.co.id

Orang Tobelo Dalam Khawatir Perusahaan Tambang Rusak Hutan Ake Jira

Pondok orang Tobelo Dalam di Hutan Ake Jira. Masih ada beberapa keluarga hidup di dalam hutan, seperti tetua Ibu Tupa. Foto: AMAN Malut

 

 

 

 

Ngigoro Dulada, duduk bersila di ruang tengah Kantor Aliansi Masyarakat Adat Nunsantara (AMAN) Maluku Utara di Ternate, Maluku Utara, akhir September lalu. Dia turunan Tobelo Dalam Ake Jira Halmahera Tengah, Maluku Utara, yang sedang memperjuangkan hutan Ake Jira. Hutan ini kini terancam penggusuran untuk jalan tambang nikel di Halmahera Tengah.

”Nama saya dalam Bahasa Tobelo Dalam, berarti pinggir kali. Mungkin waktu itu   dilahirkan di pinggir kali di hutan Akejira hingga dipanggil begitu,” kata pria 68 tahun, yang kini hidup di Buli, Halmahera Timur dan biasa disapa dengan Gerson.

Hari itu, Ngigoro, tak sendiri. Dia bersama ponakannya, Laurent Guslaw, Ato Bawange dan Yogi Humadada. Mereka datang ke Kantor AMAN sejak 11 September 2019 meminta pendampingan dalam memperjuangkan nasib hutan Ake Jira.

Di wilayah itu, beroperasi perusahaan tambang nikel, PT Weda Bay Nickel (WBN). WBN adalah perusahaan yang mengantongi izin kontrak karya pada 19 Feberuari 1998, dengan luas kawasan semula 120.500 hektar dan penciutan hingga tersisa 54,874 hektar.

Sebelumnya, pemegang salam mayoritas WBN, adalah Strand Minerals, dengan kepemilikan Eramet (66,6%), Mitsubishi Corporation (30%), serta Pamco (3,4%). Belakangan, Mitsubishi menjual saham ke Eramet.

Tsingshan Group, masuk dan jadi pemegang saham mayoritas di Strand Minerals dengan kepemilikan 57%, sisanya, 43% tetap Eramet. Adapun Strand Minerals merupakan pemegang 90% saham Weda Bay. Sisanya, PT Antam (Persero) Tbk.

Hutan Ake Jira masuk dalam wilayah dua kabupaten, yakni Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Hutan itu, kata Ngigoro ditempati nenek moyang mereka sejak beratusan tahun silam.

“Saya termasuk turunan keempat Suku Tobelo Dalam, yang menempati hutan Akejira. Di atas buyut kami itu saya sudah tidak tahu. Buyut kami namanya , Kokawahi. Anaknya bernama Soldado. Soldado memiliki enam anak masing-masing Duladi, Jahamina, Mustika Papajalan, Rani dan Bailele.”

Ngigoro   bilang, sudah tak tahu nama orangtua Kokawahi. Berarti, sudah ratusan tahun nenek moyang mereka menempati hutan Ake Jira. Kokawahi   beranak pinak   di hutan yang akan dieksploitasi perusahaan tambang nikel.

Duladi memiliki anak bernama Gerson (Ngigoro), Nelson (Berekiti), Hana (Ibadoro) dan Sibeti (Midingi). Duladi meninggal di hutan pada 1958 karena perang dengan orang pesisir. Anak-anakya, semua sudah tinggal di pesisir.

Saat ini, yang masih berada di hutan adalah anak- anak Mustika. Mustika juga sudah meninggal dan tersisa istrinya, Tupa bersama tujuh anak. Empat orang anak sudah turun ke pesisir, tiga bersama ibunya   hidup di belantara Ake Jira.

 

Ibu Tupa, tetua perempuan Tobelo Dalam yang masih di hutan Ake Jira. Foto: AMAN Malut

 

Ake Jira, adalah nama induk sungai dari puluhan sungai yang mengalir ke sejumlah desa di Halmahera Timur, Halmahera Tengah maupun Kota Tidore Kepulauan. Anak Sungai Ake Jira,   yang mengalir ke Halteng dan Maba, seperti Sungai Soasangaji, Waijoi, Kali Sot dan Kali Loleba di Wasile Selatan. Bahkan ada yang mengalir ke Oba, Kota Tidore Kepulauan.

Menurut Ngigoro, kawasan ini ada dua induk sungai besar yakni Ake Jira dan Mein. Induk Sungai Mein,  banyak mengalir ke   Halmahera Timur.

Dia merasa tak ada yang memberi informasi atau sosiasliasi kala perusahaan masuk ke hutan adat mereka. “Orang mau beli ayam saja tanya dulu   pemiliknya. Yang terjadi,     diam- diam orang asing   datang menggusur hutan yang merupakan rumah dan tempat hidup nenek moyang kami. Tanpa   permisi.,” katanya.

Di hutan Ake Jira, masih tersisa dua keluarga, lima perempuan dan tiga laki- laki. Mereka tinggal sekitar 30 kilometer dari pantai. “Kami khawatir orang-orang kami habis karena masuknya tambang menggusur hutan sebagai tempat hidup dan mencari makan dan hewan buruan,,” katanya.

Ngigoro bercerita,   sebulan lalu dia mendatangi keluarga mereka di hutan Ake Jira . Dia menyampaikan kabar di luar ada penggusuran jalan menuju hutan Ake Jira.

Kabar ini membuat warga Tobelo Dalam khawatir. Dari dalam hutan itu, katanya, mereka meminta satu hal agar tak merusak hutan mereka. “Jangan rusak hutan kami. Di situ tempat hidup dan mencari makan. Kalau hutan Ake Jira rusak, keluarga kami susah cari makan dan berburu. Akhirnya mereka bisa mati. Kondisi saat ini saja, mereka   sudah makin terjepit,” katanya.

Khawatir kehilangan hutan inilah, orang Tobelo Dalam, dia bersama beberapa orang anak cucu Tobelo Dalam di pesisir, melawan dengan menggelar aksi pemalangan akses jalan tambang menuju   Ake Jira. Aksi pada 10 September ini di kilometer 30 dari pantai.

Mereka memasang palang menghadang kelanjutan penggusuran alat berat. Sebelumnya, mereka juga sudah konsolidasi dan meminta bantuan masyarakat pesisir di Halteng seperti Dokulamo, Lelilef Kobe dan Trans Kulo Jaya, SP3, SP2 Wojirana. Semua menolak.

Akhirnya,   hanya delapan orang naik ke hutan dan aksi.   “Kami aksi karena terjadi perampasan ruang hidup kami,” kata Laurens Guslaw, peserta aksi saat di Kantor AMAN.

Aksi siang hingga malam hari. Sempat dialog dan perdebatan dengan perusahaan. Aksi berakhir ricuh karena massa tak berimbang. Perusahaan selain karyawan juga ada aparat keamanan.

”Kami hanya delapan orang sementara perusahaan sekitar 30 orang, ada polisi, dan tentara serta petugas perusahaan. Akhirnya, mereka membongkar palang dan melanjutkan pekerjaan penggusuran masuk ke hutan Ake Jira.”

 

Pondok, orang Tobelo Dalam di hutan Ake Jira. Foto: AMAN Mulut

 

Dia memperkirakan, kemungkinkan saat ini   penggusuran sudah sampai hutan Ake Jira karena sudah tak ada yang menghalangi.

Untuk membuka jalan ini, perusahaan mempekerjakan dua anak Mustika, Yakuta dan Ilia. Keduanya, kata Ngigoro, jangankan membaca, berbahasa Indonesia saja tidak bisa.

”Ini yang kami heran.”

Ngigoro curiga, mereka ini hanya untuk memperlancar pembukaan jalan perusahaan. Tupa, ibu kedua pemuda Tobelo Dalam ini, kata Ngigoro, sudah meminta agar anak-anaknya segera pulang ke hutan.

Dia bilang, tak hanya penggusuran, warga pesisir juga   mengkapling kawasan hutan Ake Jira kemudian dijual ke perusahaan. Praktik kapling lahan hutan oleh warga pesisir masif. ”Kami juga bingung, orang pesisir tak membantu kami melindungi hutan Ake Jira, malah mengkapling lahan dan menjual ke perusahaan,” katanya.

 

Berbagai elemen protes

Keterancaman hutan Ake Jira, memunculkan reaksi berbagai pihak. Di Ternate, belakangan ini, muncul protes elemen mahasiswa dan organisasi mayarakat sipil. Mereka beraksi dengan gelar diskusi dan aksi terbuka.

AMAN Malut,   misal, mengecam penggusuran dan eksploitasi ke Ake Jira, merupakan tempat hidup orang Tobelo Dalam.

Munadi Kikloda, Ketua BPH AMAN Maluku Utara melalui rilis, menyampaikan beberapa hal menyangkut   penggusuran itu. Setelah tanah dan hutan di bagian pesisir Weda Tengah meliputi Desa Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, Gemaf dikuasai, target berikut hutan Ake Jira.

Sementara ini, katanya, perusahaan baru membuka jalan masuk menuju ke Ake Jira. Pembukaan jalan itu, katanya, tak pernah perusahaan bicarakan dengan masyarakat adat.

Wilayah Tobelo Dalam, yang disebut Ake Jira meliputi wilayah Ma, Kokarebok, Folajawa, Komao, Ngoti-Ngotiri, Sakaulen, Namo, Talen, dan Ngongodoro. Juga, Susu Buru, Kokudoti, Sigi-Sigi, Mein, Tofu Blewen, Lapan. “Ini wilayah adat Tobelo Dalam, mereka hidup ratusan tahun secara turun- temurun,” katanya.

Saat ini, katanya, perusahaan membangun infrastruktur jalan dan sudah sampai di Ake Jira.   “Ada kuburan leluhur milik warga Tobelo Dalam Akejira di Mein, Talen yang berpotensi digusur untuk kepentingan perluasan jalan maupun penambangan.” Selain itu, ada pembukaan hutan untuk pembuatan camp.

Persoalan lain, kata Munadi, ada kelompok masyarakat pesisir menyerobot wilayah dengan membuat kaplingan hingga rumah tempat tinggal warga Tobelo Dalam juga masuk. “Kaplingan itu nanti   dijual kepada perusahaan.”

Berdasarkan identifikasi AMAN, tersisa dua keluarga dengan delapan jiwa. Ada tiga laki-laki (remaja) dan lima perempuan. Mereka seringkali mengalami krisis pangan.

 

Aksi protes keterancaman Hutan Ake Jira. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Bagi AMAN, kebijakan perusahaan dan intervensi warga pesisir dalam bentuk penguasaan lahan melalui kaplingan ini, jadi ancaman serius kelangsungan hidup warga Tobelo Dalam Ake Jira.

Dalam memuluskan rencana penguasaan lahan, perusahaan menggunakan dua warga Tobelo Dalam Akejira, Yakuta dan Elia. Seakan-akan, keduanya menjadi representasi kepentingan kelompok lain di dalam hutan.

“Istri almarhum Mustika yang ditemui di Ake Jira 26 Agustus 2019, menuntut supaya hutan rumah dan tempat hidup mereka, jangan dibuka untuk pertambangan.”

Bahkan Bokum, seorang keluarga Tobelo Dalam Ake Jira yang ditemui di Lapas Ternate, pada 4 September 2019, mendesak supaya tak ada kegiatan merusak wilayah adat mereka.

AMAN Malut, mendesak IWIP   menghentikan pembukaan jalan di wilayah adat Tobelo Dalam Ake Jira. Perusahaan diminta merehabilitasi kembali kerusakan hutan yang rusak karena pembukaan jalan itu.

AMAN juga mendesak IWIP menaati hukum dan perjanjian internasional, baik Konvensi ILO 169 maupun Deklarasi PBB tentang hak-hak masyarakat adat. Dalam deklarasi itu, mengharuskan setiap perusahaan tak beraktivitas yang dapat mengancam, apalagi berakhir pada penghilangan identitas kelompok masyarakat adat.

AMAN juga mendesak IWIP melaksanakan free, prior, informed consent (FPIC) terhadap segala bentuk kebijakan sebelum beroperasi yang berdampak pada kelangsungan hidup masyarakat adat. Juga mendesak perusahaan menaati hukum Indonesia terutama Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 soal hutan adat bukan hutan negara.

Mahasiswa juga protes, baik di Ternate maupun di Tobelo, Halmahera Utara. Di Ternate pada Senin (23/9/10), Solidaritas Aksi Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (Samurai) Malut menggelar aksi di sejumlah tempat menyuarakan protes.

Julfandi Gani , Koordintor Presidium Samurai mengatakan, menolak eksploitasi hutan Ake Jira karena akan menghancurkan paru paru dunia di Pulau Halmahera ini. Ia juga sekaligus membunuh tidak langsung masyarakat adat Tobelo Dalam.

Sebelumnya, Sabtu (21/9/10) elemen ini menggelar nonton bareng film The Burning Season, dilanjutkan diskusi mengenai problem Ake Jira.

Aksi sama oleh Himpunan Hahasiswa Sylfa Universitas Kharun Ternate dengan mengusung   tema “Selamatkan Ake Jira, Jantung Halmahera dan Suku Tobelo Dalam.” Aksi di depan Taman Nukila Ternate itu, menyoal ancaman tambang di hutan Ake Jira.

 

Aksi penyelamatan Hutan Ake Jira oleh Amarah Malut . Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Koordinator aksi Muhammad Gadri Umar dalam orasi mengatakan, hutan Ake Jira, rumah Suku Tobelo Dalam.   Hutan, katanya, tempat mereka memenuhi kebutuhan pangan dari   berkebun dan berburu, mengolah sagu sampai menangkap ikan di sungai. Keberadaan hutan, katanya, sangat penting dan menentukan keberlangsungan hidup mereka.

“Jangan kase rusak torang pe hutan (jangan rusak hutan kami-red).   Selamatkan jantung Halmahera dan masyarakat adat Tobelo Dalam dari Ancaman PT IWIP.” Begitu bunyi spanduk aksi mereka.

Mereka meminta,   Pemkab Halteng segera mengesahkan perda masyarakat adat yang masih terkatung katung agar bisa melindungi suku ini.

Apa kata perusahaan? Agnes Ide Megawati, Associate Director Media dan Public Relations Department PT IWIP   kepada Mongabay menjelaskan, aktivitas mereka di Ake Jira itu karena sudah mendapatkan berizin. Mereka sudah dapat izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).

Bagi perusahaan, katanya, Komunitas Tobelo Dalam merupakan salah satu stakeholder atau kelompok masyarakat utama di konsesi tambang perusahaan.

Sejak 2015, kata Agnes, perusahaan sudah kajian mengenai kelompok Tobelo Dalam dan mengaku sudah membina hubungan baik dengan mereka. Dia sebutkan, sudah ada komunikasi antara perwakilan perusahaan dengan Komunitas Tobelo Dalam.

Perusahaan, katanya, sudah menjalankan beberapa arahan dari hasil kajian pihak ketiga. Dari kajian itu, ada beberapa rekomendasi dari perguruan tinggi ke perusahaan, antara lain, memetakan warisan budaya tapak kaki kelompok Tobelo Dalam. Berdasarkan hasil kajian ada 22 lokasi warisan budaya Kelompok Tobelo Dalam , harus dilindungi, termasuklah kuburan Legae Cekel di Desa Kulojaya. Kuburan Sultan Jailolo di Sagea, dan kuburan Keramat di Nusajaya.

Menyangkut dua warga Tobelo Dalam, Yakuta dan Elia, kata Agnes, sebelumnya sudah menetap di desa transmigrasi Kobe. Mereka bekerja sebagai general workers di PT Sinar Terang Mandiri (STM), salah satu kontraktor perusahaan. Yakuta dan Elia, menjadi karyawan tanpa ada paksaan maupun pengaruh dari kontraktor.

Mereka juga tidak pernah dipaksa mempengaruhi kelompoknya. Bahkan, katanya, Yakuta dan Elia, dapat berinteraksi tanpa ada kendala dengan rekan kerja dan mendapatkan hak sama dengan pekerja lain.

 

Kawasan industri yang mulai dibangun. Foto: AMAN Malut

 

 

***

Saat kepemilikan lama, WBN, mau buka tambang dan bikin pabrik smelter. Setelah, Tsingshan pegang kuasa, bersama-sama Huayou, Zhenshi, mau bangun kawasan industri, dengan label, PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP).

Kawasan industri ini tak hanya ada tambang dan pabrik smelter. Dengan rencana yang memerlukan lahan seluas 1.000 hektar ini, mereka akan menyediakan lahan utama bagi  tenant smelter ferronickel, smelter ferrochrome, tenant pabrik stainless steel, pabrik kokas, pabrik besi karbon, dan tenant hidrometalurgi.

Sebagai penunjang, akan ada fasilitas industri PLTU kawasan, WWTP, TPS domestik, pengoperasian temporary waste stockpile untuk residu, pelabuhan khusus, jaringan jalan dan drainase kawasan, sampai jaringan air bersih. Kawasan ini juga didukung hunian pekerja, kantor, klinik, education center, fuel depo, gudang, dan fire rescue.

Dalam dokumen analisis dampak lingkungan (andal), IWIP kegiatan yang akan mendominasi di kawasan industri ini adalah   industry berbasis   bahan logam, berlokasi di Desa Lelilef Sawai dan Lelilef Waibulan Kecamatan Weda Tengah dan Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, Halmahera Tengah, Malut.

Pada Agustus 2018, telah diresmikan pembangunan smelter untuk pengolahan bijih nikel. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan hadir dalam peresmian pembangunan waktu itu mengatakan, investor asing ini di tahap awal menggelontorkan dana US$5 miliar.

Tsingshan Group (Tiongkok) dan Eramet Group (Prancis) investasi US$10 miliar atau sekitar Rp144 triliun.

 

Kasus sampai ke istana

Persoalan hutan adat Ake Jira, sudah sampai ke istana setelah ada laporan AMAN Malut ke Kantor Sekretariat Presiden (KSP) di Jakarta, 8 September lalu. Surat yang dikirimkan AMAN Malut ditandatangani, Munadi Kilkoda itu, mengadukan   permasalahan masyarakat adat Tobelo Dalam Ake Jira di Halmahera Tengah, setelah ada WBN dan IWIP.

Laporan mereka mencakup, pembangunan jalan perusahaan dan penyiapan penambangan yang masuk ke wilayah masyarakat adat Tobelo Dalam. Atas   pengaduan ini, KSP mengeluarkan surat yang ditandatangani Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan.

Surat bernomor B- 65/KSP/D.5.09/2019 dan bersifat segera itu meminta perusaahaan menghormati dan melindungi masyarakat adat Tobelo Dalam Ake Jira Halmahera.   Surat tertanggal 26 September 2019 itu, mengatakan, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 26/2015, KSP bertugas memberikan dukungan kepada presiden dan wakil presiden dalam melaksanakan pengendalian program-program prioritas nasional, komunikasi politik dan pengelolaan isyu-isyu strategis.

Salah satu program, yang dipantau dan dikawal, katanya, adalah program reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria.

Untuk itu, KSP meminta kepada kedua perusahaan untuk memperhatikan beberapa hal menyangkut   masyarakat Tobelo Dalam. Surat itu meminta mereka memperhatikan tiga poin penting, pertama, menghormati dan mematuhi konvensi ILO 169, tentang Masyarakat Hukum Adat, UU Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35.

Kedua, perusahaan diminta memastikan pembicaraan dan komunikasi baik kepada masyarakat adat Tobelo Dalam, untuk setiap aktivitas pertambangan hingga tidak ada perselisihan di kemudian hari.

Ketiga, meminta perusahaan memastikan hak-hak masyarakat adat Tobelo Dalam tidak dilanggar dalam setiap aktivitas pertambangan. KSP, katanya, akan memantau perkembangan atas laporan AMAN ini.

 

Keterangan foto utama:  Pondok orang Tobelo Dalam di Hutan Ake Jira. Masih ada beberapa keluarga hidup di dalam hutan, seperti tetua Ibu Tupa. Foto: AMAN Malut

 

Exit mobile version