Mongabay.co.id

Begini Strategi Konservasi Burung Pemangsa di Simposium Asian Raptor

 

Sejumlah stan pameran menunjukkan aneka foto burung jenis pemangsa atau raptor. Elang, falcon, burung hantu, dan lainnya adalah satwa yang tak mudah direkam. Mereka berpetualang, terbang tinggi, dan berperan penting dalam ekosistem karena rentan dengan perubahan dan polutan di sekitarnya.

Pameran ini bagian dari Simposium internasional Asian Raptor Research and Conservation Network (ARRCN) yang dihelat di Kampus Universitas Udayana, Denpasar pada 9-12 Oktober 2019. Ini adalah perhelatan ke 11, setelah pertama kali dilaksanakan di Perfektur Shiga, Jepang pada 1998.

Burung Indonesia, sebuah perhimpunan pelestari burung liar Indonesia berkampanye dengan memberikan empat perangko burung terancam punah di Indonesia. Dua di antaranya adalah Celepuk Siau (Otus siaoensis) berukuran kecil untuk ukuran burung hantu (17 cm), penghuni hutan dan diperkirakan populasinya hanya 50 individu dewasa. Spesimen berdasar koleksi dari Pulau Siau, Sulawesi Utara pada 1866.

Berikutnya Elang Flores (Nisaetus floris), jenis penetap yang hanya ditemukan di Pulau Lombok, Sumbawa, dan Flores, serta sejumlah pulau kecil sekitar lainnya. Populasinya diperkirakan hanya 100 pasang dan kecenderungan menurun karena kerusakan habitat. Ada 6 jenis lainnya yang sangat terancam punah.

baca : Empat Dekade Penelitian, 457 Burung Dinyatakan Sebagai Spesies Baru

 

Stan Universitas Udayana, tuan rumah simposium Simposium Internasional Penelitian dan Konservasi Burung Raptor Asia (ARRC). Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Stan lain adalah Balai Taman Nasional di sejumlah daerah, misalnya Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang terkenal sebagai habitat Curik Bali (Leucopsar rothschildi). Kemudian Taman Nasional Kelimutu, Taman Nasional Gunung Salak.

Hary, pemandu birds watching dari TNBB mengatakan pendekatan konservasi berbasis masyarakat cukup efektif dalam pelestarian Jalak Bali. “Ketika tak melibatkan masyarakat, tiap burung yang dilepasliarkan kemungkinan ditangkap lagi. Sekarang mereka dilatih jadi pemandu juga, jadi ikut memelihara dan dapat penghasilan,” paparnya.

Dalam sesi pertama, Wally van Sickle, aktivis lingkungan dari lembaga Idea Wild, Amerika Serikat pun mengajak flashback bagaimana upaya bertahan dan berkembang dalam dunia konservasi. Ia bercerita dengan gaya story telling, menunjukkan foto saat kecil sampai bagaimana proses yang membentuk antusiasmenay pada konservasi burung kini.

“Saat kecil saya suka dinosaurus, ayo angkat tangan kalian, apa passion kalian?” ajaknya pada puluhan peserta simposium dari belasan negara ini. Passion to Action, demikian judul kampanye Wally. Pria ini memberikan resep tiga hal (tools) yakni mentor, volunteer, dan wander.

Ia mengisahkan babak kehidupan dari remaja sampai dewasa menemukan tiga hal itu di sejumlah negara. Saat melakukan petualangan dan observasi satwa liar sampai tinggal bersama warga sekitar selama beberapa minggu.

Idea Wild adalah organisasi yang dibuatnya untuk memberi bantuan alat-alat melakukan upaya konservasi pada sejumlah komunitas dan lembaga dari penjuru dunia. Wally menyebut mendistribusikan bantuan untuk 40 proyek per bulan di 140 negera. “Mengumpulkan kekuatan kecil bagi keberlangsungan hidup manusia dan alam, cari 3 kunci (tools) itu,” ujarnya.

baca juga : Dinyatakan Punah 136 Ribu Tahun Silam, Burung Ini Muncul Kembali

 

Kopi Elang, kulit kopi di kawasan habitat untuk pendanaan konservasi pada Pusat Konservasi Elang Kamojang. Foto : Luh de Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Strategi konservasi lain ditunjukkan Pusat Konservasi Elang Kamojang. Dalam stan pameran, ia menunjukkan sejumlah suvenir untuk melibatkan warga mendanai konservasi. Salah satu yang unik adalah Kopi Elang. Sebuah kaleng berisi kulit kopi disusun bertumpuk untuk menarik perhatian. Kulit kopi ini diambil dari kawasan konservasi elang Kamojang.

Selain pameran juga ada sesi presentasi poster penelitian terkait burung pemangsa. Salah satunya tentang perdagangan raptor di Bali oleh Fathur Rahman, Komang Agus Kartika, Ni Putu Sista Indrayuni, dan I Nyoman Karyawan. Dalam 10 tahun terakhir di Bali, tercatat 38 kasus perdagangan satwa melibatkan 66 ekor. Peneliti menilai permintaan koleksi raptor masih tinggi. Terbanyak adalah jenis satwa yang diperdagangkan adalah Elang Bondol atau Brahminy Kite (Haliastur indus).

Dari data BKSDA Bali, tiap tahun, kasusnya naik turun, misalnya pada 2009 terdapat 3 kasus melibatkan 18 ekor. Kemudian 2017 terdapat 7 kasus (10 ekor), dan 2019 sejauh ini 7 kasus (7 ekor). Para peneliti menyimpulkan, pelaku tak hanya dari kelompok miskin juga kaya karena terkait koleksi dan gaya hidup, serta kurangnya penegakan hukum.

 

Simposium

Simposium Internasional ARRCN ke-11 ini diselenggarakan oleh Indonesia Ornithologist Union (IdOU) dan Museum Frank Williams dari Burung Universitas Udayana. Didukung oleh Direktorat Jenderal Konservasi, Sumber Daya Alam, dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KSDAE KLHK) melalui Badan Konservasi Alam Provinsi Bali (BKSDA Bali) dan Taman Nasional Bali Barat (TNBB).

Dr. Toru Yamazaki, Presiden ARRCN menyebut data penting tentang Raptor Asia telah terangkum dalam buku berjudul Field Guide to The Raptors of Asia. Sementara Dewi Malia Prawiradilaga dari LIPI mengatakan Indonesia sudah mengoleksi spesimen burung sebanyak 36 ribu. Bagian dari 2,7 juta spesimen yang dikoleksi di Museum Zoologicum Bogoriense. Terbanyak adalah serangga 2,5 juta spesimen.

Perwakilan KLHK mempresentasikan kondisi Indonesia dalam upaya konservasi. Indonesia menjadi negara terbesar ke-4 dalam keragaman burung yakni 1777 spesies. Sebanyak 512 endemik, dari statusnya 94 jenis vulnarable, 44 endanger, dan 30 jenis critically endangared.

Tantangannya adalah perdagangan ilegal, kehilangan habitat, praktik pertanian yang membahayakan, dan perubahan iklim. Pusat sanctuary untuk raptor adalah Gunung Halimun Salak dan Kepualuan Seribu.

Dalam simposium ini, ditandatangani memo kerjasama (MoU) antara Dirjen KSDAE KLHK dengan Rektor Universitas Udayana tentang penyelenggaraan konservasi dengan pendekatan ilmiah.

menarik dibaca : Cerita Dewi Prawiradilaga Menamai Burung Temuan dengan Iriana Widodo

 

Elang Brontok ini buta lalu dirawat di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) di Tabanan, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Raptor diakui sebagai spesies indeks yang mencerminkan kesehatan habitat mereka. Ini karena mereka berada di puncak rantai makanan, dan cukup sensitif terhadap perubahan ekosistem dan rentan terhadap polutan di lingkungan. Karena itu perlu perlindungan ekosistem yang sehat, serta lingkungan yang sangat diperlukan bagi raptors akibatnya mengarah pada konservasi keanekaragaman hayati dan kelangsungan hidup manusia.

Simposium Internasional AARRCN pertama diadakan pada tahun 1998 dengan partisipasi peneliti raptor dan konservasionis di seluruh Asia di Prefektur Shiga, Jepang. ARRCN didirikan untuk mempromosikan penelitian dan konservasi raptor di Asia. Per September 2017, keanggotaan ARRCN terdiri dari 260 peneliti raptor dan 5 organisasi dari 33 negara di seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.

Tujuan ARRCN adalah untuk bertukar informasi mengenai raptor di antara anggotanya, termasuk metodologi penelitian, teknik untuk restorasi habitat, perawatan raptor yang terluka, dan lainnya. Selain itu menyusun basis data tentang raptor, termasuk distribusinya, populasi, habitat, ekologi, pemuliaan dan semua aspek lain yang penting bagi konservasi mereka, terutama pada status burung raptor asli Asia.

 

Exit mobile version