Mongabay.co.id

Mangrove Lestari, Madu Lalan-Sembilang Terjaga Sepanjang Tahun

 

 

Hamparan mangrove di sejumlah anak Sungai Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Sumatera Selatan, yang berhulu ke kawasan Sembilang [Taman Nasional Berbak-Sembilang] di Kabupaten Banyuasin, selain memberikan dampak positif bagi lingkungan dan merupakan rumahnya satwa, juga memberi pemasukan ekonomi bagi masyarakat di sekitar Kecamatan Lalan. Mereka memanfaatkan hasil hutan bukan kayu [HHBK] di kawasan konservasi tersebut, yakni madu hampir sepanjang tahun.

“Setiap bulan, rata-rata saya mendapat madu sekitar 25 kilogram. Pencari madu di hutan mangrove Lalan dan Sembilang sebanyak 15 orang,” kata Romli Fahrizal [30], warga Desa Mekar Sari, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sabtu [19/10/2019].

Madu dari hutan mangrove Lalan-Sembilang ini berwarna merah kehitaman. Saat dicicipi, rasanya asam, manis dan sedikit pahit. Tapi rasa asam lebih menonjol. Selama setahun, madu banyak didapatkan pada Maret hingga September.

Romli merupakan ketua kelompok pencari madu bernama Sahabat Lingkungan. “Sebagian besar merupakan warga Kecamatan Lalan, yang aktif hanya 10 orang,” katanya.

Kelompok Sahabat Lingkungan tergabung dalam Koperasi Sari Usaha, dipimpin Kusnadiono [55], yang menyalurkan madu seharga Rp100 ribu per kilogram. “Menurut sejumlah pembeli harga madu ini relatif terjangkau, dan menurut kami masih wajar sebab produk ini belum dikemas,” katanya kepada Mongabay Indonesia, Jumat [18/10/2019].

“Saat ini kami membina agar produk madu tetap murni, tidak dicampur gula merah oleh para pencari madu sebelum dijual. Produk ini mungkin kami beri nama Madu Mangrove Lalan-Sembilang,” lanjut Kusnadiono.

Baca: Lanskap Sembilang: Mangrove, Harimau, dan Harapan Nyata Masyarakat

 

Inilah kawasan hutan mangrove yang menjadi lokasi pencarian madu, di salah satu anak Sungai Lalan yang terhubung dengan Sembilang. Foto: Sardi Winata/Mongabay Indonesia

 

Koperasi Sari Usaha juga melakukan pembesaran ikan lele yang mendapat dukungan Badan Restorasi Gambut [BRG]. Mereka yang mengembangkan usaha ini merupakan warga Desa Karangsari. Tapi anggotanya tidak hanya warga setempat, ada juga dari sekitar seperti Desa Mekarsari.

Selain itu, kelompok tani dari Desa Karangsari, Mekarsari, dan beberapa desa lain tengah menata perhutanan sosial yang izinnya diberikan pemerintah pada 2018 lalu.

Perhutanan sosial seluas 9.135 hektar tersebut merupakan kemitraan dengan KPH Lalan Mendis yang didukung proyek KELOLA Sendang [Sembilang-dangku], melibatkan Litbang LHK Palembang, dan direncanakan dibagi dua zona: zona lindung [5.653 hektar] dan pemanfaatan [3.481 hektar].

Ada 1.701 kepala keluarga yang terlibat mengelola. Mereka tergabung dalam 66 kelompok tani hutan [KTH]. “Zona pemanfaatan akan dikembangkan sejumlah tanaman endemik seperti jelutung, pinang dan kelapa,” kata Sardi Winata dari KELOLA Sendang kepada Mongabay Indonesia, Minggu [20/10/2019].

“Di zona lindung itu akan dikembangkan madu dengan cara memindahkan sarang beserta ratunya,” kata Sardi.

Baca: Pak Tangguk, Pegiat Madu Hutan Lestari dari Kampar

 

Para pencari madu sangat tidak ingin hutan mangrove rusak. Foto: Sardi Winata/Mongabay Indonesia

 

Mangrove delapan sungai

Ada sejumlah kawasan mangrove yang menjadi sasaran para pencari madu. Yakni sepanjang Sungai Sampan, Sungai Gajah, Sungai Kancil, Sungai Kuntul, Sungai Tengkorak, Sungai Sapar dan Sungai Tabuan.

Semua anak Sungai Lalan itu terhubung dengan Sungai Sembilang, Taman Nasional Berbak-Sembilang.

“Sarang madu umumnya didapatkan di pohon bakau, putut, dan sialang. Ketinggian pohon kisaran 15-20 meter,” jelas Romli.

Mendapatkan madu di hutan mangrove jauh lebih sulit ketimbang hutan biasa. Selama mencari madu, sejak lima tahun lalu, Romli didampingi bapaknya, Rosidi [55]. “Kalau hutan darat ancamannya bertemu beruang dan si belang [harimau]. Tapi kalau di mangrove, ancamannya buaya,” terangnya.

Baca juga: Hebatnya Lebah Madu, Bisa Pecahkan Soal Matematika

 

Sarang madu di pohon sialang ini berada di kawasan mangrove di Lalan-Sembilang. Foto: Romli Fahrizal/Mongabay Indonesia

 

Tradisional

Para pencari madu menggunakan perahu bermesin [perahu ketek] menyusuri hutan mangrove di tepian sungai. Mereka berangkat pagi hari dan berpencar ketika di lokasi. Ketika menemukan pohon sarang madu, mereka kembali berkumpul.

Mereka membuat asap di bawahnya. Selanjutnya, memanjat pohon menggunakan tali. Kemudian memotong sarang madu yang ditampung dalam ember atau baskom plastik. “Kami menyisakan sarang tersebut agar kembali berisi,” katanya.

Jika sarang belum berisi, mereka memasang seng di pangkal pohon. Gunanya, agar tidak dipanjat beruang. Tapi itu hanya dilakukan pada pohon yang memiliki banyak sarang madu, sekitar 15-20 sarang. “Jika hanya satu-dua sarang kami biarkan saja. Itu milik beruang,” kata Romli.

 

Inilah madu hasil hutan mangrove Lalan-Sembilang yang masih dikemas sederhana. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Jaga hutan mangrove

Keberadaan para pencari madu memberikan dampak positif bagi kelestarian hutan mangrove di Lalan dan Sembilang. “Kami harus menjaga. Jika hutan rusak, penghasilan madu kami berkurang. Kami pasti akan melarang dan mencegah mereka yang ingin merambah atau mengambil kayu di hutan mangrove,” kata Romli.

Sebagai informasi, Taman Nasional Sembilang yang bergabung dengan Taman Nasional Berbak menjadi Taman Nasional Berbak-Sembilang, pada 2018 lalu ditetapkan UNESCO sebagai cagar biosfer. Sekitar 45 persen dari luasan Sembilang yakni 202.896,31 hektar merupakan hutan mangrove.

Dr. Sarno, peneliti mangrove dari Universitas Sriwijaya, kepada Mongabay Indonesia, setahun lalu, menjelaskan ada 28 jenis mangrove di Sembilang. “Ini berdasarkan penelitian bersama restorasi kawasan mangrove terdegradasi di Sembilang antara Universitas Sriwijaya dengan JICA dan TN Sembilang [sebelum bergabung dengan TN Berbak] selama lima tahun, 2010-2015. Lanskap Sembilang sendiri dialiri 70 sungai,” jelasnya.

Jenis-jenis mangrove itu di antaranya adalah jeruju putih [Acanthus ebrachteotus], jeruju [Acanthus ilicifolius], piai raya [Acrosthicum aureum], piai lasa [Acrosthicum speciosum], gigi gajah [Aegiceras corniculatum], api-api [Avicennia alba], api-api abang (Avicennia marina), api-api daun lebar (Avicennia officinalis), burus [Bruguiera gymnorrhiza], pertut [Bruguiera parviflora], bius [Bruguiera sexangula], tancang-sukun [Bruguierra cylindrical], dan kenyonyong [Ceriops decandra].

 

Menjaga mangrove berarti menjaga kehidupan makhluk hidup yang ada. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dibina

Dr. Najib Asmani, staf khusus Bupati Muba Bidang Pembangunan Hijau, mengatakan keberadaan para pencari madu merupakan contoh masyarakat di Kecamatan Lalan yang harus dibina. “Mereka mampu memanfaatkan keuntungan ekonomi dari keberadaan hutan mangrove. Mereka menjaga, tapi mendapatkan penghasilan,” katanya.

Agar pendapatan ekonomi ini berkelanjutan, tentunya akan dilakukan pembinaan oleh pemerintah Kabupaten Muba. “Koperasi yang menaungi mereka akan dibina, khususnya para pencari madu tersebut. Baik terkait dukungan teknis, juga strategi pemasaran, sehingga produknya dapat dipasarkan secara regional, nasional, bahkan international.”

Pastinya, mereka harus menjaga keberadaan hutan mangrove tersebut beserta kualitas madu. Selain higienis juga murni. “Jika kualitas terjamin, pasar juga terjaga,” tandas Najib.

 

 

Exit mobile version