Mongabay.co.id

Matalawa, Taman Nasional di Tanah Marapu Sumba [3]

 

Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti, itu adalah nama dua Taman Nasional di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT), sebelum dilebur menjadi Taman Nasional (TN) Matalawa. Penggabungan kedua Taman Nasional berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016, yakni TN Laiwangi Wanggameti dengan luas 41.772,18 Hektar dan TN Manupeu Tanah Daru dengan luas 50.122 Hektar.

Kepala Balai TN Matalawa, Memen Suparman saat menyambut Tim Ekspedisi Surili Himakova IPB pada Sabtu (31/8/2019) di kantor Balai TN Matalawa, Waingapu, Sumba Timur, mengatakan Matalawa mempunyai sejarah panjang menjadi sebuah taman nasional.

baca : Ekspedisi Himakova : Melihat Eksotisnya Burung Wallaceae di TN Matalawa [1]

 

Hutan di kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kuda liar dalam hutan Matalawa di kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Pada 1930 Pemerintah Hindia Belanda, menetapkan status perlindungan terhadap kawasan Laiwangi Wanggameti. Lalu pada 1965, Bupati Sumba Timur menetapkan kawasan Laiwangi Wanggameti sebagai kawasan perlindungan hidrologis.

Pada 1983, Menteri Kehutanan menetapkan statusnya sebagai hutan suaka alam, hutan wisata, hutan lindung dan hutan produksi terbatas di Sumba Barat dan Sumba Timur.

Selanjutnya tahun 1998, Menteri Kehutanan dan Perkebunan mengubah fungsi kawasan hutan dan menunjuk Kawasan TN Manupeu Tanah Daru dan TN Laiwangi Wanggameti. Dalam perkembangan selanjutnya, ditentukan tata batas partisipatif bersama Pemerintah Daerah, Forum Jamatada, LSM Burung Indonesia, masyarakat. Sampai akhirnya peleburan dua TN pada 2016.

baca juga : Ekspedisi Himakova : Melihat Edelweiss, Salah Satu Kekayaan Alam di TN Matalawa [2]

 

Pemukiman penduduk di Wanggameti di dalam TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kekayaan Hayati

Ada banyak potensi yang dimiliki oleh TN Matalawa ini. Dengan luas sekitar 92 ribu hektar, dan berbatasan dengan 3 kabupaten, 12 kecamatan, serta 54 desa, TN Matalawa mempunyai kekayaan hayati yang luar biasa. Tercatat ada 375 jenis tumbuhan seperti 70 jenis epifit dan anggrek, 90 jenis berkhasiat obat, tanaman dengan status perlindungan Apendik I CITES yaitu gaharu (Grinops sp.) dan Apendik II yaitu cendana (Santalum album), jenis tanaman yang biasa digunakan untuk keperluan adat : mayela, ulukataka, dan injuwatu.

Sedangkan kekayaan faunanya yaitu 28 jenis mamalia, 30 jenis reptile, 6 jenis amfibi, 41 jenis capung, 94 jenis kupu-kupu, dan 159 jenis burung. Ini masih ditambah dengan kekayaan alam yang lainnya, seperti 129 gua (yang sudah dieksplorasi), puncak Wanggameti, dan keberagaman kondisi sosial budaya masyarakatnya.

Dengan potensi yang begitu hebat serta jangkauan yang cukup luas, TN Matalawa tidak bisa berdiri sendiri dalam mengawasi dan melindungi keanekaragaman hayatinya, terutama dengan maraknya perdagangan illegal, baik itu flora maupun fauna.

perlu dibaca : Memaknai Kuda, Memaknai Kehidupan Masyarakat Sumba. Seperti Apa?

 

Seekor burung nuri bayan dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Seekor burung madu sumba dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

“Untuk perlindungan, taman nasional sendiri mempunyai tugas dan fungsi pengelolaan di dalam taman nasional itu sendiri. Mencegah dan menghindari adanya satwa atau flora keluar dari dalam kawasan terlebih dahulu. Kemudian apabila ada informasi tentang satwa atau flora yang diperdagangkan dan setelah dilakukan pendataan, diketahui tidak ada informasi satwa atau flora tidak keluar dari kawasan, maka yang akan kami lakukan adalah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait, lalu melakukan pengamanan,” kata Hastoto Alifianto, Kasubag TU Balai TN Matalawa saat ditemui Mongabay, Jumat (6/9/2019).

Di TN Matalawa pernah terjadi kasus penangkapan penyelundup 526 branjangan dan 24 Decu Belang oleh Brimob, yang kemudian langsung ditindaklanjuti dengan koordinasi pihak-pihak terkait pada 6 September 2018.

Walaupun burung branjangan mempunyai status perlindungan yang paling rendah atau stabil, tetapi bupati Sumba Timur telah mengeluarkan surat edaran pelarangan penangkapan dan penembakan Burung Branjangan Jawa (Mirafra javanica) dan burung-burung lainnya, tertanggal 24 Juli 2017. Sehingga keberadaan Burung Branjangan di Sumba Timur cukup terlindungi. Hasil tangkapan tersebut, kemudian dilepasliarkan kembali di TN Matalawa.

baca juga : Foto : Wanita-Wanita Tangguh Pejuang Tenun Ikat Sumba

 

Burung nuri bayan yang bersarang dalam batang pohon di dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Seekor capung dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi Masyarakat

Sesuai dengan visinya yaitu terwujudnya kawasan TN Matalawa sebagai pusat konservasi ekosistem sumba yang kolaboratif partisipatif, mantap, tertib, lestari dan wibawa, Balai TN Matalawa melakukan pengawasan dan fungsi konservasi dengan dua cara, yaitu internal dan kolaborasi dengan para pihak. Cara Internal, yaitu pendataan dengan cara online.

Ini dimaksudkan agar informasi yang didapat di lapangan segera secara langsung bisa dimasukan ke dalam sistem yang bernama RESMI (RESort Mengirim Informasi), yang bisa dipantau langsung secara struktural.

Sedangkan kolaborasi dengan pihak lain, salah satunya adalah dengan masyarakat yang hidup di desa-desa di sekitar kawasan. Seperti dengan KMPH (kelompok masyarakat pelestari hutan) dan KSM (kelompok swadaya menanam), dengan mendayagunakan segala potensi baik di dalam kawasan maupun desa secara kolaboratif. Baik itu dalam pengamanan perlindungan maupun pemberdayaan masyarakat.

Sesuai dengan tujuan pengelolaannya, yaitu memantapkan fungsi TN Matalawa sebagai pusat pelestarian biodiversitas endemik dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, Balai TN Matalawa juga membangun pembangkit listrik tenaga air di kawasan Taman Nasional.

menarik dibaca : Asa Sumba, Mandiri Energi dari Sumber-sumber Terbarukan

 

Generator pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Mahaniwa dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

“Setelah mengidentifikasi kebutuhan masyarakat di sekitar kawasan, beberapa desa diketahui terisolir dari segi energi listrik (Wanggameti dan Mahaniwa). Selama ini masyarakat hanya menggunakan solar cell untuk kebutuhan penerangan saja, itupun hanya terbatas masyarakat yang ekonominya tergolong mampu. Melihat hal ini, pihak TN bersama masyarakat yang bersangkutan membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro,“ tutur Hastoto.

Selanjutnya pengelolaan dan perawaatan PLTMH diserahkan kepada masyarakat atau kelompok pengelolanya. PLTHM di Wanggameti bisa menghidupkan listrik sekitar 34 KK, sedangkan di Mahaniwa sekitar 86 KK, dengan rata-rata 150 watt per KK.

“PLTMH ini adalah bagan dari pemberdayaan masyarakat dan sosialisasi energy bersih serta hasil hutan yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat. PLTMH ini juga menunjukan kepada masyarakat untuk selalu menjaga hutannya agar bisa terus merasakan listriknya,“ kata Arifson RM Sianturi, Pengendali Ekosistem Hutan Pertama TN Matalawa kepada Mongabay, Minggu (2/9/2019).

 

Penajga pintu air pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) di Mahaniwa dalam kawasan TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Walaupun pengelolaan TN Matalawa ini terbilang cukup baik, namun masih ada beberapa kendala dan ancaman yang harus diwaspadai, diantaranya kebakaran hutan dan lahan, penggembalaan liar, penebangan illegal, perambahan hutan, perburuan satwa liar dan pembuangan sampah dalam kawasan.

Butuh pengawasan dan kerjasama serta keterlibatan pihak-pihak dengan lebih baik, untuk menemukan bentuk Taman Nasional yang ideal yang jauh dari segala ancaman tersebut.

 

Persemaian bibit pohon untuk regenerasi di TN Matalawa, Sumba Timur, NTT. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version