Mongabay.co.id

Menyoal Jutaan Hektar Kebun Sawit Dalam Kawasan Hutan

Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Hasil overlay data tutupan sawit dengan kawasan hutan memperlihatkan sekitar 3,4 juta hektar perkebunan sawit ada di kawasan hutan, atau 20,2% dari kebun sawit tertanam di Indonesia seluas 16,8 juta hektar. Angka ini meliputi sawit perusahaan maupun rakyat.

Irfan Bakhtiar, Peneliti Yayasan Kehati Irfan Bakhtiar dalam Pojok Iklim di Jakarta, pecan lalu mengatakan, sudah klasifikasi kawasan hutan yang ada perkebunan sawit di dalamnya. Analisis menggunakan citra satelit SPOT 6, citra satelit Pleiades, foto udara dengan teknologi drone, maupun citra satelit landsat 8. Berbagai data yang mereka peroleh, disandingkan dengan data peta kawasan hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Hasilnya, memperlihatkan, tutupan sawit itu berada di kawasan suaka alam seluas 115.000 hektar, hutan lindung 174.000 hektar, hutan produksi terbatas 454.000 hektar, hutan produksi 1,4 juta hektar, dan hutan produksi konversi 1,2 juta hektar.

“Jika melihat sebarannya, sawit dalam kawasan hutan ada di hampir semua provinsi seluruh Indonesia,” katanya.

Riau, katanya, provinsi terluas penguasaan sawit dalam kawasan hutan. Persoalan tata ruang, katanya, jadi pemicu utama ekspansi perkebunan sawit dalam kawasan hutan di Riau. Banyak izin usaha perkebunan, keluar oleh bupati tidak sesuai rencana tata ruang. “Penegakan hukum juga lemah.”

Dampaknya, alih fungsi kawasan hutan masif. Contoh, banyak perkebunan sawit di Taman Nasional Tesso Nilo dan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil.

“Provinsi kedua terbesar yang ada sawit dalam kawasan hutan yaitu Kalimantan Tengah. Kondisi di Kalteng, mirip apa yang terjadi di Riau. Persoalan muncul karena tidak jelasnya soal rencana tata ruang.”

Menurut dia, permasalahan sawit dalam kawasan hutan berawal dari tak ada data dan informasi komprehensif hingga kebijakan yang diambil seringkali salah sasaran bahkan kontraproduktif dengan penyelesaian.

Kemudian soal penetapan tata batas kawasan hutan dan tata ruang di daerah. Keduanya, tak sinkron, berujung ketidakjelasan status lahan perkebunan sawit.

Beberapa instrumen kebijakan mengatasi hal ini sudah dibuat pemerintah, seperti UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan HUtan, PP Nomor 104/2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Juga, Permen LHK Nomor 84/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial Kawasan Hutan, dan Permen LHK Nomor 83/2016 tentang Perhutanan Sosial.

Namun, kata Irfan, implementasi kebijakan-kebijakan ini jauh dari harapan perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2016 menyebut, sistem perizinan perkebunan sawit tidak akuntabel. Dia bilang, tidak ada mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang dalam mengendalikan usaha perkebunan sawit.

Koordinasi lintas lembaga dalam menerbitkan dan mengendalikan perizinan perkebunan sawit, katanya, juga dinilai tidak efektif. Kondisi ini, menyebabkan banyak izin perkebunan sawit tumpang tindih dan dalam kawasan hutan.

“Di banyak tempat, izin lokasi dan IUP terbit oleh bupati maupun walikota tidak mengacu pada ketentuan tata ruang daerah. Padahal, merujuk pada Permentan Nomor 98/2013 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan menyebutkan, pemohon izin harus melampirkan rekomendasi kesesuaian dengan perencanaan pembangunan perkebunan,” katanya.

Selain itu, masih terdapat beberapa provinsi belum menyelesaikan RTRWP, seperti Kalteng dan Riau, hingga tak terjadi padu serasi antara tata ruang kehutanan dengan RTRWP.

 

Pemerintah sudah ada kebijakan Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit, tetapi bagaimana implementasinya? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Hal ini, katanya, menyebabkan konflik dalam penggunaan ruang, seperti, penggunaan kawasan hutan tak prosedural untuk perkebunan sawit.

“Berbagai kasus di lapangan menunjukkan, ketika proses perizinan dan tata ruang bermasalah, banyak peluang pelanggaran terjadi. Seringkali pemerintah justru pasif dalam penegakan hukum.”

Pada 2015, lewat kebijakan paket ekonomi kedua, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 104/2015 tentang tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Lewat peraturan ini, diharapkan bisa menyelesaikan persoalan keterlanjuran penggunaan lahan di dalam kawasan hutan, salah satu, terkait perkebunan sawit.

Sebagian kalangan, katanya, menganggap ini sebagai upaya “pemutihan” terhadap izin-izin perkebunan sawit bermasalah. Aturan pun tak jalan. Sengkarut perizinan perkebunan sawit dan tata ruang sulit terurai karena terjadi pembiaran oleh pemerintah. Untuk itu, katanya, perlu proses evaluasi perizinan.

Data Badan Pusat Statistik Nasional (BPS) memperlihatkan, terdapat 32,4 juta jiwa penduduk Indonesia tinggal di sekitar kawasan hutan. Jumlah desa dalam hutan 2.037 desa dan sekitar kawasan hutan 19.247 desa.

Mereka menggantungkan penghidupan dari hasil hutan dan lahan di sekitar kawasan hutan. “Bukan tak mungkin, mereka juga berkebun sawit.”

 

Sawit rakyat?

Data Yayasan Auriga Nusantara menyebut, dari 3,4 juta hektar perkebunan sawit dalam kawasan hutan itu, 1,2 juta hektar kebun sawit rakyat.

Melihat kondisi seperti ini, kata Irfan, bila pendekatan menggunakan mekanisme hukum, akan banyak masyarakat masuk penjara ataupun kena sanksi karena dengan tuduhan merusak hutan.

“Dalam hal ini strategi non penal untuk tidak mengatakan non litigasi, dengan kebijakan yang memudahkan masyarakat mendapatkan kepastian hukum atas lahan yang dikelola.”

Permasalahan sawit rakyat dalam kawasan hutan sangat kompleks. Bukan hanya konflik sawit dengan hutan semata, juga mengakar dari pola ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan. Okupasi tanah oleh perusahaan sawit dan penataan kawasan hutan yang kurang baik, katanya, mempersempit ruang kelola masyarakat terhadap tanah.

Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan Inpres Nomor 8/2018 tentang penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit serta peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit, atau sering dikenal dengan Inpres Moratorium Sawit.

Irfan bilang, kebijakan ini perlu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah strategis dalam menyelesaikan masalah perkebunan sawit dalam kawasan hutan.

“Momentum inpres moratorium sawit dan reforma agraria serta perhutanan sosial sangat layak dimanfaatkan sebagai upaya penyelesaian penguasaan lahan oleh perkebunan sawit rakyat dalam kawasan hutan.”

Moratorium sawit, katanya, sebagai upaya mendorong peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat dan memperjelas status kepemilikan lahan. Dengan begitu, bisa memudahkan masyarakat mendapat akses modal.

Sedangkan reforma agraria dan perhutanan social, katanya, sebagai proses alokasi kepemilikan lahan dan akses izin pengelolaan lahan sawit rakyat di dalam kawasan hutan.

Untuk perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang dikuasai perusahaan, kata Irfan, bisa dengan evaluasi menyeluruh terhadap semua izin perkebunan sawit, seperti izin lokasi, SK pelepasan kawasan hutan dan hak guna usaha (HGU).

Dia juga menyarankan, pemerintah menyelesaikan konflik penguasaan lahan perkebunan sawit oleh perusahaan pemegang izin dalam kawasan hutan.

Hasil temuan mereka, terdapat perkebunan sawit di dalam kawasan hutan justru memiliki izin seperti IUP dan HGU, sebagian ada tak berizin.

“Persoalan ketidakpastian tata ruang menjadi salah satu penyebab. Harus diakui banyak praktik ilegal oleh perusahaan,” katanya.

Pemerintah, katanya, harus mempercepat proses evaluasi perizinan perkebunan sawit dan penegakan hukum kepada perusahaan yang melanggar prosedur perizinan hingga menerabas kawasan hutan.

Kemudian, katanya, menyusun kebijakan satu peta perkebunan sawit hasil dari evaluasi yang sudah menetapkan status izin clear and clean jadi basis menyusun satu peta perkebunan sawit. Ia juga jadi dasar pemerintah menyusun perencanaan tata ruang perkebunan sawit. “Data ini harus terbuka untuk publik.”

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi, kebun sawit di lahan gambut. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Lebih sejuta hektar kebun sawit di kawasan moratorium hutan…

Sebelum itu, Yayasan Madani Berkelanjutan juga merilis data, ada 1 juta hektar lebih perkebunan sawit dalam area moratorium izin hutan primer dan lahan gambut.

Angka ini mereka dapat setelah overlay perizinan dengan peta wilayah peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB) revisi 15.

Luasan lebih dari satu juta hektar ini, kata Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dikuasai 724 perusahaan tersebar di 24 provinsi.

Ada 384 perusahaan dengan total luasan 540.822 hektar berada di lahan gambut, 102 perusahaan dengan total luasan 237.928 hekta di hutan primer, dan 238 perusahaan luasan 222.723 hektar di kawasan hutan.

Dan dari jumlah itu, hamper separuh, atau 333 perusahaan luasan 506.333 hektar berada di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut.

Sejak setahun lalu, kata Teguh, Madani sudah meminta kepada pemerintah membuat kebijakan basis hokum lebih kuat, bukan hanya inpres.

“Tahun 2020 kan BRG mau selesai. Belum ada tanda-tanda mau diapain. Kemudian ada moratorium sawit. Minimal pemerintah mengeluarkan perpres supaya ada kebijakan utuh yang bicara tentang bagaimana masa depan hutan dilihat dari komitmen restorasi sawit dan lain-lain,” katanya.

Teguh mengatakan, mustahil data temuan ini tidak tertangkap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sebab, analisi mereka berdasarkan data resmi pemerintah. Dia juga berharap, BRG bisa menindaklanjuti temuan ini karena perusahaan dalam kawasan hutan areal prioritas kerja BRG ada 333.

Madani, katanya, melaporkan langsung temuan ini kepada tim kerja Inpres moratorium sawit di Kemenko Perekonomian. Mereka juga sudah berkirim surat kepada KLHK.

“Satu juta hektar ini apa ada izin? Ada yang memang jelas izin, ada yang tidak. Jadi dengan berbagai status. Ada yang IUP, HGU, bahkan ada yang tidak ada sama sekali.”

Kondisi ini, katanya, penting verifikasi dari pemerintah sesuai isi inpres. “Salah satu instruksi inpres itu pengecekan kalau ada HGU di kawasan hutan,” katanya.

Teguh mengatakan, peninjauan perizinan satu juta hektar kebun sawit di kawasan hutan primer dan gambut itu mendesak karena kunci pencapaian komitmen iklim Indonesia. Juga wujud konsistensi pemerintah dalam memperbaiki tata kelola hutan dan lahan.

Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, temuan satu juta hektar lebih perkebunan sawit di dalam kawasan hutan primer dan gambut menjadi tantangan bagi tim kerja moratorium sawit untuk menyelesaikan dan mencari solusi terbaik.

Menurut dia, dengan revisi PIPPIB sampai 15 kali, seharusnya temuan ini tidak terjadi. Dengan masih ada temuan itu, katanya, menunjukkan pemerintah tak serius dalam perbaikan tata kelola hutan alam dan gambut, termasuk tata sawit.

Rambo menduga, di areal lebih dari satu juta hektar itu, kemungkinan terdapat konflik tenurial. Sawit Watch mencatat, ada 822 komunitas atau masyarakat berkonflik dengan perkebunan sawit. “Sampai sekarang, Tim Kerja Inpres Moratorium Sawit belum menyentuh persoalan ini.”

Analisis Greenpeace Indonesia menyebut, masih ada wilayah seluas 3,3 juta hektar tutupan hutan alam primer dan 6,5 juta lahan gambut belum terlindungi di luar peta moratorium dan di luar kawasan hutan lindung serta konservasi. Sementara wilayah moratorium masih terancam konsensi perusahaan termasuk izin perkebunan sawit.

“Satu juta hektar konsesi sawit dalam hutan alam primer dan lahan gambut adalah ujian nyata bagaimana moratorium permanen dijalankan. Dengan mencabut izin itu pemerintah memperlihatkan keseriusan melindungi hutan dan lahan gambut tersisa, bukan sekadar propaganda,” kata Arie Rompas, pengkampanye hutan Greenpeace Indonesia.

 

Keterangan foto utama:  Hutan rusak jadi kebun sawit di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version