Mongabay.co.id

Pesan Jaga Alam dari Ritual Paca Goya di Komunitas Kalaodi

Persiapan ritual paca goya dan makan bersama. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Matahari seakan tepat di atas ubun-ubun. Panas menyengat. Jarum jam menunjukkan pukul 12.05, waktu setempat. Sekitar 12 orang berbaju serba putih, terdiri tujuh laki-laki, lima perempuan keluar dari rumah obat pada 17 Oktober lalu.

Rumah obat, adalah rumah adat yang ditempati sowohi atau kepala adat Komunitas Kalaodi. Sowohi ini masuk dalam struktur Kesultanan Tidore, di Maluku Utara.

Saat keluar dari rumah adat, dipimpin sowohi mereka berjalan menaiki puluhan anak tangga hingga ke sebidang tanah datar tepat di belakang Kantor Lurah Kalaodi.

Baca juga: Dari Kampung Kalaodi Sultan Tidore Berjanji Jaga Lingkungan Maluku Utara

Dari sini, melalui jalan raya berjalan menurun, menuju Bukit Goya, berjarak sekitar dua kilometer dari kampung.

Orang-orang ini, sedang menjalankan ritual paca goya. Ritual ini dalam pengertian umum bahasa Tidore, adalah   upacara adat membersihkan tempat atau goya yang dianggap keramat oleh warga. Mereka yang masuk barisan bersama sowohi adalah orang yang memiliki hubungan atau kedekatan silsilah keluarga dengan orang pertama yang menginjakkan kaki di Kalaodi.

Mereka berjalan tanpa suara. Percakapan hanya terdengar dari pengiring di belakang, warga Kampung Kalaodi dan   keturunan.

Baca juga: Mengenal Kalaodi, Kampung Ekologi Pelindung Tidore

Beberapa menit melewati batas kampung, mereka lalu berhenti. Mulut sowohi komat- kamit memanjatkan doa. Sekira dua menit,   berjalan lagi. Mereka dua kali berhenti berdoa.

Bukit Goya diyakini warga, sebagai awal leluhur Komunitas Kalaodi, yang pertama datang.

Sekitar 40 menit, tibalah di   Goya.   Di sana, sudah menungggu ratusan orang, dari anak keturunan Kalaodi maupun warga Tidore yang   ingin menyaksikan ritual ini.

Mereka yang ditunjuk masuk barisan rombongan bersama sowohi   menuju makam. Warga meyakini   itu     makam orang berilmu di Kalaodi. Di situ mereka berdoa.

Usai prosesi di makam atau jere, mereka menuju rumah paca goya berjarak sekitar 30 meter.

Di sana, ada empat orang, dipimpin   sowohi   masuk   dalam rumah kecil yang dinamai folajawa.   Di rumah kecil berukuran 1, 5 x 2 meter berdinding dan beratap bambu lurik itulah ritual dilakukan.

Warga mengerubungi rumah itu. Meski banyak orang, semua khusyuk mendengar bobeto atau kata-kata yang keluar dari mulut sowohi.

Bobeto, adalah ucapan yang intinya,   melarang   segala   bentuk perbuatan jahat oleh anak cucu Kalaodi. Bobeto juga memiliki makna sebagai sumpah bagi anak cucu Kalaodi agar tak berbuat jahat, seperti merusak alam atau apapun yang mengganggu manusia dan alam.

Bobeto juga mengingatkan agar tak mengganggu hewan, alam dan segala isi. Kalau ada anak cucu Kalaodi melawan bobeto itu, akan mendapatkan tulah atau balasan.

“Ada ucapan yang terucap jika mereka menghianati bobeto itu jika ke laut akan dimangsa hiu, jika ke hutan dimangsa ular,” kata Abdurahman, tokoh masyarakat Kalaodi.

 

Makan bersama. Semua alat makan, dari piring sampai tempat minum dari bambu. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Empat orang   berdiri menghadap ke timur sambil membakar dupa. Sowohi dalam ritual berbicara pakai bahasa Tidore,   dengan sangat pelan.

Saat ritual berlangsung, tak boleh mengambil gambar atau diabadikan pakai kamera. “Pengalaman sebelumnya, ada yang mengambil gambar saat ritual tetapi tidak berhasil terekam karena ada kekuatan magis,” kata juru bicara pemangku adat Kalaodi ini.

Setelah hampir 30 menit ritual, anak cucu Kalaodi masuk dalam rumah folajawa dan bakar dupa juga meminta berkah dengan mencelupkan telapak tangan ke asap dupa atau kemenyan yang membumbung, sambil mengusapkan ke wajah.

Mereka yang masuk dalam rumah kecil itu meminta berkah dari berbagai hal yang mereka niatkan. Ritual itu berakhir dengan gelar baca doa selamat lanjut makan bersama.

Goya, yang jadi tempat ritual ini merupakan hutan sekitar seperempat hektar dengan pohon- pohon besar menjulang. Kiri kanan kawasan ini sudah jadi kebun berisi cengkih, pala dan berbagai jenis sayur mayur. Goya ini aman dan tidak terjamah karena diyakini ada makam leluhur   yang   dikeramatkan.

Di bawah pohon- pohon besar ini saat ritual mereka bersihkan dengan bergotong royong.

Rumah folajawa sendiri, tak bisa sembarang orang membuatnya. Saat memotong bambu-bambu lurik   tanpa gunakan meter atau alat ukur lain,   namun potongan bambu itu ukuran sama.. Saat dipasang sebagai atap dan dinding, bambu saling menutupi dengan memiliki ukuran sama panjang.

Selain folajawa, di bawah pohon besar ini juga jadi tempat memanjatkan doa selamat dan acara makan bersama orang Kalaodi yang datang menyaksikan ritual.

Uniknya, tempat makan terbuat dari bambu dengan jenis makanan sejenis ketupat dengan sebutan pali. Pali ini, merujuk pada pembungkus atau tempat ketupat itu. Kalau biasa orang membuat ketupat pakai janur kelapa atau daun kelapa muda, pali ini daun enau tua. Ia berupa selembar daun enau dibuat melingkar. Pali, dalam bahasa Tidore berarti lingkar.

Untuk tempat lauk terbuat dari bambu. Lauk dalam ritual ini hanya satu jenis, yakni telur dan kuah. Wadah atau tempat kuah dan telur,   serta tempat air minum semua terbuat dari bambu.   Pali dan kuah serta telur diletakkan di atas daun pisang yang sudah digelar. Ruas ruas bambu berisi air minum ditancapkan ke tanah.

Paca goya ini, satu rangkaian   ritual legu dou atau ritual menyatu dengan alam. Legu Dou, sendiri berisi beberapa ritual dan berlangsung selama sepekan. Diawali koro jou atau mengundang Sultan Tidore, beberapa hari sebelumnya.

 

Cengkih, salah satu hasil panen utama warga Kalaodi. Mereka berjemur sepanjang jalan…Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Setelah itu, sebelum paca goya ada prosesi ziarah ke kuburan leluhur yang dianggap keramat di Benteng Tahula Tidore, tak jauh dari Keraton Sultan Tidore. Sehari sebelum prosesi keluar dari rumah obat, orang –orang itu dipilih Sowohi untuk ritual termasuk ziarah ke makam keramat.

Baru setelah itu, ritual paca goya atau membersihkan tempat keramat. Ritual ini sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur pada yang maha kuasa atas hasil panen yang diperoleh. Selain, paca goya ada juga prosesi sabua yahu atau pembuatan rumah adat melalui ritual. Atap rumah adat ini terbuat dari alang-alang. Ada juga kabata, ini ritual mengolah hasil panen. Di sini, mereka menggelar acara tumbuk padi. Ia juga diikuti ritual. Kabata ini, katanya, sebagai simbol hasil panen karena kebiasaan orang Kalaodi dari dulu menanam padi ladang dan jagung.

Saat ini, simbol rasa syukur atas hasil panen itu dengan menumbuk padi, walaupun yang dipanen cengkih. “Simbol mengolah hasil panen padi itu tetap jalan karena kebiasaan orang dulu menanam bahan makanan padi dan jagung,” katanya.

Dulu, hutan cengkih dan pala di Kalaodi adalah alang-alang, lalu jadi ladang padi dan jagung. Kini, ladang itu sudah jadi hutan cengkih dan pala. Kini, hasil panen utama warga kalaodi, cengkih dan pala.  “Sekarang ini, bukit dan gunung hijau dengan cengkih dan pala.”

Setelah ritual rasa syukur atas panen, ada ritual menikmati hasil panen dengan pengadaan makanan satu meja. Dalam ritual ini,   dihadiri Sultan Tidore bersama   sowohi dan perangkat adat. Acara ini menjadi penutup dari ritual legu dou.

 

Negeri Buku Sedou

Kampung Kalaodi, biasa disebut Negeri Buku Sedou atau dalam bahasa Tidore , berarti negeri yang   dibangun di atas gunung dan lereng. Sesuai julukan, kampung ini berada di atas gunung dan lereng di bagian Timur Pulau Tidore.

Kalaodi memiliki lingkungan Gulili dan Doyado. Gulili, berada di bagian Timur atau bawah Lereng Kalaodi.  Sedangkan, Doyado di bagian Utara juga di   bawah Lereng Kalaodi.

 

Keterangan foto utama:  Persiapan ritual paca goya dan makan bersama. Foto: mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version