Mongabay.co.id

Satwa Liar Sitaan Itu Milik Negara, Bagaimana Penanganannya?

Kakatua raja (Probosciger aterrimus) diamankan di kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Jalan Raya Gedebage, Kota Bandung. Perburuan dan perdagangan satwa terancam punah menjadi masalah serius bagi keberlanjutan konservasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memastikan bahwa satwa liar hasil rampasan merupakan milik negara. Tidak dapat diminta kembali oleh pihak yang sedang menjalani proses hukum.

Satwa liar rampasan tersebut selama ini diamankan di Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] di daerah, serta dapat pula dititipkan ke lembaga konservasi yang ditunjuk.

Kejadian ini sebagaimana kasus perdagangan satwa liar dilindungi dan izin penangkaran yang dilakukan CV. Bintang Terang di Jember, Jawa Timur, yang habis masa berlakunya sejak 2015. Lebih dari 400 ekor burung paruh bengkok yang diamankan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam [BBKSDA] Jawa Timur dari kejadian ini.

Satwa rampasan negara kata Kepala Balai Besar KSDA Jawa Timur, Nandang Prihadi, akan ditangani dan ditindaklanjuti sesuai putusan pengadilan. “Ketika dirampas untuk negara, penanganannya diatur Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990, pasal 24 ayat 2 itu clear,” jelasnya.

UU Nomor 5 Tahun 1990 dan PP 7 Tahun 1999 telah mengaturnya, baik pelepasliaran, satwa koleksi, indukan di penangkaran, satwa koleksi di lembaga konservasi, atau bila tidak memungkinkan dimusnahkan.

“Penanganan satwa liar hasil perdagangan maupun kepemilikan ilegal, berbeda perlakuan dengan penanganannya dengan hasil perburuan atau penangkapan di alam,” jelasnya.

Satwa hasil penangkapan atau perdagangan dari luar pulau, dapat segera dikembalikan ke habitat asal, setelah selesai pemberkasan tanpa menunggu putusan pengadilan. Sementara untuk sitaan dari peliharaan pribadi, penangkaran, atau perdagangan ilegal, memerlukan penilaian khusus. Hal ini sebagai prosedur menentukan langkah selanjutnya pasca-putusan pengadilan.

“Jadi tanpa perlu dilakukan penilaian perilaku karena kita yakin itu pasti dari alam langsung,” terangnya.

Baca: Melawan Kejahatan Satwa Liar Tidak Bisa Sendirian

 

Kakatua raja [Probosciger aterrimus] diamankan di kantor Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, Jalan Raya Gedebage, Kota Bandung, tahun 2018 lalu. Perburuan dan perdagangan satwa terancam punah menjadi masalah serius bagi keberlanjutan konservasi. Foto: Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati [KKH], KLHK, Indra Exploitasia mengatakan, penilaian terhadap satwa liar hasil rampasan sangat diperlukan. Tujuannya, memastikan kelayakan satwa itu sebelum dilakukan langkah lanjutan, seperti pelepasliaran ke habitat asal. Tentunya, sebelumnya dilakukan rehabilitasi dan habituasi.

“Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 jelas, yang disebut satwa rampasan dapat dikembalikan ke habitatnya, dapat diserahkan ke lembaga konservasi, atau dimusnahkan,” ujarnya.

Terkait keinginan masyarakat untuk memelihara satwa liar dilindungi, Indra mengingatkan ada aturan dan persyaratan yang mesti dipatuhi, khususnya perihal jaminan kesejahteraan. Indra berharap, masyarakat memahami aturan hukum, sehingga tidak melakukan pelanggaran yang dituntut sanksi pidana.

Baca: Jalan Panjang Berantas Penyelundupan Satwa Liar Dilindungi

 

Kakatua raja di kandang sementara BBKSDA Jawa Timur, titipan Kejaksaan Negeri Jember. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Perlunya pusat penyelamatan satwa

Pendiri dan Ketua PROFAUNA Indonesia, Rosek Nursahid menilai, pemerintah belum melihat mendesaknya kebutuhan fasilitas penampungan satwa sitaan atau pusat penyelamatan satwa yang memadai.

Rosek mengatakan, setiap provinsi idealnya memiliki fasilitas penampungan satwa sitaan atau rampasan. Selama ini, satwa hasil sitaan dititipkan di lembaga konservasi, atau kandang sementara BKSDA, yang kondisinya sering kali tidak lebih baik dibandingkan tempat awal.

“Harusnya pemerintah memprioritaskan ini,” ucapnya, Kamis [31/10/2019].

Dikatakan Rosek, satwa yang akan dilepasliarkan tentu saja harus melalui rehabilitasi, seperti pengecekan kesehatan menyeluruh apakah mengidap penyakit berbahaya atau tidak. Pada proses rehabilitasi, satwa dikenalkan makanan alaminya juga dikenalkan predator atau musuh alaminya. Di kandang rehabilitasi, satwa juga akan dikembalikan sifat liarnya, untuk memastikan apakah siap dilepasliarkan atau tidak.

“Ketika sudah memenuhi tahapan itu, berikutnya masuk kandang sosialisasi atau habituasi. Ada penyesuaian dengan kondisi alam, baru dilepas. Dilepas juga ada pemantauan, tidak ditinggal begitu saja. Ketika belum bisa beradaptasi atau kebingungan, satwa itu ditarik untuk direhabilitasi lagi,” terangnya.

Baca juga: Negara Perlu Bangun Shelter Khusus Satwa Sitaan

 

Burung-burung ini titipan Kejaksaan Negeri Jember di BBKSDA Jawa Timur. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Wildlife Trafficking Specialist, WCU, Dwi Adhiasto mengatakan, diperlukan evaluasi terhadap satwa sitaan negara yang telah berkekuatan hukum tetap. Evaluasi untuk menentukan apakah satwa akan dilepasliarkan atau diserahkan ke lembaga konservasi.

“Untuk memastikan tindakan,” kata Dwi.

Satwa yang berasal dari alam secara tidak langsung masih memiliki sifat dan perilaku liar, sehingga sangat memungkinkan langsung dilepas. Namun, bila berasal dari penangkaran, butuh waktu lebih lama.

“Pasti ada perbedaan satwa yang hidup di alam dengan yang di kandang. Ahli perilaku satwa tidak terlalu susah menyimpulkan, misalnya burung, kalau masih liar dan bisa mencari makan sendiri tidak terlalu lama proses pelepasannya,” pungkas Dwi.

 

 

Exit mobile version