Mongabay.co.id

Petani Lereng Merapi, Konservasi dan Mitigasi Bencana Lewat Kopi

Sukiman bertani sayur dan kopi organik sembari aktif melakukan penyadartahuan terhadap penanggulangan risiko bencana. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Jam menunjukkan pukul 8.30 pagi. Udara terasa dingin di rumah Sukiman Mochtar Pratomo, di Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalan, Klaten, Jawa Tengah, medio Oktober lalu.

Sukiman, petani yang menanam kopi, bersama tanaman lain seperti stevia, cabai , tomat, sawi, daun bawang sampai pisang. Dari bertani itu, Sukiman bisa mencukupi keperluan keluarga, dan empat anak yatim di desanya.

Pagi itu, dia menyeduh kopi arabika medium dari Lereng Gunung Merapi. Tangan tampak cekatan menyajikan kopi. Alat giling, roasting, grinder dan seduh, cukup lengkap. “V60 atau mau tubruk saja?” tanya pria yang juga merangkap koordinator komunitas lintas Merapi, pada saya.

Kampung Sukiman, berada di ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sejak 2014, dia memulai kembali bertani kopi. Dia sebut itu sebagai kopi konservasi Merapi, karena sekaligus mitigasi iklim dan bencana.

Dia ingin membangkitkan kejayaan kopi Merapi seperti era 1980-an. Untuk mempermudah promosi, dia menamakan itu Kopi Petruk. Merek Petruk diambil dengan filosofi Jawa. Petruk alias Kantong Bolong adalah sosok yang tak mementingkan pribadi. Kantongnya selalu berlubang, dan identik dengan jiwa sukarelawan di desanya.

“Warga menyukai sosok Petruk dalam pewayangan, namun bahasa lain Petruk merusakan sosok yang tak mementingkan pribadi,” kata Sukiman.

Konsumen suka aroma Kopi Petruk. Ada aroma kayu pinus dan jamu, kayu manis, sayur, hingga ketela. Ada pula sedikit aroma belerang. Kini, dia sudah lima tahun bersama Kelompok Tani Ngudi, tanam kopi arabika di Lereng Merapi.

Selain Desa Sidorejo, desa lereng Merapi yang mengikuti jejak Sukiman bertani kopi juga Desa Balerante dan Desa Tlogowatu. Tersebar sekitar 40.000 batang, dengan produksi 30-40 ton kopi pertahun.

Kopi arabika Desa Balerante pada ketinggian 1.000 mdpl dan Desa Tegalmulyo sampai 1.200 mdpl.

Masa panen kopi di Lereng Merapi, hanya sekali setahun, periode Juni dan Juli. Era 1992-1998, produksi kopi Merapi sekitar enam ton (biji kopi merah) dengan masa panen selama tiga bulan dalam setahun.

Tanam kopi, katanya, ada pasang surut karena harga pernah jatuh. Alhasil, banyak pohon kopi ditebang. Kini, warga di Lereng Merapi kembali menanam kopi. Apalagi minum kopi sudah jadi gaya hidup.

“Menjual kopi bubuk kemasan dengan nama Kopi Petruk. Untuk menghindari distribusi monopoli biji kopi hanya ke satu kopi shop,” kata Sukiman.

Di Deles, produksi kopi melimpah, kata Sukiman, ada petani memanen lima kuintal perhari. Selain menjaga lingkungan, dia membuat kopi jadi salah satu ikon ekonomi rakyat.

Sukiman mengumpulkan kopi dari kebun sendiri dan dari para petani di dusunnya.

Dia mencarikan pasar kopi premium dengan segmen utama para penikmat kopi. Selain tak perlu merisaukan ke mana menjual buah kopi, para petani juga memperoleh harga bagus setiap kali panen, Rp8.500 per kilogram untuk kopi merah pilihan. Setiap satu kilogram green beans, perlu enam kilogram kopi petik merah.

Sukiman gencar pemasaran. Awalnya, dia mengandalkan jaringan pertemanan. Sambutan cukup baik, lalu menjual online. Kini distribusi Kopi Petruk sudah merambah pasar Jakarta, Surabaya, Bogor, Bandung, dan Jogja, bahkan Jepang dan Tiongkok.

“Sebenarnya, permintaan ekspor sangat besar, tetapi kami tak mau ambil dari pasar kopi lokal untuk memenuhinya,” kata Sukiman.

Dia berharap, Klaten menyediakan toko yang bisa dititipi, bisa difasilitasi dulu agar pemasaran Kopi Petruk, berkembang. Saat ini, kopi Merapi sudah bisa masuk restoran dan cafe. Di Klaten, katanya, baru satu kafe menyediakan kopi Merapi.

Jaka Sawaldi, Sekda Klaten mengatakan, pengembangan kopi Merapi merek Kopi Petruk perlu dukungan agar makin berkembang. Saat ini, sebagian besar warga Lereng Merapi menekuni penambangan pasir. Cara itu mereka anggap paling cepat menghasilkan uang dan mudah.

‘’Kita berusaha membantu, kita tahu penghasil Kopi Petruk ada di Lereng Merapi,” katanya.

Dia berharap, warga kembali bertani, pemerintah kabupaten juga berkomitmen memberikan pembinaan untuk mengalihkan mereka dengan tanam kopi dan pelatihan agar jadi satu brand bisa sampai ke mancanegara.

Kalau kopi bisa jadi sumber nafkah bisa diandalkan, katanya, penambang akan beralih menekuni kopi. Penambangan merupakan pekerjaan berisiko besar dan sering jatuh korban.

“Menambang berdampak kerusakan lingkungan, hilangnya sumber air bersih dan korban juga bencana,” kata Sawaldi.

 

Kopi Merapi ada jenis robusta dan arabika. Peminat tidak hanya dalam negeri tetapi beberapa negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Sejarah Kopi Merapi

Pada zaman Belanda, masyarakat petani di Deles, sudah mengenal kopi sejak tanaman itu dibawa Belanda ke Lereng Merapi. Sejak zaman itu, mereka belajar mengolah kopi jadi minuman populer.

Kampung dan lahan pertanian di ketinggian lebih 1.200 mdpl yang sering tersiram abu vulkanik dari siklus erupsi Merapi hingga Deles subur buat kopi. Hampir setiap keluarga memiliki pohon kopi, bahkan ada yang hidup sejak zaman kolonial. Bahkan, ada tempat di dusun itu dinamai Kopen (Jawa: tempat kopi), dulu kebon kopi milik Belanda.

“Kopen itu nama lain kopi. Dusun itu dulu dikenal banyak kopi enak,” kata Sukiman.

Tak hanya di Klaten dan Sleman, kopi Merapi bisa didapati di Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, pada ketinggian 1.600 mdpl, terletak di celah antara dua gunung, Merapi dan Merbabu. Berbeda dengan Deles, petani sayuran di Selo, kala itu baru belajar kembali soal kopi. Bahkan, banyak belum paham cara memanen buah yang benar, yakni, dengan memilih dan memetik yang merah, bukan memotong atau mengurut tangkai buah.

Kopi Lencoh, dulu pernah naik daun pada masa kolonial, kemudian kebun kopi ditinggalkan warga sejak Belanda angkat kaki dari Indonesia. Kopi peninggalan Belanda, tersebar di sekeliling jalur pendakian New Selo itu sebagian besar sudah ditebang, tersisa beberapa batang.

“Kopi Lencoh saat ini dari arabika ditanam sejak 2002, bantuan pemerintah,” kata Sukiman.

 

Koservasi dan mitigasi lewat kopi

Gemuruh terdengar dan getaran kecil terasa dari rumah Sukiman. Merapi menggugurkan sedikit dinding bebatuan, namun tak terlihat jelas dari jalan desa di kampung Sukiman.

“Tertutup awan, tapi ini sudah biasa kami rasakan, hidup berdampingan dengan Merapi, harus sadar mitigasi,” katanya.

Kampung Sukiman, berjarak empat kilometer dari Puncak Merapi. Musim kemarau tahun ini, dia dan warga di kampung kesulitan air bersih. Dia harus beli air tiap kemarau, paling sedikit 20 tangki ukuran 5.000 liter selama kemarau.

Dia sadar, kekeringan tak hanya karena kemarau, namun tambang pasir dan bebatuan di Lereng Merapi.

Sukiman dan warga sekitar punya cara melawan tambang lewat menanam, salah satu, kopi. Ada juga nangka juga sengon. Dia ingin menunjukkan, sejahtera lewat bertani lebih baik dibanding merusak alam lewat tambang.

Tiap hari ratusan truk pengangkut pasir dan batu nyaris menutup jalan juga jalur utama evakulasi. Jalan berlubang dan berdebu, dirasakan warga setiap hari.

“Tujuan utama kami, pemberdayaan masyarakat petani di Deles, berdaya dari kopi dan sayur, bukan tambang,” kata Sukiman, juga mendirikan Radio Komunitas Mitigasi Bencana Erupsi Lintas Merapi FM.

Aksi Sukiman bukan tanpa alasan. Deles merupakan kawasan rawan bencana (KRB) erupsi Merapi, salah satu gunung paling aktif berpenduduk terpadat di dunia. Sukiman bilang, relokasi bukan solusi, masyarakat akan mengalami kesulitan berpindah dari kehidupan agraris di lereng gunung sejak nenek moyang mereka ke kehidupan wilayah urban.

Menurut Sukiman, hidup di wilayah risiko tinggi bencana mengharuskan masyarakat memiliki resiliensi tinggi terhadap ancaman siklus erupsi Merapi. Mitigasi, katanya, bukan sekadar pengurangan risiko bencana dengan peningkatan kesadaran dan respon darurat bencana. Tak kalah penting pemberdayaan ekonomi masyarakat sebagai modal membangun masyarakat tangguh bencana.

“Konservasi dan mitigasi lewat kopi hanya salah satu cara tetap berdaya secara ekonomi dan tangguh bencana.”

Kalau makin berdaya secara ekonomi, akan makin tangguh bencana, dan bisa menyelamatkan diri dalam keadaan darurat. Sukiman mencontohkan, warga desa wajib punya kendaraan pribadi, minimal sepeda motor, yang cukup untuk mengungsikan seluruh anggota keluarga.

“Kendaraan perlu, kalau keluar peringatan evakuasi, mereka bisa segera menyelamatkan diri dan keluarga mandiri tanpa harus menunggu bantuan dari luar BPBD, TNI, dan polisi,” katanya.

Selama ini, katanya, terkait kesiapsiagaan bencana, Deles punya cara unik. Mereka mempersiapkan dana darurat berupa tabungan bencana. Dari hasil penjualan kopi, mereka menyisihkan uang setiap hari untuk tabungan bencana. Besaran bebas, mulai Rp1.000, Rp5.000, atau Rp10.000. Ia dikelola kolektif dan disimpan dalam rekening di bank.

Setiap orang memegang buku tabungan, tanpa kartu ATM, sebagai bukti catatan saldo. Ketika bencana, masyarakat tinggal dalam barak-barak pengungsian di Klaten. Lamanya tak tentu, tergantung lama erupsi gumpalan awan panas (piroklastik).

“Untuk memenuhi kebutuhan selama pengungsian, kami tak perlu menengadahkan tangan dan meminta-minta bantuan. Cukup mencairkan uang tabungan,” kata Sukiman.

Menurut dia, kadang kebutuhan di pengungsian bisa lebih besar dari biasa. Pengungsi bukan sekadar hidup keluarga, juga harus menghidupi binatang ternak yang ikut dievakuasi. Tak bisa merumput di Lereng Merapi, mereka harus membeli pakan sapi, memastikan manusia dan ternak sama-sama bertahan hidup.

Sukiman bilang, kemandirian warga menghadapi bencana tak lepas dari faktor ekonomi dan kopi berkonstribusi besar dalam meningkatkan pendapatan masyarakat desa. Baginya, kopi bukan sekadar biji enak diseduh sebagai minuman, juga bagian dari cara dan upaya penduduk hidup nyaman di tengah ancaman.

“Setiap cangkir kopi Merapi akan selalu ada cerita tentang mereka yang beradaptasi terhadap risiko bencana erupsi. Minum kopi di sini, akan banyak cerita tentang Merapi.”

Sukiman juga menyemai bibit kopi Arabika di belakang rumahnya di Deles. Awalnya, mayoritas petani tanam tembakau di Lereng Merapi, termasuk Sukiman.

Sejak 2003, Sukiman meninggalkan tembakau,  beralih tanam kopi secara organik. Dia nilai, tembakau berkontribusi mengubah iklim di Merapi, bahkan risiko bencana makin tinggi.

Erupsi Merapi 2010, mengubah suhu udara di Deles. Sebelum tanam kopi untuk konservasi dan mitigasi, pukul 7.00 malam, banyak warga membuka baju karena gerah. Lima tahun ini, warga kembali merasakan dingin di kampung.

“Walau secara penelitian belum kami lakukan, tapi sebagai masyarakat lokal, kami merasakan perubahan sebelum dan sesudah konservasi lewat kopi,” kata Sukiman.

Sri Murtini, pengolahan biji Kopi Petruk di Deles mengatakan, sejak dulu mengelola pakai cara manual. Dari mulai pemilahan buah kopi merah hingga pengeringan dengan sinar matahari. Konon, dengan teknik manual sejak zaman Belanda ini, kopi Deles memiliki kualitas dan rasa khas.

Kopi ini terasa kombinasi aroma harum kuat, keasaman pas, dan rasa manis dari sisa kulit buah membuat kopi ini masuk kualitas premium.

Sukiman menjual harga biji kopi kering (green beans) Rp100.000 per kilogram. Kopi Deles, memang tak setenar kopi Gayo dan kopi Toraja di kalangan penikmat kopi Indonesia. Kopi ini, tak banyak dijual di negeri sendiri malah banyak ekspor.

Murtini bilang, produksi kopi bubuk dan per bulan hanya 500 kemasan ukuran 250-100 gram. “Pasar utama kita Jepang, kopi ini dijual di kafe-kafe di sana. Sekarang, ada permintaan kopi dengan fermentasi rasa sake dari Osaka. Jumlah tak terbatas, berapa pun diterima,” katanya.

Tak hanya kopi, Kelompok Perempuan Tani Ngudi juga mengolah hasil pertanian lain dari pola tanam tumpangsari jadi minuman rempah siap saji. Mereka juga menabung, dan belajar bersama mengolah kopi secara baik dan benar.

Pada waktu luang, petani akan membantu memilih biji kopi terbaik sebelum digoreng, sembari mereka belajar dan bercerita tentang pertanian dan merapi.

“Mereka memilih kopi juga dibayar, sembari bicara tentang tani dan merapi,” kata Murtini.

Di lahan pertanian petani Deles, ketika kemarau panjang, mereka tanam kopi melalui sistem infus. Kopi hidup dan cepat berbuah.

Selama ini, petani kopi mati pada distribusi. Sekarang, petani belajar bersama mulai dari tanam, pemiliharaan, panen, pengolahan, penggorengan hingga mengenali rasa kopi bersama-sama. Sukiman merasakan benar perubahan perekonomian warga sejak bertani kopi dan sayur mayur.

“Warga pakai sistem tumpang sari. Kopi tanam bersama bunga kol, cabai, dan bawang. Jika harga sayur tak stabil, petani tetap tak merugi,” kata Murtini.

Puguh Tribendarto, penasehat Paguyuban Kopi Prambanan Klaten-Kalasan, tertarik menyeduhkan Kopi Petruk ke konsumen mereka. ”Kami juga tahu Kopi Petruk. Hanya untuk distribusi masih terbatas. Kami kesulitan mencarinya.”

 

Pertambangan di Lereng Merapi banyak dilakukan di areal perkebunan dan di sungai, Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Dalam studi Foster & Rahmstorf dan Lean & Rind (2008) menemukan, gunung berapi memiliki kontribusi relatif kecil terhadap pemanasan global. Kenyataannya, kemungkinan memiliki efek pendinginan bersih selama 50-65 tahun terakhir.

Penelitian ini melakukan regresi linier berganda pada data suhu, dan menemukan, meskipun aktivitas gunung berapi dapat mencapai 10% dari pemanasan global yang diamati 1979-2005, antara 1889 dan 2006 aktivitas gunung berapi memiliki efek pendinginan bersih kecil di suhu global.

“Dengan demikian, gunung berapi belum menyebabkan pemanasan global jangka panjang selama abad lalu, dan dapat menjelaskan, hanya sebagian kecil dari pemanasan selama 25 tahun terakhir,” seperti dituliskan Foster dan Rahmstorf, Leand dan Rind.

Sigit Hadi Prakosa, Kepala Unit Analisa dan Prakiraan Cuaca BMKG Stasiun Klimatologi Yogyakarta, mengatakan, korelasi antara aktivitas Merapi dan cuaca ekstrem Lereng Merapi, terutama di Sleman mengakibatkan bencana hidrometeorologi yang melanda daerah itu sejak November 2018.

Meningkatnya aktivitas Merapi berupa guguran lava dan abu vulkanik di atmosfer, katanya, akan menambah partikel di udara yang mendukung pembentukan uap air. Peningkatan akumulasi debu vulkanik memicu pembentukan awan Cumulonimbus (CB).

Berdasarkan analisa BMKG, Sleman tergolong rawan bencana hidrometeorologi (bencana karena cuaca ekstrem). “Berdasarkan data historis di Yogyakarta, 81% bencana di Sleman merupakan bencana hidrometeorologi, berupa angin kencang mengakibatkan pohon, baliho roboh, hujan lebat bisa banjir dan tanah longsor serta hujan es dan petir,” kata Sigit.

Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG mengatakan, perubahan iklim atau cuaca ini akan berdampak pada pola tanam dan hasil pertanian warga. Pengetahuan petani, katanya, perlu berkembang, karena kondisi alam juga berkembang.

Pada masa lalu, katanya, belum ada perubahan iklim global yang dahsyat, sekarang perubahan iklim bisa mendadak terjadi.

“Perubahan iklim inilah yang jadikan penting pertani agar memahami informasi cuaca dan iklim,” katanya.

Dengan pemahaman iklim dan cuaca ini, bisa mengurangi risiko baik korban maupun kerugian ekonomi. Dia berharap, petani bisa menyesuaikan proses tanam dengan kondisi iklim.

Menurut Sukiman, tak semua warga berpindah tanam sayur dan kopi, masih ada tembakau sebagai selingan. Prinsip petani, yang menguntungkan dipilih. “Sayur dipilih karena bisa panen tiap bulan, jikapun tak laku dimakan sendiri atau dibagikan pada tetangga.”

Untuk pohon-pohon yang panen dengan ditebang, kala masa penebangan jadi berisiko bencana. Untuk kopi, sebagai tanaman kayu keras dan memanfaatkan biji. Kalau terkena hujan abu Merapi, hilang daun, katanya, bisa tumbuh lagi. Kopi bisa ditanam di bawah pepohonan lain dan tanaman hutan.

Sukiman hanya ingin memberikan contoh manfaat tanam kopi. Kalau mereka sadar keburukan tambang, dan manfaat bertani, maka mereka beralih atas kesadaran pribadi.

Eko Teguh Paripurno, akademisi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, juga Kepala Pusat Studi Manajemen Bencana UPN mengatakan, menganti holtikoltura dengan kopi pilihan cerdas. Kopi tanpa pengolahan, hingga tak menimbulkan erosi lahan dan tak ada pencemaran.

“Kopi punya kemampuan adaptasi terhadap iklim, bisa jadi pilihan bersama memperbaiki ekosistem. Supaya pengelolaan lingkungan dengan mengalihkan usaha tanam holtikultur di daratan tinggi ke pertanian bernilai konservasi dan mitigasi. Kopi sedang naik daun. Kopi bisa tumpang sari,” katanya.

Investasi di pertanian, katanya, perlu upaya pengurangan risiko bencana. Di wilayah rawan erupsi gunnug api, nilai ekonomi jangan hanya dibandingkan hasil investasi tetapi masukkan pertimbangan risiko bencana.

 

Sri Murtini, mewakili kelompok perempuan melakukan pengolahan kopi Petruk Merapi. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Kampanye dan mitigasi lewat radio

Sukiman mempublikasikan aktivitas Merapi lewat media online Twitter dan aplikasi sosial media lain. Dia juga pakai radio dan dinilai pilihan efektif berbagi informasi ke publik.

Sukiman jadikan radio tak hanya sarana hiburan, melainkan pusat pendidikan. Dia jadikan rumanya Studio Radio Lintas Merapi. Radio ini dia jadikan pusat pendidikan mitigasi bencana.

Radio ini berdiri bersama para sukarelawan pada 2002. Fungsi utama radio itu, pusat informasi masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana Gunung Merapi.

Kala itu, katanya, tak bisa sembarang orang memiliki handy talkie (HT). Di Sidorejo, belum ada ponsel dan tak ada telepon.

Informasi kondisi Merapi terkini sering terlambat dan hanya mengandalkan mulut ke mulut. Teknologi banyak dimiliki warga saat itu adalah radio.

“Semua swadaya. Iuran kami, tak pakai uang tetapi di rumah punya alat apa, dibawa ke radio,” kata Sukiman.

Selain fasih mengabarkan informasi tentang kesiapsiagaan bencana melalui frekuensi radio. , para penyiar rutin pelatihan tentang kesiapsiagaan bencana.

Kisah tentang Radio Lintas Merapi yang memiliki misi mitigasi bencana itu pun menyebar. Tak hanya di Indonesia, kiprah radio juga didengar hingga mancanegara. Sukiman pun diundang ke sejumlah negara untuk bercerita tentang radio komunitas yang dia kembangkan bersama para relawan di Lereng Merapi.

“Kopi akan terus berkembang. Kami mencoba membina mengelola kopi dan berbagai macam bahan olahan kopi. Dari kopi pulalah bisa menghidupi operasional radio,” kata Sukiman.

Terik matahari di Deles, namun udara masih terasa dingin di kulit. Telepon pintar tertulis suhu udara 26 derajat celcius, di Yogyakarta, 36 derajat.

“Sampaikan ke publik, ada kopi enak di Merapi. Bantu kami menjaga bumi agar terus konsisten mitigasi dan menjaga ibu bumi,” kata Sukiman.

*Jurnalis Mongabay terpilih mendapatkan beasiswa liputan tentang Kopi dan Perubahan Iklim ini dari LSPP dan EJN Network

 

 

Keterangan foto utama:  Sukiman bertani sayur dan kopi organik sembari aktif melakukan penyadartahuan terhadap penanggulangan risiko bencana. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Papan pemberitahuan ke publik tentang perlindungan kawasan Merapi. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version