Mongabay.co.id

Dewi Malia Prawiradilaga akan Terus Menemukan Jenis Burung Baru

 

 

Burung endemik ukuran 28 cm ini hanya tersebar di Sulawesi utara, tengah, dan barat. Tubuhnya dominan kuning dan sering terlihat di hutan pegunungan. Jenis yang masuk dalam suku Timaliidae tersebut dikenal dengan nama malia sulawesi [Malia grata].

Nama ini juga yang mengingatkan kita pada seorang peneliti ornitologi hebat LIPI. Dewi Malia Prawiradilaga, perempuan kelahiran Bogor, 3 Januari 1955, yang telah menghabiskan 40 tahun hidupnya untuk meneliti keragaman burung di Indonesia.

Dewi bergabung di Pusat Penelitian Biologi, Bidang Zoologi, LIPI pada 1979, setelah menyelesaikan pendidikan sarjana di Bogor. Sambil bekerja, ia meneruskan pendidikannya di negeri kanguru [Australia] untuk program pascasarjana dan doktor.

 

Dewi Malia Prawiradilaga menunjukkan sejumlah spesimen burung di Museum Zoologi Bogor, LIPI. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Hal yang membahagiakan Dewi adalah ketika pada 2017, ia bersama tim peneliti menemukan jenis baru. Myzomela irianawidodoae, nama yang diambil dari nama Ibu Negara Indonesia, Iriana Widodo, ini merupakan burung pemakan nektar yang hidup di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.

Sebelumnya, penghujung 2014, Dewi dan tim peneliti menemukan jenis baru bernama sikatan sulawesi [Sulawesi streaked-flycatcher]. Sikatan ini sekilas menyerupai sikatan burik [Muscicapa griseisticta] karena ukurannya sekitar 12-14 cm dan warna bulu tubuhnya yang coklat keabuan. Sejak pertama kali dilihat pada 1997, jenis ini ditetapkan sebagai spesies baru 17 tahun kemudian.

 

Spesimen burung madu yang tersimpan rapi di Museum Zoologi Bogor, LIPI. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Terbaru, 5 Oktober 2019, penemuan jenis baru Myzomela prawiradilagae menambah daftar panjang burung khas Indonesia. Uniknya, penamaan burung dari Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, ini mengacu nama Dewi Malia Prawiradilaga, sebagai bentuk penghargaan para peneliti kepada Dewi atas kontribusi besarnya untuk pengembangan penelitian ekologi dan konservasi burung Indonesia.

Puaskah Dewi terhadap sejumlah capaiannya? Tentu tidak. Hingga kini, ia terus meneliti, mengingat masih banyak peluang ditemukannya jenis baru. Bukan hanya itu, Indonesia yang luas, belum seluruhnya ia datangi.

Berikut wawancara Mongabay Indonesia dengan Dewi Malia Prawiradilaga di ruang kerjanya di Museum Zoologi Bogor [MZB], Gedung Widyasatwaloka, LIPI, Cibinong Science Centre, Jumat [18/10/2019]

 

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan jenis burung luar biasa. Foto: Fransisca N Tirtaningtyas/Mongabay Indonesia

 

Mongabay: Selamat, nama Anda diabadikan dalam nama jenis baru burung madu. Tanggapan Anda?

Dewi: Senang, nama saya sudah nempel di burung. Meski nama tengah saya “Malia” kan memang sudah nama genus burung di Sulawesi. Jadi “double” senang deh.

 

Mongabay: Bisa diceritakan penemuan tersebut?

Dewi: LIPI bekerja sama dengan National University of Singapore [NUS] pada 2014 melakukan ekspedisi ke Nusa Tenggara Timur [Rote, Alor, dan Timor]. Berdasarkan informasi, sejak 1980-an Myzomela banyak yang belum diketahui jenisnya, apalagi di pulau-pulau kecil.

Banyak yang sudah mengidentifikasi dengan pengamatan bahwa jenis Myzomela banyak yang berbeda. Tapi, itu semua harus melalui uji molekuler dan prosesnya lama. Dari pengambilan koleksi burung, uji molekur, hingga penulisan membutuhkan waktu panjang.

LIPI membantu proses perizinan hingga pengambilan koleksi di alam, selain pemikiran kerangka besar identifikasi jenis burung. Spesimen untuk koleksi yang didapat dari lapangan dideposit di MZB, sedangkan uji molekuer dilakukan di NUS.

 

Myzomela prawiradilagae sebagai jenis baru. Foto: Philippe Verbelan/LIPI

 

 

Mongabay: Setelah penemuan Myzomela prawiradilagae, apakah ada kandidat jenis baru lagi?

Dewi: Ada dong, hasil saat kami melakukan ekspedisi 2013 di Wallacea, bakalan bikin heboh. Tapi nanti ya infonya, masih proses terbit di jurnal.

 

Mongabay: Ilmu yang Anda geluti spesifik burung. Bagaimana memberi pemahaman pda masyarakat?

Dewi: Memang ada kesulitan, itu karena mereka tidak paham. Tapi, setelah dijelaskan mereka mengerti dan sadar pentingnya burung untuk lingkungan, untuk mereka sendiri, dan untuk kita semua.

Beberapa waktu lalu, saat saya mencari tukang [langanan] untuk merapikan rumah, saya kesulitan menemuinya. Esoknya saat bertemu, tukang itu mengatakan ke saya, ia ke Karawang untuk nangkap burung.

Seketika itu saya jelaskan, ”Eh, jangan dong, itu tidak boleh.” Saya katakan bahwa burung itu memakan serangga di sawah. Menjaga keseimbangan lingkungan. Hal seperti ini yang harus dijelaskan ke masyarakat.

 

Dewi Malia Prawiradilaga yang terlibat langsung penemuan sikatan sulawesi. Foto: Rahmadi Rahmad/Mongabay Indonesia

 

 

Mongabay: Apa tantangan yang Anda rasakan sebagai peneliti?

Dewi: Banyak. Misal, ada yang berpendapat mengapa tidak bisa melakukan identifikasi jenis burung sendiri. Ini dikarenakan, kita masih memerlukan kerja sama, selain harus melakukan riset lebih intensif dengan anggaran terbatas. Namun, beberapa tahun ini ada anggaran untuk melakukan penelitan sendiri, jadi mulai banyak kegiatan yang dilakukan.

Saya kadang iri bila mengikuti konferensi burung, banyak yang melakukan penelitian satu jenis burung hingga puluhan tahun.

Tantangan lain, saat ini banyak peneliti muda. Mereka sangat terbantu teknologi, namun tetap harus didampingi yang senior, melengkapi dari sisi pengalaman.

 

Mongabay: Burung favorit Anda? Mengapa menyukainya?

Dewi: Elang jawa, kharismanya itu lho. Sudah 15 tahun saya penelitian, tidak untuk penelitian S2 atau S3. Saya mulai penelitian rutin justru setelah pulang pendidikan di Australia.

Selama sekolah di luar negeri, saya tidak pernah menggunakan jenis burung di Indonesia sebagai topik penelitian. Saya kalah sama Bas van Balen meski kami belajar bareng mengenai burung di Kebun Raya Bogor, tapi dia lebih paham keseluruhan.

Untung saja ada kerja bareng dengan sebuah lembaga, riset elang jawa di Halimun. Itu adalah impian saya. Hingga sekarang, banyak mahasiswa yang melakukan penelitian elang jawa dengan bimbingan saya.

 

Elang jawa. Foto: Harry Kartiwa/ Burung Indonesia

 

 

Mongabay: Beberapa tahun terakhir banyak pemberitaan perburuan, perdagangan, hingga rusaknya habitat burung di alam. Pandapat Anda?

Dewi: Sepertinya orang-orang saat ini sudah kebal. Para pejabat yang punya posisi harus memberi teladan, bukan ikut-ikutan melihara. Hukumnya juga masih kurang tajam, namun lebih baik dari sebelumnya karena sekarang ada Ditjen Penegakan Hukum KLHK.

Selain perdagangan, banyak juga pembangungan yang membuat burung tergusur di habitatnya. Saya suka iri dengan Jepang, mereka melakukan pembangunan tapi tetap memperhatikan lingkungan, tetap menjaga alam.

Dulu, waktu saya ikut monitoring burung elang di pegunungan di Jepang, dari pemerintah mereka ada rencana pembuatan dam. Saya dapat kesempatan membantu, melakukan analisis lingkungan [di Indonesia disebut amdal]. Ternyata, ada elang langka yang berbiak, dan pemerintah setempat disarankan membangun pada ketinggian lebih rendah, dan pemerintahnya nurut.

Nah kalau di sini, tetap dibangun tanpa melihat apakah itu habitat burung, harimau, gajah, atau orangutan.

 

Julang sulawesi [Knobbed hornbill] yang statusnya Rentan [V]. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

 

Mongabay: Lokasi favorit Anda untuk pengamatan burung?

Dewi: Banyak, tapi yang paling saya senangi itu di Mimika, Pegunungan Jayawijaya.

 

Mongabay: Pandangan Anda akan keanekaragaman burung di Indonesia?

Dewi: Kita jaga, jangan sampai ada yang punah, idealnya begitu. Boleh dimanfatkan namun tidak habis-habisan dieksploitasi, karena burung membantu alam. Fungsinya banyak, sebagai penyerbuk, pengendali hama, hingga kotorannya sebagai penyubur tanaman.

Kita harus hidup harmoni dengan alam dan burung. Jangan sampai nanti kita tahu jenis hanya dari gambar.

 

 

 

Mongabay: Harapan Anda kepada pengamat burung?

Dewi: Saya mengapresiasi pengamat burung yang senang melakukan pemantauan, selain juga fotografi. Tapi mungkin, jangan terlalu di-expose foto jenis burung yang unik bahkan tergolong langka di media sosial. Cukup di grup saja.

Jangan sampai memancing orang-orang tidak bertanggung jawab untuk memanfaatkan foto-foto tersebut. Terlebih untuk dijadikan informasi dasar perburuan. Harus bijak!

 

Referensi:

Collar, N. & Robson, C. [2019]. Malia [Malia grata]. In: del Hoyo, J., Elliott, A., Sargatal, J., Christie, D.A. & de Juana, E. [eds.]. Handbook of the Birds of the World Alive. Lynx Edicions, Barcelona. [retrieved from https://www.hbw.com/node/59676 on 25 October 201].

Irham, M., Hidayat, A., Suparno., Trainor, CR., Verbelen, P., Wu, MY., Rheindt, FE. 2019. A new Myzomela honeyeater [Meliphagidae] from the highlands of Alor Island, Indonesia. Journal of Ornithology. doi:10.1007/s10336-019-01722-2

 

 

Exit mobile version