Mongabay.co.id

Kesiapsiagaan Masyarakat Hadapi Karhutla Rendah, Siapa Pendana Konsesi Terbakar?

Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

 

 

 

 

 

Kebakaran hutan dan lahan jadi agenda tahunan. Warga terdampak jutaan dan ratusan ribu alami sakit seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Meski karhutla berulang, peneliti LIPI menyebut, kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana karhutla dianggap masih sangat rendah.

“Kita dihadapkan pada kondisi kesiapsiagaan masyarakat masih sangat terbatas dan kerentanan mereka sangat tinggi. Pengetahuan masyarakat terkait dampak asap terhadap kesehatan juga terbatas. Informasi antisipasi tindakan apa meminimalkan risiko juga terbatas,” kata Deny Hidayati, peneliti ekologi manusia Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pekan lalu.

Deny mengatakan, tindakan masyarakat dalam menghadapi karhutla masih bersifat alamiah, dan seadanya. Dalam penggunaan masker misal, banyak masih pakai masker biasa yang dibagikan pemerintah daerah setempat. Padahal, untuk meminimalisir bahaya asap terhadap kesehatan seharusnya menggunakan masker N-90.

“Untuk kelompok rentan terutama bayi dan balita seharusnya dievakuasi ke ruang aman tetapi masih terbatas.” Diam di rumah pun kadang bukan pilihan, terlebih kalau banyak rumah dari papan dengan ventilasi banyak hingga atap tetap masuk.

Deny bilang, keadaan terjadi karena peran pemerintah dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap asap karhutla masih terbatas. Kapasitas sumber daya manusia yang kurang, katanya, jadi penyebab.

“Selain itu, sekarang terjadi pergeseran kearifan lokal di kalangan masyarakat. Dulu mereka bergotong royong dalam penanganan karhutla. Sekarang berkurang,” katanya.

Rasa memiliki hutan berkurang, katanya, mungkin didorong banyak hutan beralih kepada perusahaan, penunjukan hutan sebagai taman nasional dan hutan lindung hingga batasi akses masyarakat. “Ini jadi penyebab memudarnya kepedulian anggota komunitas terhadap karhutla,” kata Deny.

 

Dalam siatuasi asap yang kian pekat, tidak semua pengendara menggunakan masker. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, penting untuk peningkatkan keberfungsian kelembagaan masyarakat yang dibentuk pemerintah pusat. Sejauh ini, pemerintah sudah membuat berbagai program bagi masyarakat dalam maupun sekitar kawasan hutan, seperti Desa Tahan Bencana (Destana) yang dibentuk BNPB, Kampung Siaga Bencana (KSB) bentukan Kementerian Sosial. Lalu, Masyarakat Peduli Api (MPA) dibentuk KLHK dan Kelompok Tani Peduli Api (KTPA) bentukan Kementerian Pertanian.

Pemerintah daerah, katanya, harus meningkatkan sosialisasi tentang dampak asap karhutla dan penanganan. Dengan sosialisasi, katanya, diharapkan bisa lebih fokus pada upaya penanganan karhutla.

Dampak karhutla juga membuat pertanian dan perkebunan terganggu. Produksi tanaman pangan seperti palawija dan sayuran turun signifikan. Menurut Deny, perlu peningkatan upaya adaptasi dengan mengatur waktu dan jenis tanaman.

Dampak karhutla juga dialami masyarakat adat. Deny contohkan, kasus Orang Rimba. Mereka akrab dan hidup bersama dengan api di hutan. Dalam bercocok tanam dan membuka lahan dengan kearifan lokal, meskipun dengan membakar, biasa mereka bisa mengontrol api agar tak meluas. Kondisi saat ini sudah berubah. Mereka tidak bisa mengontrol api yang datang dari luar.

Deny bilang, ke depan penting upaya pengurangan risiko bencana baik lewat non formal dengan pendekatan ke masyarakat, maupun secara formal seperti edukasi ke sekolah.

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

 

Luasan terbakar

Kepala kelompok Kerja Perencanaan Deputi Bidang Perencanaan dan Kerjasama BRG Noviar mengatakan, sepanjang Januari-13 September 2019, titik api terpantau 31.164. Dari angka itu, 12.973 hotspot berada gambut dengan sebaran 12.878 hotspot di gambut tujuh provinsi prioritas BRG dan 95 hotspot gambut luar provinsi prioritas BRG.

Puncak titik api pada September.Adapun sebaran titik api di provinsi prioritas BRG seperti di Jambi 1.566, Kalimantan Barat 1.288, Kalimantan Selatan 71, Kalimantan Tengah 4.028, Papua 43, Riau 808 dan Sumatera Selatan 497, semua ada 8.301.

Secara keseluruhan, luas gambut intervensi BRG dan terbakar 33.489 hektar. Di Riau 441 hektar, Jambi 5.263 hektar, Sumatera Selatan 4.745 hektar, Kalimantan Barat 3.119 hektar, Kalimantan Tengah 19.193 hektar, dan Kalimantan Selatan 728 hektar.

Berbagai upaya BRG lakukan guna melindungi gambut bersama masyarakat, seperti budidaya padi di gambut dangkal, pembibitan dan penggemukan sapi, pengembangan produksi kerajinan tanaman purun, serta pengembangan sagu.

Sebelumnya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merilis data luasan terbakar dalam karhutla 2019. Sampai September, ada 857.756 hektar terbakar. Di Bali dan Nusa Tenggara 141.839 hektar, Kalimantan 428.677 hektar, Sumatera 188.693 hektar, Jawa 22.656 hektar, Maluku dan Papua 44.306 hektar dan Sulawesi 32.195 hektar.

Kepala Pusdatinmas BNPB Agus Wibowo mengatakan, saat ini Indonesia dalam proses menghitung total kerugian karhutla 2019 bersama Bank Dunia. Pada 2015, total kerugian mencapai Rp221 triliun. “Tahun ini belum ketahuan, karena sedang proses penghitungan.”

 

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

Konsesi terbakar, siapa pendananya?

Setidaknya, KLHK menyegel 64 perusahaan dengan area konsesi terbakar. Mereka berada di Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Riau, Sumatera Selatan dan Jambi.

Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan (TuK Indonesia) menganalisis keuangan ke-64 perusahaan itu. Hasilnya, memperlihatkan, sejak 2015, mereka menerima pinjaman korporasi dan fasilitas penjaminan US$19,2 miliar setara Rp266 triliun.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, pekan lalu di Jakarta, mengatakan, TuK analisis untuk mengetahui apa yang perlu dalam antisipasi kebakaran hutan dan lahan yang terus berulang setiap tahun. TuK Indonesia mengidentifikasi perusahaan-perusahaan yang sudah disegel KLHK.

“Habis disegel mau diapakan? Ada gak efek jeranya? Faktanya, sudah diputus pengadilan juga tak terjadi apa-apa?” katanya. Dia sarankan, aset mereka perlu dibekukan dan analisa struktur perusahaan, hingga ke grup induk. Makin besar kelolaan, katanya, managemen makin buruk. “Karena gak mampu kelola besar sekali. Kalau korporasi sudah memiliki jutaan hektar, ya masa gak dievaluasi?”

Tuk Indonesia juga menganalisis berapa piutang, penjaminan, obligasi, penguasan saham grup-grup besar yang menaungi perusahaan-perusahaan yang sudah disegel KLHK. Selain itu, juga analisis negara asal induk investor untuk mengetahui otoritas di negara itu dalam pertukaran informasi dan penegakan regulasi.

Hasilnya, menunjukkan perusahaan-perusahaan itu dibiayai 156 induk investor nasional dan mayoritas asing, menyediakan utang dan penjaminan. Lalu 482 induk investor, nasional dan mayoritas asing, menyediakan obligasi dan jadi pemegang saham grup perusahaan yang terafiliasi dengan karhutla.

Sepuluh terbesar penyandang dana menyediakan utang dan penjaminan kepada perusahan-perusahaan itu antara lain, BRI sebesar US$1,722.54 juta, Malayan Banking US$1,120.16 juta, BNI US$1,086.94 juta, Industrial and Commercial US$1,007.25 juta, Oversea-Chinese Banking US$960.92 juta, CIMB Group US$749.94 juta, Bank of China US$542.82 juta. Lalu, China Development Bank US$522.54 juta, Bank Mandiri US$502.28 juta dan Mitsubishi UFJ Financial US$490.68 juta.

Kalau melihat negara sumber aliran dana, dari Indonesia 38%, Malaysia 21%, Tiongkok 24%, Singapura 11% dan Jepang 6%.

“Hal menarik, penyedia utang terbesar itu bukan bank asing, tapi BRI. BUMN menyiapkan uang untuk membakar hutan kita. Pasti jawaban pemerintah niatnya gak begitu, tapi fakta memang begitu,” kata Edi.

Kemudian 10 teratas penyandang dana yang menyediakan obligasi dan menjadi pemegang saham pada perusahaan-perusahaan itu antara lain, Employees Provident Fund US$1,748.50 juta, Permodalan Nasional Berhad US$1,215.66 juta, Commonwealth Bank US$401.51 juta , Vanguard US$385.12 juta, KWAP Retirement Fund US$324.50 juta, Silchester International US$316.06 juta, Lembaga Kemajuan Tanah Persekutuan US$296.01juta, Public Bank US$191.54 juta dan Dimensional Fund Advisors US$181.84 juta. Dilihat dari negara asal, terdiri dari Malaysia 70%, Australia 8%, Amerka 16% dan Inggris 6%.

Edi bilang, investor yang mendanai perusahaan-perusahaan itu perlu didorong menghentikan pendanaan kepada korporasi yang tersangkut karhutla.

“Diplomasi bisnis tidak hanya bicara soal ekspor impor, juga keberlanjutan. Semua aktor perlu diajak negosiasi dan diplomasi. Sedangkan pemerintah kita kalau diplomasi ke luar negeri cuma bicara soal buka market untuk sawit.”

Dia mendesak, KLHK menjalin kerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam mendukung penerapan keuangan melalui pertukaran informasi, pemetaan pembiayaan serta penegakan hukum. Dengan begitu, OJK bisa melakukan fungsi supervisi dengan efektif.

Hal ini, katanya, untuk memitigasi risiko sistemik pada perekonomian nasional. Selama ini, kesepapakatan KLHK dengan OJK belum berjalan baik.

Dia meminta, KLHK agresif dalam menerapkan regulasi Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup (IELH) bagi seluruh rencana pembangunan, proyek, kegiatan di semua level administrasi pemerintahan.

Dia juga meminta KLHK menjalankan dialog agresif dengan otoritas-otoritas keuangan dunia, termasuk World Bank, IMF, The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF), Interpol, OJK negara lain, PPATK negara lain. Sebab, ada kaitan erat antara karhutla dengan tindak pidana pencucian uang.

Data Walhi menyebut, sepanjang Januari-September 2019, terdapat 837 korporasi baik kehutanan maupun perkebunan ada titik api. Rinciannya, 440 HGUhak guna usaha, 235 hutan tanaman industri, 162 izin HPH.

Wahyu Perdana, Manajer Kampanye Walhi Nasional menyayangkan, sikap pemerintah seperti tak mengakui dan menutup mata terkait kondisi darurat kebakaran hutan di lahan korporasi.

“Fakta ini menunjukkan PR (pekerjaan rumah-red) pemerintah dalam penegakan hukum terhadap korporasi masih cukup besar,” katanya. Belum lagi soal putusan-putusan atas ganti rugi dan pemulihan lingkungan dalam kasus-kasus karhutla, belum eksekusi. Kondisi ini, katanya, memperlihatkan penegakan hukum tak serius.

Made Ali, Koordinator Jikalahari mengatakan, di Riau KLHK menyegel 10 perusahaan, mencabut tiga izin HPH dan sawit. Dia menyoroti peran Kementerian Pertanian dan Kementerian ATR/BPN yang tidak berperan dalam mengatasi karhutla. Padahal, katanya, dua kementerian ini mempunyai kewenangan penegakan hukum dan evaluasi perizinan perkebunan sawit.

Menurut Made, lembaga keuangan perlu didorong ikut mencegah karhutla, dengan review kebijakan pembiayaan yang berdampak pada pencemaran dan perusakan lingkungan.

Selain itu, untuk menekankan pencegahan karhutla, katanya, alat paling efektif dengan menyasar penyandang dana sembari penegakan hukum dengan pendekatan pencucian uang.

 

 

Keterangan foto utama:  Satgas Karhutla berjibaku memadamkan api di lahan gambut di Riau. Foto: BNPB

Direktorat Penegakan Hukum KLHK usai peyegelan lokasi terbakar. Foto: dari Facebook Rasio Ridho Sani, Dirjen Penegakan Hukum, KLHK

 

Exit mobile version