Mongabay.co.id

Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Jejak Maleo di Tanjung Matop, Hidup di Alam hingga Perusahaan [Bagian 1]

**

Untuk memastikan informasi Thamrin Latery, Mongabay Indonesia menghubungi Mobius Tanari, dosen dan peneliti dari Universitas Tadulako. Mobius adalah tenaga ahli Maleo Center di PT. Donggi Senoro LNG yang bekerja sama dengan BKSDA Sulawesi Tengah. Sementara di Maleo Konservasi milik PT. Panca Amara Utama, Mobius penanggung jawabnya.

Sejak 2001 Mobius merupakan staf pengajar Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian. Dia telah mempelajari maleo dan menjadikannya topik disertasi di Institut Pertanian Bogor [IPB] yang diselesaikan 2007. Temanya, “Karakterisasi Habitat, Morfologi dan Genetik, Serta Pengembangan Teknologi Penetasan Ex Situ Burung Maleo Sebagai Upaya Meningkatkan Efektivitas Konservasi.”

“Saya tidak kenal yang namanya Pak Thamrin. Itu tidak betul dan informasinya salah. Saya pernah ke Tanjung Matop dan setahu saya di sana gagal,” ujarnya.

Mobius mengatakan, sebagai akademisi ia tidak pernah menyebut penetasan di tempat lain sebagai hasil penetasan inkubator. Menurutnya, konservasi maleo di ex situ tingkat keberhasilannya lebih tinggi dibandingkan in situ, mencapai 90 persen.

“Saya tidak pernah mengklaim hasil kerja orang. Kalau mau lihat buktinya selalu ada. Tapi kalau misalnya itu adalah pertukaran satwa yang dilakukan BKSDA, tidak masalah. Justru lebih bagus, sebab menjadikan komposisi gen heterogen, lebih beragam,” katanya.

 

Maleo, burung khas Sulawesi. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Telur-telur maleo yang ditetaskan di inkubator itu hasil sitaan BKSDA dan dari masyarakat. Namun kadang, daya tetasnya rendah karena pada musim hujan masuk air, ada yang busuk. Ia membayangkan jika di alam, saat musim hujan, tidak dipindahkan telurnya, akan lebih parah lagi. Selain busuk, embrio juga tidak berkembang.

“Hasil penelitian kami, bisa menyelamatkan 40 persen kalau musim hujan, yang penting masyarakat cepat memberikan untuk dimasukkan ke inkubator.”

Mobius kini lebih banyak meneliti konservasi ex situ di PT. Panca Amara Utama. Ia sudah uji coba penetasan dengan temperatur berbeda. Hasilnya, telur bisa menetas di atas temperatur 36 derajat Celcius, biasanya antara 33 hingga 34 derajat dengan kelembaban 60-70 persen.

Untuk jaminan hidup anakan maleo yang dilepas perusahaan di hutan Bakiriang, kata Mobius, pihaknya akan melakukan evaluasi. Mereka sudah punya rencana tahun, berikutnya akan membuat penanda di kaki untuk memastikan burung endemik itu bertahan atau tidak.

 

Maleo merupakan burung berstatus Genting [Endangered/EN] berdasarkan Daftar Merah IUCN. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Mongabay Indonesia juga konfirmasi ke Haruna, Kepala Seksi Konservasi Wilayah 1 BKSDA Sulawesi Tengah, terkait penjelasan Thamrin Latery. Haruna membawahi Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop di Toli-Toli hingga Kabupaten Sigi. Menurutnya, Thamrin Latery sudah pensiun per 1 Oktober 2019.

“Tidak betul itu,” bantahnya.

Ia mengatakan, pada 2017 tidak ada permintaan anakan maleo. Tahun 2018, memang ada, namun tidak dengan jumlah banyak, hanya tiga atau empat ekor untuk keperluan penelitian dan edukasi ke sekolah. Ditempatkan di penangkaran di kantor.

“Jarak dari Pinjan Tanjung Matop ke Palu itu jauh. Sehari semalam. Kami mengedukasi anak-anak sekolah, jika ingin melihat maleo ya seperti ini modelnya,” kata Haruna. Ketika gempa melanda Palu, kantor hancur dan satwa terpaksa dievakuasi ke Pusat Penangkaran Satwa Tasikoki di Sulawesi Utara.

Haruna mengakui, jumlah telur maleo di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop dalam satu musim bisa mencapai 800 butir yang ditanam. Setiap tahun, anakan maleo yang dilepas sekitar 500 sampai 700 individu.

Hanya saja, pihaknya mengalami kesulitan memastikan anakan yang dilepas bakal hidup. “Kami perlu alat deteksi. Ini berlaku di semua tempat, termasuk di hutan Bakiriang, Kabupaten Banggai,” ujarnya.

Untuk pelepasan yang dilakukan perusahaan, PT. Donggi Senoro LNG dan PT. Panca Amara Utama, katanya, merupakan hasil penetasan inkubator yang dilakukan Mobius Tanari. Bukan anakan maleo dari Tanjung Matop seperti yang diungkapkan Thamrin. Bahkan katanya lagi, anakan maleo hasil inkubator kakinya rata-rata agak bengkok.

“Tapi memang, kami sudah ada rencana melakukan pertukaran satwa seperti maleo dari habitat yang berbeda agar lebih survive.”

 

Burung maleo ketika akan bertelur di pesisir Tanjung Matop. Agustus menjadi musim pengujung maleo bertelur. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Maleo dan Adat Batui

Minggu pagi, 29 September 2019. Setelah melewati pabrik PT. Panca Amara Utama dan PT. Donggi Senoro LNG, saya melihat sebuah tugu bercat merah berdiri di tengah persimpangan jalan. Ramai kendaraan beradu dengan riuhnya pasar tradisional.

Bagian atas tugu terdapat patung maleo yang dibuat seperti hendak terbang. Di bawah patung ikonik itu, dua kata tertulis jelas: “Batui City”. Tulisan itu penanda Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Tempatnya persis di Kelurahan Balantang, satu jam dari Kota Luwuk.

Bagi masyarakat Batui, maleo disebut Manu Mamoa. Maleo tidak hanya simbol tugu, bahkan melampaui itu, menjadi ritual warisan nenek moyang yang selalu dilakukan di penghujung tahun. Jika tanggal sudah disepakati di Desember, akan ada acara Molabot Tumpe atau pengantaran telur maleo secara adat ke Pulau Peleng, Banggai Kepulauan.

Jika Molabot Tumpe selesai, disusul dengan ritual Monsawe dari malam hingga pagi hari di tempat yang dianggap keramat di Kecamatan Batui. Monsawe berarti ucapan syukur bahwa telur maleo pertama berhasil digelar.

 

Telur maleo di inkubator milik PT. Panca Amara Utama di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Dok. PT. Panca Amara Utama

 

Syahrin Handu [71], perangkat adat Batui, mengatakan dalam prosesi ritual Molabot Tumpe dan Monsawe, dibutuhkan 100-an telur maleo. Namun sekarang, telur harus dibeli di Kabupaten Morowali. Sebab, pencarian telur maleo di wilayah Batui, seperti hutan Bakiriang, makin sulit. Menurutnya, wilayah adat Batui mencakup hutan Bakiriang yang kini berstatus suaka margasatwa. Di hutan tersebut terus mendapat tekanan, salah satunya dari perkebunan sawit di bawah bendera PT. Kurnia Luwuk Sejati.

Syahrin menyebut, perusahaan berdiri di atas wilayah adatnya orang Batui. Sehingga ketika datang, perusahaan meminta izin kepada para tetua adat. Saat pelepasan maleo, Syahrin juga sering diajak perusahaan. Terakhir kali di 2019, ia diajak PT. Panca Amara Utama.

Syahrin mengaku, ia sendiri yang melakukan ritual dengan memotong ayam warna putih saat bor perusahaan PT. Donggi Senoro LNG pertama kali menancap bumi. Ritual adat dilakuan dengan tujuan pekerjaan perusahaan mendapat berkah dari Tuhan dan juga nenek moyang orang Batui.

“Bisa dibilang 75 persen ritual perusahaan saya yang melakukan. Sebagai perangkat adat, saya berharap perusahaan yang berdiri di tanah adat Batui peduli masyarakat, baik itu sosial, adat, dan budaya. Tapi sekarang, seperti ingkar janji,” ujarnya.

 

Maleo dewasa di konservasi ex situ PT. Panca Amara di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Dok. PT. Panca Amara

 

Dalam buku Ekologi Sulawesi [1987] yang ditulis Anthony J. Whitten dkk, dijelaskan bahwa maleo bersarang bersama, di tempat paling luas yang dikenal di Bakiriang. Lokasinya, di pantai selatan semenanjung timur laut, sekitar ratusan burung bersarang dengan liang-liang terpisahkan jarak 3 meter satu sama lain, di lahan seluas 1 hektar. Tempat unik ini berada beberapa kilometer dari lokasi transmigrasi.

“Hutan dataran rendah tempat maleo menggantungkan hidupnya mulai ditebangi, kecuali bila ada perlindungan khusus. Kematian populasi ini kelihatannya hampir pasti,” demikian ditulis dalam Ekologi Sulawesi.

Dalam buku tersebut dikatakan Bakiriang adalah tempat khusus, sampai 50 tahun yang lalu, Raja Banggai di Pulau Peleng menentukan siapa yang harus mengumpulkan dan menerima pajak dari telur itu. Seratus telur pertama dipersembahkan kepada raja dan hanya setelah ia menyetujui telur dapat dikonsumsi masyarakat setempat.

“Ada yang bilang, adat yang merusak maleo. Justru sejak ada industri di Batui, maleo semakin susah,” kata Syahrin saat ditemui Mongabay Indonesia di Batui.

Selain predator alami, tekanan terhadap populasi maleo adalah perburuan telur oleh manusia, pembukaan kawasan hutan maupun meluasnya permukiman.

 

Maleo dewasa di konservasi ex situ PT. Donggi Senoro LNG di pesisir Desa Uso, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dalam negeri, melalui arahan rencana strategis konservasi spesies nasional, maleo adalah satwa prioritas untuk ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen.

Untuk mengatasi ancaman kepunahan itu, berbagai lembaga melakukan kegiatan konservasi maleo dengan model in situ atau pelestarian maleo di habitat aslinya. Misalkan yang dilakukan WCS [Wildlife Conservation Society] dan E-PPAS [Enhancing Protected Area System in Sulawesi] for Biodiversity Conservation bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] di Sulawesi Utara dan Gorontalo.

Di Sulawesi Tengah, salah satu lembaga yang melakukan konservasi in situ adalah Aliansi Konservasi Tompotika [Alto] di Desa Taima Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai. Tempat lainnya adalah konservasi dengan model in situ yang dilakukan BKSDA Sulawesi Tengah di Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop, serta beberapa tempat lain di Sulawesi.

Hanom Bashari, Protected Area Specialist dari E-PASS menyebutkan, tercatat 142 lokasi peneluran maleo di Sulawesi. Jumlah tersebut ia dapatkan dari hasil kompilasi beberapa sumber [Dekker 1990, Argeloo 1994, Butchart & Baker 2000, Gorog dkk. 2005]. Berdasarkan tipe dan sebaran lokasi peneluran yang tercatat sejak 1990-2005 adalah: pantai 48 lokasi dan daratan 94 lokasi. Untuk Kawasan konservasi 50 lokasi dan di luarnya 92 lokasi.

“Untuk wilayah, terdapat di seluruh provinsi yang ada di Pulau Sulawesi. Namun yang paling banyak di Sulawesi Tengah dengan 54 lokasi peneluran, Sulawesi Utara [51 lokasi], Gorontalo [15 lokasi], Sulawesi Barat [14 lokasi], Sulawesi Tenggara [6 lokasi], dan Sulawesi Selatan [2 lokasi],” ungkap Hanom.

 

Telur maleo yang ukurannya sebesar telapak tangan orang dewasa. Foto: Hanom Bashari

 

Domestifikasi Maleo

“Saya ingin suatu ketika maleo bisa didomestifikasi. Saya sudah punya bayangan itu karena maleo bisa hidup di luar habitat aslinya. Dan ada harapan besar untuk itu,” kata Mobius Tanari.

Domestifikasi merupakan upaya mengadopsi satwa liar, seperti burung maleo, ke kehidupan sehari-hari manusia. Mobius mengatakan, di PT. Panca Amara Utama sudah ada satu ekor maleo yang menggali pasir dan bertelur lalu menetas dalam kandang. Di PT. Donggi Senoro LNG, maleo dewasa sudah lima kali bertelur. Hanya saja empat telur dipatok oleh maleo dewasa lain, hanya satu telur yang bisa diselamatkan ke inkubator.

“Target pertama kami di ex situ adalah membantu meningkatkan populasi maleo. Sambil melakukan riset dengan harapan maleo bisa diregenerasi di luar, bisa dipelihara di luar, dikembangkan di luar. Memang proses domestifikasi ini lama, dan banyak yang bilang rata-rata 100 tahun atau sekitar 3 sampai 5 generasi,” tuturnya.

Menurut Mobius, konservasi ex situ konsepnya membantu pelaksanaan konservasi in situ. Hasilnya, dia mengklaim, sudah membantu meningkatkan populasi, karena bisa ditetaskan dengan teknologi dan bisa dilepaskan. Ia berandai, jika lebih dekat dengan sumber peneluran dan ada listrik, maka lebih banyak maleo yang bisa diselamatkan. Kelemahan inkubator adalah harus ada sumber listrik.

“Kalau ditanya mana yang lebih berhasil, saya jamin teknologi penetasan maleo dengan inkubator lebih unggul dibandingkan in situ,” katanya.

 

Maleo yang berada di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [TNBNW]. Foto: Dok. E-PASS/TNBNW

 

Selain itu, selama risetnya di konservasi ex situ, Mobius mempertanyakan anggapan banyak orang bahwa maleo adalah satwa monogami. Ketika maleo bertelur di nesting ground, peneliti menyaksikan maleo selalu berpasangan, dan ada juga yang melihat maleo kadang datang sendiri. Jika berpasangan, itu adalah pasangan seumur hidup dan yang sendiri pasangannya sudah mati.

“Namun, maleo yang ada di ex situ terutama di PT. Panca Amara Utama tidak begitu. Maleo betina kalau mau kawin, maka jantan yang bereaksi lebih dulu yang melakukan. Saya melihatnya lebih ke kompetisi. Kalau setia, mungkin iya karena selalu berduaan, dan jantan punya tanggung jawab ketika betina bertelur. Tapi ketika jantan mati, saya yakin betinanya pasti bisa kawin lagi.”

Diakhir wawancara, Mobius kembali menegaskan bahwa informasi yang disampaikan Thamrin Latery adalah sesuatu yang salah. Ia menyebut, jika telur maleo banyak di Tanjung Matop dan ditetaskan di inkubator pasti lebih berhasil.

“Saya tidak tahu anakan maleo itu dibawa dan dilepas dimana,” tandasnya. [Selesai]

 

 

Exit mobile version