Mongabay.co.id

Bangun PLTU dan Lepas Hutan Bakal Gagalkan Komitmen Iklim Indonesia, Bagaimana Cara Capai Target?

Pelabuhan Ikan Desa Menganti yang berdekatan dengan lokasi PLTU Cilacap. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Pada 2-13 Desember 2019, kembali para pemimpin dunia berkumpul dalam pertemuan iklim (Conference of the Parties/COP) ke-25 di Madrid, Spanyol. Mereka bakal mendiskusikan lagi dampak perubahan iklim dan bagaimana solusinya, terutama dalam mengimplementasikan Perjanjian Paris (Paris Agreement). Khusus Indonesia, punya komitmen cukup kuat berkontribusi mengurangi emisi karbon, sampai 2030 sebesar 29% dengan upaya sendiri dan 41% kalau ada bantuan luar. Bagaimana upaya menuju komitmen itu?

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, tantangan Indonesia saat berbicara mengenai perubahan iklim adalah soal ambius atau tidak target dan sesuai tujuan Paris Agreement atau tidak.

Dalam Paris Agreement, setidaknya ada dua tujuan. Pertama, menjaga kenaikan temperatur suhu bumi tak lebih dari 2 derajat selsius dan berusaha mencapai 1,5 derajat celsius. Kedua, mencapai nett zero emission pada pertengahan abad ini. Dengan Perjanjian Pais, mitigasi jadi tanggungjawab semua negara.

Baca juga: PLTU Batubara Sumber Polusi, Kebijakan Pemerintah terhadap Energi Perlu Revisi

Kalau melihat dokumen Nationally Determinded Contributions (NDC) Indonesia, katanya, masih belum terlihat upaya ambisius dalam mencapai target. Dalam konteks Perjanjian Paris, NDC Indonesia justru terkesan tak mengarah pada capaian menahan laju kenaikan suhu di bawah dua derajat celsius.

“NDC kita highly insubmission. Kita itu tren mengarah pada kenaikan suhu 3-4 derajat,” katanya dalam diskusi yang diselenggarakan Yayasan Madani Berkelanjutan, di Jakarta, Selasa (5/11/19).

Menurut Fabby, capaian Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor energi belum optimal. Dari 40% emisi GRK sektor energi, dari analisis dia, akan naik jadi 62% pada 2030. Sekitar 40%, dari pembangkit listrik dan 32% transportasi.

“Dari 40% terkait pembangkit listrik, 28% berkaitan batubara.”

Dia bilang, rencana pemerintah 10 tahun mendatang menambah PLTU batubara kapasitas 28 GW. Kalau semua pembangkit beroperasi, PLTU punya masa kira-kira 40 tahun, berarti emisi akan terkunci sampai 40 tahun ke depan, bahkan bisa 45-50 tahun.

“Kalau kita membangun infrastruktur fosil fuel hari ini, emisi sampai setengah abad ke depan akan terkunci. Diperkirakan emisi kita pada 2030 dari sektor pembangkit listrik pada kisaran 700-800 juta ton,” kata Fabby.

Fabby bilang, kalau ingin mencapai target Perjanjian Paris, 45% dari total emisi global harus turun pada 2030. Yang terjadi di Indonesia saat ini, pembangunan PLTU batubara masih terus jalan dan mulai aktif beroperasi pada 2025.

Untuk emisi energi, terutama pembangkit listrik, katanya, Indonesia tak bisa hanya mengandalkan menaikkan bauran energi terbarukan.

“Pemerintah ingin menambah bauran energi terbarukan dari yang kira-kira sekarang 7% jadi 23% pada 2025. Itulah kemudian dikejar biofuel masuk ke situ. Sampai hari ini pun perkembangan masih lambat. Bauran energi terbarukan di sistem PLN baru 12%, 88% masih fosil fuel,” katanya.

Sisi lain, untuk mencapai bauran energi terbarukan sampai 23% pada 2025, katanya, bukan perkara mudah. Pemerintah, katanya, kadung membangun banyak PLTU batubara. “Tentu PLTU batubara tak bisa sekadar ditutup. Karena ada konsekuensi ekonomi, dan finansial.”

Kalaupun ada penutupan PLTU berumur 30 tahun, katanya, kontribusi Indonesia dalam kenaikan suhu bumi mencapai tiga derajat celsius dan terus terjadi sampai 2080.

“Jadi target dua derajat tak terpenuhi, yang nett zero emission juga tak akan terpenuhi. Kalau PLTU yang 30 tahun ditutup, ditambah yang sekarang efisiensi dinaikkan, agak lumayan dikit di bawah tiga derajat. Tetapi tetap saja emisi tak bisa nett zero emission. Dua-duanya [tetap] tak tercapai,” katanya.

 

Ilustrasi. Hutan bertutupan akan terancam terdegradsi dan deforestasi kalau tak dilindungi. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

 

Ini caranya…

Fabby bilang, target menahan laju kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat celsius dan nett zero emission baru bisa  kalau pemerintah menghentikan pembangunan PLTU batubara baru setelah 2020.

“Kalau kita buat perhitungan dengan skenario dua derajat, kira-kira pada 2030, harus ada penutupan 7 GW PLTU eksisting,” katanya.

Kalau 1,5 derajat, harus ada penutupan 23 GW PLTU batubara. “Ini konsekuensi.”

Meskipun begitu, katanya, tak bisa perlu melihat sisi lain kala dalam pembangunan ekonomi, masih banyak pemasukan daerah tergantung tambang batubara, seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan.

Untuk itu, katanya, perlu kajian mendalam mendalam dalam konteks strategi pembangunan hijau.“Kita perlu transisi energi. Kita juga harus mengantisipasi dampak ekonomi yang mungkin terjadi,” katanya.

Dia merekomendasikan, setelah 2020 tak membangun PLTU baru. “Kalau nggak, akan ada beban ekonomi yang harus ditanggung oleh negara.”

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, untuk mencapai komitmen iklim, ada enam langkah bijak harus dilakukan pemerintah dan mengintegrasikan dalam rencana pembangunan.

Pertama, mencegah deforestasi, degradasi hutan dan kebakaran hutan dan lahan, melalui penegakan hukum dan partisipasi masyarakat secara inklusif.

Sejauh ini, katanya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, berupaya penegakan hukum tetapi belum maksimal. Di tengah peyegelan perusahaan-perusahaan yang terindikasi sebagai pelaku pembakar hutan, katanya, masih banyak perusahaan lain lolos dari jerat hukum.

Kedua, mempermanenkan perlindungan hutan alam dan lahan gambut melalui aturan perundang-undangan kuat dan terintegrasi dengan rencana tata ruangan wilayah provinsi (RTRWP).

Sebenarnya, kata Teguh, intrumen regulasi perlindungan hutan alam dan lahan gambut sudah keluar, misal, Inpres 5/2019 yang menghentikan pemberian izin di hutan alam dan gambut secara permanen, dan Inpres moratorium sawit yang terbit September 2018.

“Tetapi apakah instrumen regukasi itu cukup kuat berdasarkan hierarki Undang-undang? Ternyata tidak. Ini hanya Inpres. “

Dia bilang, aturan itu minimal peraturan presiden (perpres). Persoalan sekarang, katanya, pemerintah seperti tersandera pada persoalan politik. “Kami berharap di kabinet kedua Pak Jokowi ini, lebih berani melahirkan kebijakan melindungi hutan alam dan lahan gambut,” katanya.

Ketiga, memperluas cakupan wilayah perlindungan hutan alam dan izin baru dalam peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPPIB). Dia bilang, ada hutan alam seluas 8,5 juta hektar di luar PIPPIB dan luar izin-izin serta konsesi. Ia tersebar di 33 provinsi dengan lima terluas di Papua (1 juta hektar), Maluku (883.000 hektar), Nusa Tenggara Timur (862. 000 hektar), Kalimantan Tengah (850.000 hektar), dan Maluku Utara (592.000 hektar).

Baca juga: Kebijakan Setop Izin di Hutan Primer dan Lahan Gambut Bakal Permanen?

“Kalau kita lihat data, ada potensi memperluas 8,5 juta hektar. Ini hutan alam masih bagus banget dan belum ada izin. Hanya perlu dicek lebih lanjut, apakah tumpang tindih dengan wilayah kelola amsyarakat. Kalau tumpang tindih dengan klaim masyarakat, ya tinggal dikukuhkan lewat skema hutan adat atau perhutanan sosial,” katanya, seraya bilang, hutan itu perlu perlindungan secepatnya. Dia kahwatir, tutupan hutan yang rapat itu bisa hancur berganti batubara atau perkebunan sawit. “Kita berlarian dengan waktu.”

Keempat, mengembalikan tutupan hutan alam dalam area izin perkebunan sawit seluas 1,4 juta-3,4 juta hektar dan izin hutan tanaman industri sampai 700.000 hektar.

Teguh bilang, data terakhir dari konsolidasi tutupan sawit Asdep Tiga Kemenko Perekonomian menyebut, ada 1,4 juta hutan alam yang sudah lepad untuk perkebunan sawit, tetapi belum dibuka.

“Hanya pelepasan kawasan, belum ditebang. Menurut kami berdasarkan Inrpes Moratorium Sawit, sangat mungkin tim kerja memberikan rekomendasi kepada KLHK agar gak usah lanjut pembukaan. Kembalikan jadi hutan sesuai fungsi. Soal kompensasi silakan diatur kemudian.”

Kelima, mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan lebih komprehensif dengan mengakselerasi dan memperluas target restorasi gambut pada 2030. Menurut dia, lebih 60% sumber emisi Indonesia berasal dari gambut.

Keenam, mengakselerasi pencapaian target perhutanan sosial dan pendampingan di wilayah perhutanan sosial agar dapat berkontribusi pada pencapaian NDC.

Teguh bilang, peta indikatif perhutanan sosial menunjukan masih ada 6,1 juta hektar hutan alam di alokasi perhutanan sosial. 1,37 juta hektar dalam posisi genting terhadap deforestasi.

“Kalau ini diselamatkan, bisa berkontribusi terhadap penurunan deforestasi sebesar 34,6%”

Studi Madani bersama Yayasan Climate & Society terkait Kontribusi Perhutanan Sosial di tiga wilayah Perhutanan Sosial di KPH Bukit Barisan, Sumatera Barat menemukan, persentase penurunan pembalakan liar di tiga wilayah perhutanan sosial yakni, KTH Putra Amdam Dewi, LPHN Sungai Buluh, dan LPHN Gamaran mencapai 83,68%. Juga terjadi penurunan emisi sebesar 483.941 ton CO2 per tahun.

“Setelah mendapatkan izin perhutanan sosial, masyarakat beralih ke komoditas hasil hutan bukan kayu dan ekowisata. Karena berkontribusi pada penurunan emisi di sektor kehutanan melalui pengurangan deforestasi dan degradasi,” katanya.

Potensi penurunan emisi dari deforestasi pada ketiga perhutanan sosial di KPH Bukit Barisan itu, katanya, bisa mencapai 235.254 tCO2 atau 0,025% dari target NDC. Kalau percepatan implementasi perhutanan sosial pada wilayah berisiko deforestasi sedang sampai tinggi hingga mencegah deforestasi, program perhutanan sosial secara nasional berpotensi berkontribusi 34,6% dari target NDC.

Alya Nurshabrina, Miss Indonesia 2018 mengatakan, sebagai generasi muda, mendukung cita-cita Presiden Joko Widodo memajukan Indonesia melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pertumbuhan ekonomi. Namun, katanya, semua itu harus dalam koridor tak merusak lingkungan dan dapat menjamin keberlangsungan alam.

“Kita sebagai konsumen juga harus mulai peduli mengkonsumsi produk-produk yang berkelanjutan dan tak merusak hutan,” katanya.

 

Sungai utik yang airnya begitu bening dan segar. HUtan komunitas adat ini belum aman dari lirikan investor ekstraktif kalau pemerintah lamban memberikan penguatan lewat penetapan hutan adat. Hutan-hutan kelola masyarakat ini berkontribusi besar dalam menyelamatkan hutan. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Pembangunan rendah karbon dan benahi tata kelola

Sudhiani Pratiwi, Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/ Bappenas mengatakan, mengatasi krisis iklim dan memenuhi komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris, pemerintah telah menyiapkan konsep pembangunan rendah karbon.

Dengan menerapkan pembangunan rendah karbon, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka 6% per tahun pada 2045. Selain itu, juga berkontribusi menurunkan kemiskinan jadi 4,2%, Peningkatan taraf hidup, membuka 15,3 juta lapangan pekerjaan baru dan mengatasi kesenjangan gender.

Dari segi penerimaan negara, katanya, akan ada tambahan produk domestik bruto (PDB) lebih US$5,4 triliun. Dari aspek lingkungan, bisa mencegah 16 juta hektar hutan hilang, mengurangi angka kematian karena polusi 40.000 kematian per tahun, perbaikan kualitas udara dan emisi GRK berkurang hampir 43%.

Ada tujuh fokus poin dalam RPJMN 2020-2024. Pertama, memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan berkualitas. Kedua, mengembangkan wilayah untuk mengurangi kesenjangan. Ketiga, meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Keempat, revolusi mental dan pembangunan kebudayaan. Kelima, memperkuat infrastruktur untuk mendukung pengembangan ekonomi dan pelayanan dasar.

Keenam, membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim. Ketujuh, memperkuat stabilitas politik, hukum dan keamanan serta transformasi pelayanan publik.

Program prioritas dalam pembangunan rendah karbon, katanya, antara lain, membangun energi berkelanjutan dengan pengelolaan energi terbarukan. Juga efisiensi dan konservasi energi, pemulihan lahan berkelanjutan dengan restorasi dan pengelolaan lahan gambut, rehabilitasi hutan dan lahan. “Juga pengurangan laju deforestasi dan peningkatan produktivitas serta efisiensi pertanian.”

Untuk penanganan limbah, antara lain, lewat penanganan sampah rumah tangga dan pengelolaan limbah cair, mengembangkan industri hijau dengan cara konservasi dan audit penggunaan energi pada industri, penerapan modifikasi proses dan teknologi, serta manajemen limbah industri.

“Hal lain yang jadi prioritas, adalah pembangunan rendah karbon di pesisir dan laut. Fokusnya, menginventarisasi dan rehabilitasi ekosistem pesisir dan kelautan,” katanya.

Untuk mencapai pembangunan rendah karbon, katanya, beberapa target sudah ditetapkan. Untuk porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional ditargetkan 13,4% pada 2020 dan pada 2024 sebesar 20%.

Untuk penurunan intensitas energi primer pada 2020 sebesar 1% jadi 1,2% pada 2024. Pemulihan lahan gambut terdegradasi pada 2020 seluas 301.800 hektar, 2024 jadi 1.512.800 hektar. Rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional pada 2020 seluas 300.000 hektar, pada 2024 seluas 1,5 juta hektar.

Kemudian tutupan hutan primer dipertahankan 24 juta hektar. Luas tutupan hutan dengan indeks jasa ekosistem tinggi yang dipertahankan 89 juta hektar.

Untuk jumlah sampah terkelola secara nasional pada 2020 sebanyak 64,9 juta ton, pada 2024 sebanyak 339,4 juta ton. Jumlah rumah tangga terlayani tempat pembuangan akhir (TPA) dengan standar sanitary landfill 475.000 keluarga pada 2020 dan 1.450.000 keluarga pada 2024.

Untuk jumlah standar dan kelembagaan industri hijau pada 2020 ada lima unit, dan pada 2024 jadi 24. Ada juga rencana aksi penanganan limbah B3 di sektor industri.

Lalu, target pemulihan ekosistem mangrove pada 2020 seluas 1.000 hektar, dan pada 2024 seluas 5.000 hektar.

Dia bilang, Bappenas memprioritaskan analisis keterkaitan antar beberapa tujuan sustainable development goals (SDGs) untuk menghasilkan kebijakan perencanaan pembangunan terintegrasi.

Joko Tri Haryanto dari Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan mengatakan, isu krusial dalam penganggaran mitigasi dan adaptasi perubahan iklim adalah soal tata kelola.

“Tata kelola harus dibenerin. Sekarang ini, kita mengarah ke penganggaran berbasis kinerja. Sistem hal paling utama. Tanpa sistem, penganggaran tak akan jalan,” katanya.

Dengan penganggaran berbasis kinerja, katanya, harus mampu menunjukkan keterbukaan. “Ketika sistem ini tidak kita implementasikan dengan baik, pembangunan rendah karbon itu tak bisa jalan,” katanya.

Menurut Joko, hal itu masih jadi pekerjaan rumah ketika berbicara soal perencanaan dengan penganggaran. Sebab, katanya, banyak perencanaan tetapi tak ada anggaran.

“Kita harus perbaiki sistem kriteria. Satuan juga harus dibenerin. Ketika kita bicara penganggaran di pusat maupun daerah, penamaan satuan itu seringkali salah. Penganggaran publik harus disusun indikator agar kita bisa mengukur performance base-nya. Kita juga harus membuka baju ego sektoral. Jangan sampai kita bekerja dengan ego sektoral dan menganggap bahwa sektor lain itu tak penting.”

Padahal, katanya, kapasitas pendanaan publik baik APBN maupun APBD itu tak lebih dari 20%, yang lain bukan dari pemerintah. “Bagaimana cara mengundang non state actor? Tata kelola harus dibenerin,” kata Joko.

Kalau tata kelola sudah bagus, katanya, akan banyak pihak ikut serta membiayai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Dalam APBN sudah menganggarkan untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Dalam APBN 2018, anggaran mitigasi Rp72,2 triliun dan adaptasi Rp49,2 triliun.

“Angka akan terus bertambah.”

Joko mengatakan, masalah klasik dalam penganggaran selama ini, tidak terkoneksi antara perencanaan dan penganggaran hingga seringkali pendanaan tidak optimal.

“Kita masih terjebak pada bahasa rencana aksi. Kemudian, seolah-olah bisa diturunkan jadi bahasa penganggaran. Maka, disusun indikator yang bisa menjembatani antara proses penyusunan aktivitas dalam rencana aksi untuk masuk ke penganggaran.”

Untuk mendukung kebijakan perubahan iklim, katanya, Kementerian Keuangan telah melakukan beberapa hal, seperti menyusun Mitigation Fiscal Framework (MFF) pada 2012, menyusun kajian Low Emission Budget Tagging and Scoring System (LESS) pada 2013. Juga membuat program Sustainable Development Finance (SDF) pada 2014.

Asisten Deputi Pelestarian Lingkungan Hidup Kemenko Perekonomian Dida Gardera mengatakan, pemerintah sudah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Lembaga ini, bertugas mengelola penghimpunan, pemupukan dan penyaluran dana lingkungan hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon. Juga, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lain terkait lingkungan hidup.

Pembentukan BPDLH, katanya, merujuk pada beberapa regulasi seperti Undang undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. Lalu, Peraturan Presiden Nomor 77/2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/2019 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup.

 

 

Keterangan foto utama: Indonesia sulit akan capai target komitmen pengurangan emisi  sebesar 29% pada 2029 kalau mau bangun PLTU batubara terus. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version