Mongabay.co.id

Pantai Wisata Ini Belum Sepenuhnya Bersih dari Tumpahan Batubara

 

 

Tumpahan batubara di Pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, yang terjadi akhir Juli 2018 lalu, belum sepenuhnya dibersihkan.

Zaki Mulia, pemuda asal Kecamatan Lhoknga yang tergabung dalam Lhoknga Surf Team, mengatakan, saat mereka surfing dan menyelam di pantai, masih didapati tumpukan batubara. Pemandangan ini sangat tidak menguntungkan, sebab wisatawan lokal maupun mancanegara komplain dengan kondisi tersebut.

“Kami dari pegiat selancar sudah mengingatkan semua pihak agar tumpahan batubara ditangani serius. Terlebih, akhir November 2019, di pantai Lhoknga dilaksanakan Aceh Surfing Championship 2019. Memang, saat itu batubara dibersihkan, tapi tidak tuntas,” terangnya baru-baru ini.

Zaki menambahkan, Pemerintah Aceh Besar juga sudah beberapa kali meminta PT. Solusi Bangun Andalas menyelesaikan masalah itu. “Namun, kami juga pernah mendengar alasan perusahaan, tumpah adalah tanggung jawab kapal pengangkut,” ungkapnya.

Baca: Tumpahan Batubara Menghitamkan Pantai Wisata Indah Ini 

 

Batubara yang diangkut kapal tongkang sebanyak 7 ribu ton ini berceceran di pantai Lampuuk, Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, akhir Juli 2018 lalu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Abdul Muchti, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten [DPRK] Aceh Besar yang pernah menjadi Ketua Perwakilan Masyarakat Lhoknga-Leupung, saat mempersoalkan keberadaan pabrik semen tersebut di Kecamatan Lhoknga dan Leupung pada 2008 mengatakan, PT. Solusi Bangun Andalas dan perusahaan pemilik tongkang yang terdampar itu harus terbuka kepada masyarakat dan pemerintah. Hingga saat ini, publik tidak tahu jumlah batubara tumpah yang telah diangkut atau dipindahkan.

“Pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap masalah ini,” sebutnya.

Menurut Muchti, Pantai Lhoknga dan Lampuuk yang berada di Kecamatan Lhoknga, merupakan objek wisata andalan Kabupaten Aceh Besar. “Banyak masyarakat yang menggantungkan hidup dari sini.”

 

Tidak hanya terumbu karang yang rusak, biota laut juga menjadi korban akibat tumpahan batubara ini. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Bukti sisa tumpahan batubara dimakan ikan ditunjukkan Muhammad Yulfan, pemuda Kecamatan Lhoknga yang juga pernah bertugas sebagai juru bicara Perwakilan Masyarakat Lhoknga-Leupung. Dia memposting video ikan yang dibedah dan ditemukan butiran hitam yang diduga batubara ke media sosial. Ikan buntal tersebut ditemukan mati oleh masyarakat Lhoknga, di bibir pantai.

“Saat dibedah, ada butiran batubara.”

Yulfan yang bekerja sebagai advokat mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan [DLHK] Aceh harus segera mengatasi masalah ini.

“Pemerintah harus mendesak perusahaan untuk memikirkan dan mencari solusi kerusakan ekosistem laut. Bukan hanya memindahkan batubara dari laut ke darat,” ungkapnya.

 

Tumpahan batubara di Lhoknga, Aceh Besar, Aceh, bukan kali ini saja terjadi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, tumpahnya batubara di pantai Aceh ini bukan kejadian pertama. Pada 2016, batubara juga mengotori Pantai Lhoknga saat hendak dipasok ke perusahaan semen.

“Tidak ada yang diminta pertanggungjawaban. Padahal, UU 32 Tahun 2009 tentang Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Hidup [PPLH] telah mengaturnya. Kami minta, dinas terkait yang menangani masalah ini segera menyiapkan gugatan ke perusahaan dan kontraktornya,” jelasnya.

Manajemen PT. Solusi Bangun Andalas [PT. SBA] dalam pernyataan kepada media mengatakan, tahap pertama penanganan tumpahan batubara di Pantai Lhoknga telah dilakukan. “Pembersihan tahap pertama dilakukan di bibir pantai hingga kedalam dua meter. Pembersihan selanjutnya mulai disosialisasikan 14 November 2019,” terang Communications & Event Specialist PT. SBA, Faraby Azwany.

Faraby menjelaskan, pembersihan batubara itu melibatkan masyarakat dan lembaga adat laut. Selain itu, pada Juni 2019 tim yang terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh, Kementerian LHK, Protection and Indemniti [P&I], PT. Solusi Bangun Andalas, serta komite penanggulangan tumpahan batubara juga telah melakukan survei.

“Bentuk atau cara pembersihan tahap berikutnya juga sudah dievaluasi dan pembersihan akan dilakukan,” ujarnya.

Di penghujung Juli 2018, sebanyak 7 ribu ton batubara yang diangkut kapal tongkang TB Marina berceceran di Pantai Lhoknga setelah dihantam badai. Emas hitam yang diangkut dari Pelembang itu hendak dipasok untuk kebutuhan pembangkit listrik pabrik semen PT. Solusi Bangun Andalas [PT.SBA].

PT. SBA yang sebelumnya bernama PT. Lafarge Cement Indonesia [LCI] merupakan perusahaan yang telah diakuisisi oleh Badan Usaha Milik Negara [BUMN] PT. Semen Indonesia Group [Tbk] dari PT. Holcim Indonesia pada Februari 2019.

 

Tampak dalam tubuh ikan ini ada butiran batubara. Foto: Muhammad Yulfan

 

Moratorium

Terpisah, terkait kondisi tambang di Aceh saat ini, Koordinator Gerakan Anti Korupsi [GeRAK] Aceh, Askhalani menyatakan, Pemerintah Aceh telah mengakhiri 98 Izin Usaha Pertambangan [IUP] eksplorasi dan operasi produksi mineral logam dan batubara.

Keputusan pengakhiran IUP tersebut tertuang dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 540/1436/2018 tertanggal 27 Desember 2018. Pemerintah pusat juga diminta mengikuti langkah ini dengan tidak menerbitkan izin pertambangan di Aceh.

“Moratorium tambang harus diperpanjang, karena masih banyak persoalan sumber daya alam yang belum ditertibkan,” ujarnya.

Askhalani mengatakan, banyak alasan yang bisa dipakai untuk kembali memberlakukan moratorium tambang. Misal, belum ada penyusunan wilayah izin usaha pertambangan [WIUP] dan sinkronisasi Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh.

Potensi kerugian negara akibat tunggakan piutang penerimaan negara bukan pajak [PNBP] juga belum tertagih yang jumlahnya mencapai Rp40 miliar. “Belum lagi sebagian besar areal pertambangan berada di dalam hutan,” jelasnya.

Masalah lain, menurut dia, adalah lemahnya pengawasan reklamasi dan pascatambang. Banyaknya IUP di kawasan hutan lindung harus menjadi tolok ukur memperpanjang jeda tambang ini. “IUP yang sudah clean and clear [CnC] juga, masih menimbulkan permasalahan serta konflik dengan masyarakat yang belum tuntas,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version