Mongabay.co.id

Edhy Prabowo Harus Batalkan Rencana Revisi Pelarangan Cantrang, Kenapa?

Sebuah kapal yang menangkap ikan dengan jaring super trawl (pukat hela). Foto : Greenpeace

 

Sektor kelautan dan perikanan Indonesia akan mengalami kemunduran jika Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mewujudkan rencananya untuk melakukan revisi sejumlah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) yang ada sekarang. Revisi tersebut, dinilai menjadi rencana yang tidak tepat untuk dilakukan.

Di antara Permen KP yang masuk rencana untuk direvisi, adalah Permen KP No.2/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan (API) Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seinen Nets). Rencana tersebut berulang kali diungkapkan oleh Edhy Prabowo di berbagai kesempatan, sejak dia menjabat sebagai Menteri KP menggantikan Susi Pudjiastuti.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mengatakan, jika Edhy Prabowo tidak meninjau ulang rencana yang sudah disebutkan kepada publik itu, maka dia bakal memundurkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpinnya selama lima tahun ke depan.

“Dia akan membawa sektor kelautan dan perikanan Indonesia mundur ke belakang jika aturan pelarangan trawl dan seinen nets direvisi,” ungkapnya, pekan lalu di Jakarta.

baca : Susi : Cantrang Itu, Sekali Tangkap Bisa Buang Banyak Sumber Daya Ikan

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo saat acara serah terima jabatan dengan Susi Pudjiastuti di Kantor KKP di Jakarta, Rabu (23/10/2019). Foto : Ditjen PRL KKP/Mongabay Indonesia

 

Bagi Susan, apa yang diungkapkan Edhy tersebut di hadapan publik sangatlah tidak masuk akal. Dia bahkan mengaku hingga sekarang masih belum menemukan dasar apa yang melandasi pemikiran Edhy Prabowo untuk merevisi Permen KP No.2/2015.

Selama ini, dia menyebut pelarangan API trawl atau yang sering disebut cantrang dan seinen nets sering dikeluhkan oleh pelaku usaha perikanan skala besar dan mereka mendesak pencabutan aturan pelarangan tersebut.

Susan menerangkan, walau masih memicu pro dan kontra di kalangan pelaku usaha perikanan, namun penerapan Permen KP No.2/2015 dinilai sudah tepat dan benar. Karena secara substansi penggunaan trawl akan mengancam keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di perairan Indonesia.

Dalam hitungan jangka panjang pun, penggunaan trawl bersifat negatif. Seperti, terjadinya penangkapan berlebih (overfishing) karena sifat tangkapnya yang menyapu semua yang ada di dasar laut, termasuk hewan-hewan laut yang berukuran kecil.

“Praktik seperti itu menjadi bentuk eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan yang harus dihentikan,” ucapnya.

Penggunaan trawl juga akan memicu terjadinya kehancuran terumbu karang yang secara alami menjadi rumah bagi reproduksi berbagai jenis ikan. Dampaknya ekosistem laut bakal rusak dalam jangka panjang.

baca juga : Kenapa  Alat Tangkap Cantrang Masuk Kelompok Dilarang di Indonesia?

 

Ilustrasi. Kapal yang menggunakan pukat hela (trawl) untuk menangkap ikan. Foto : youtube

 

Dampak Buruk

Berikutnya, praktik penggunaan trawl akan menghancurkan kehidupan dasar laut, karena alat tersebut menggunakan pemberat yang akan bekerja sampai ke dasar laut dan menghancurkan kehidupan hewan kecil dan bertubuh lunak seperti cacing, lobster, dan sebagainya.

Dampak buruk lainnya adalah munculnya ketidakadilan akses terhadap sumber daya kelautan dan perikanan. Karena disapu habis oleh pengguna trawl tanpa bisa dimanfaatkan oleh nelayan kecil dan pihak lainnya.

“Penggunaan trawl jelas melanggar prinsip keadilan, nelayan-nelayan skala kecil akan kesulitan menangkap ikan,” tegasnya.

Menurut Susan, hal-hal yang berakibat buruk seperti di atas seharusnya bisa dipahami oleh Edhy Prabowo yang saat ini berperan sebagai ‘orang tua’ sekaligus pelindung bagi masyarakat pesisir dan juga nelayan skala kecil di seluruh Indonesia. Bukan justru sebaliknya, Edhy berencana merevisi Permen KP 2/2015 yang berisi larangan penggunaan trawl.

Dengan kata lain, Susan sangat berharap, Edhy Prabowo tak cuma membatalkan rencana revisi Permen KP No.2/2015 dan sebaliknya, justru memastikan aturan tersebut bisa berlaku dan dipatuhi oleh semua orang. Kemudian, di saat yang sama juga dia bisa menyiapkan skema peralihan alat tangkap dari yang dilarang ke yang ramah lingkungan dengan benar.

“Terpenting mempertimbangkan disparitas geografis dan tidak lagi mengulang kesalahan sebelumnya,” ungkapnya.

perlu dibaca : Polemik Cantrang dan Solusi yang Lebih Gamblang

 

Ilustrasi. Sebuah kapal penangkap ikan dengan jaring pukat hela (trawl). Foto : awionline.org

 

Menurut Susan, penggantian alat tangkap tersebut harus menyesuaikan dengan kebutuhan nelayan dan bukan sebaliknya. Selain itu, harus juga diperhatikan kondisi perairan di Indonesia yang berbeda antara satu kawasan pesisir dengan pesisir yang lainnya.

Dengan kata lain, KKP harus memperhatikan kondisi nelayan dan disparitas geografis sebagai pertimbangan utama dalam penggantian alat tangkap. Langkah tersebut, masih belum dilakukan semasa jabatan Menteri KP dipegang oleh Susi Pudjiastuti.

“Tugas Menteri KP yang baru adalah menyelesaikan skema penggantian alat tangkap dengan mempertimbangkan kepentingan nelayan dan disparitas geografis,” pungkasnya.

Salah satu kawasan pesisir yang banyak ditemukan penggunaan trawl sebagai API pada kapal ikan, adalah Kabupaten Lamongan di Provinsi Jawa Timur. Di sana, diperkirakan masih ada sekitar 500 kapal ikan berukuran di bawah 5 gros ton (GT) yang menggunakan trawl sebagai alat menangkap ikan.

 

Nelayan Kecil

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengatakan, penggunaan trawl di pesisir Lamongan sering mengganggu aktivitas nelayan skala kecil yang biasa menangkap kepiting rajungan.

“Potensi konflik antara nelayan trawl dan rajungan sangat besar, sebab alat tangkap mereka sering terkena pukat trawl,” kata Abdi pekan lalu.

Peneliti DFW Indonesia Laode Gunawan Giu menambahkan, selain masih banyak kapal ikan yang masih menggunakan trawl sebagai alat penangkapan ikan, hingga sekarang Pemerintah Indonesia juga masih belum bersikap tegas pada aktivitas penggunaan cantrang yang ada di Jatim. Padahal, di Lamongan saja sedikitnya ada 900 kapal ikan berukuran di bawah 30 GT yang mengoperasikan cantrang secara ilegal.

Menurut dia, masih banyaknya kapal ikan yang mengoperasikan cantrang atau trawl, menunjukkan kalau Pemerintah dan aparat penegak hukumnya, baik di pusat maupun di daerah, masih belum mengambil sikap akhir yang tegas dalam melaksanakan regulasi ada.

“Pelarangan trawl dan cantrang akhirnya menjadi tidak jelas, sebab di lapangan penggunaannya masih tetap ada,” ujar Gunawan.

menarik dibaca : Kebijakan Pelarangan Cantrang Seharusnya Tidak Ada, Kok Bisa?

 

Istri nelayan membersihkan ikan awu-awu, ikan khas perairan Desa Pancana, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Hasil tangkapan ikan itu mulai berkurang sejak 2003 seiring tingginya aktivitas penggunaan alat tangkap ikan trawl dan cantrang. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Dengan fakta tersebut, dia menilai bahwa saat ini kawasan pesisir seperti di Lamongan, memerlukan upaya pendekatan dan penyadaran yang dilakukan oleh Pemerintah dan pihak terkait lain kepada nelayan yang menggunakan cantrang atau trawl sebagai alat tangkap kapal ikan mereka.

Di saat yang sama, nelayan juga mulai diarahkan untuk beralih dari alat tangkap terlarang ke yang ramah lingkungan serta beralih lokasi tangkap ke titik yang lain. Dengan demikian, kegiatan penangkapan ikan di kawasan tersebut bisa tetap produktif namun bisa tetap terjaga kelestarian sumber daya lautnya.

Selain di Lamongan, Gunawan menyebut kalau penggunaan alat tangkap terlarang seperti trawl sampai sekarang masih ada di daerah lain di Indonesia. Sebut saja, di kawasan pesisir Bengkulu, Sumatera Utara, dan Mempawah, Kalimantan Barat.

Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kab Lamongan Anis Wijaya menyebut kalau Pemerintah Indonesia harus bertindak tegas dalam melaksanakan regulasi pelarangan API tidak ramah lingkungan. Dengan penerapan Permen KP 2/2015, maka Pemerintah sedang berupaya melindungi sumber daya laut yang makin menipis di sekitar wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 712.

 

Exit mobile version