Mongabay.co.id

Ketika Hidup Pemilik Ulayat di Papua Makin Sulit

Seorang pria dan anak Suku Auyu di Boven Digoel, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

 

 

 

Beberapa perwakilan adat dari Papua, awal November lalu datang ke Jakarta, dan bercerita apa yang dialami di tanah kelahiran mereka. Kehidupan orang Papua, kini makin sulit kala hutan tempat bergantung hidup, harus hilang seiring kehadiran perusahaan-perusahaan skala besar, baik perkebunan sawit, hutan tanaman industri dan lain-lain.

Catatan Yayasan Pusaka, sepanjang 1997-2017, hutan adat di Papua, seluas 1.580.847 hektar beralih kepemilikan kepada 62 perusahaan.

Pengalihan kontrol dan hak atas tanah maupun hutan adat ini berlangsung secara struktural melalui kebijakan dan pemberian izin melibatkan pemerintah, maupun secara horizontal melalui mekanisme negosiasi disertai pemberian kompensasi.

Baca juga: Rumah Burung Endemik Papua di Nimbokrang Terancam Ekspansi Sawit

Albert Tenggare, perwakilan Suku Wambon Tekamerop dalam testimoni malam itu mengatakan, bagi masyarakat adat, tanah itu mamak. Menjaga tanah, berarti menjaga ibu.

“Tanah punya nilai budaya, punya sejarah perjalanan leluhur. Juga tempat ritual dalam adat istiadat kami. Maka kami pertahankan. Tak mau kasih ke perusahaan. Kami cinta alam,” katanya.

Masyarakat Suku Wambon Takemerop, berkonflik dengan PT Tunas Sawaerma (TSE), anak perusahaan Korindo Group. Perusahaan ini mendapatkan izin lokasi melalui SK 525.26 tahun 2012, tertanggal 31 Agustus 2012. Izin usaha perkebunan SK Kepala BPTPM Papua No.04/2015.

Kemudian, izin lingkungan SK050 tertanggal 23 Juni 2015, dan SK pelepasan kawasan hutan Nomor 844, tertanggal 29 September 2014. Ia berada di Kali Kao, Kabupaten Boven Digoel. Dengan pelepasan kawasan hutan tahun 2014, TSE sudah menguasai izin atas 53.271 hektar lahan, lebih dari batas maksimal 40.000 hektar untuk satu perusahaan di Papua atau Papua Barat.

Albert bilang, ada juga hutan primer dan gambut di TSE, namun sebagian kecil konsesi. Dahulu, sebagian TSE, merupakan areal konsesi pembalakan kayu PT Bade Makmur Orissa, milik Korindo.

Baca juga: Kesepakatan Rahasia Hancurkan Hutan Papua, Berikut Foto dan Videonya

Dalam Lokakarya Penentuan Prioritas Konservasi Keragaman Hayati gawe Conservation International di Biak 7-12 Januari 1997, areal dua konsesi ini masuk kawasan prioritas konservasi mamalia, reptil dan amphibian, berdasarkan kekayaan spesies dan endemisitas.

Sebagian besar, katanya, kawasan di Boven Digoel dan Merauke, bagian utara, sedang terancam perkebunan sawit dan pembalakan kayu.

Mereka khawatir, tempat hidup hilang. “Kami sudah tak ada tempat lagi. Susah dapat air bersih. Tak bisa berburu lagi. Kami mau makan apa? Hutan dan tanah habis.”

Dia berharap, pemerintah betul-betul memperhatikan nasib mereka dengan mengembalikan hutan hancur dan menjamin tanah ulayat terjaga.

Elisabeth Ndiwaen, perempuan adat Suku Marind juga menyampaikan hal serupa. Hutan sebagai sumber penghidupan mereka kini rusak parah.

Masyarakat adat suku Marind, berkonflik dengan Gama Group. Gama Group menguasai lahan perkebunan sawit seluas 199.690 hektar, tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi Barat dan Papua.

Pada Januari 2010, Bupati Merauke menerbitkan SK Bupati Merauke tentang Izin Lokasi PT. Agrinusa Persada Mulia (APM) seluas 40.000 hektar di Distrik Muting dan Ulilin. Pada Februari 2010, Bupati Merauke terbitkan lagi SK Nomor 42/2010, tentang izin lokasi PT. Agriprima Cipta Persada (ACP), seluas 34.869 hektar, di Distrik Muting dan Ulilin. Kedua perusahaan merupakan anak usaha Gama Group.

Sebagian besar areal usaha perkebunan sawit Gama Group ini di atas tanah adat Suku Marind, Marga Mahuze Besar, di Muting dan Suku Yeinan, di Kampung Bupul. Diperkirakan, sekitar 10.227 hektar lahan HGU kedua perusahaan di tanah adat Mahuze Besar.

Sejak Februari 2013-2017, ACP dan APM masih membuka hutan adat Marga Mahuze Besar. Beberapa tempat suci Marga Mahuze, seperti  Mugumit,  dan Semenkau, terancam tergusur.

Perusahaan telah menggusur tanah Mugumit dan tertahan karena warga Marga Mahuze aksi pemalangan. Mereka berusaha menghentikan rencana perusahaan menggusur tempat suci itu. Perusahaan juga menggusur hutan dan dusun sagu milik Marga Basik-basik, yang belum pernah lepas kepada perusahaan.

“Kehidupan masyarakat di kampung prihatin. Tak bisa lagi masuk ke hutan. Mau bikin apa? Kerja di sawit tak bisa. Untuk makan dan minum susah,” katanya.

Dia meminta perusahaan menghentikan operasi. Kalau tidak, kehidupan warga sekitar akan makin sulit.

Franky Woro, perwakilan masyarakat adat Suku Awyu di Boven Digoel mengatakan, sebelum investor masif datang, warga hidup dengan rukun dan damai. Sejak investasi perkebunan sawit mulai masuk pada 2012, semua berubah drastis.

“Mereka menangkap ketua-ketua marga atau orangtua kami yang tak bisa baca tulis. Mereka memanupulasi data mengatasnamakan marga-marga tetangga lain untuk mengurus izin,” katanya.

Saat sosialsisai, mereka masuk dengan cara kekerasan atau intimidasi dan gertak warga didampingi tentara agar menandatangani surat persetujuan. “Karena dipaksa dengan kekerasan, banyak menyerah dan menandatangani. Ada juga yang tidak.”

Perusahaan bikin janji kepada warga seperti ada rumah rakyat, gaji per bulan, biaya hidup, pendidikan dan lain-lain. Sayangya, semua itu hanya janji.

Elisabet Yulanda Ariks, perwakilan masyarakat adat Suku Mpur, Tambrauw mengatakan, kehidupan warga sangat bergantung hutan. Masyarakat menganggap hutan sebagai mamak yang menyusui dan menafkahi anak cucu.

“Kalau mamak ini sudah dibunuh, kami anak cucu akan mati.”

Sebelumnya, mereka memiliki kekayaan melimpah dari hutan, bisa makan, dan minum. “Mau makan ikan tinggal ke kali. Mau daging, tinggal berburu. Kalau sakit, ada obat-obatan tradisional di hutan. Hutan juga bahan baku keterampilan noken, tikar dan busur. Setelah perusahaan hadir, kami masyarakat Suku Mpur tersisih,” katanya.

Masyarakat adat Mpur hidup di lima kampung sekitar kawasan hutan dan tanah datar di Lembah Kebar, yakni, Janderau, Inam, Arumi, Ibuanari dan Wasanggon. Mereka sedang menghadapi permasalahan dengan perusahaan pertanian jagung, yang menggusur dan membongkar hutan, dusun dan kebun masyarakat.

Mereka berkonflik dengan PT Bintuni Agro Prima Perkasa (BAPP), anak perusahaan Salim Group. Pada 25 Mei 2007, BAPP mendapatkan Izin lokasi dari Bupati Manokwari dengan areal seluas 23.000 hektar di Distrik Amberbaken dan Distrik Kebar.

Pada 28 September 2015, Bupati Tambrauw juga menerbitkan izin kepada BAPP seluas 19.368,77 hektar di Distrik Kebar dan Distrik Senopi, buat jagung, kedelai, kacang tanah dan ubi kayu.

Sepanjang 2016-Agustus 2018, BAPP mulai masuk ke padang savana (niku) dan kawasan hutan, dusun sagu dan kebun milik warga, dari daerah Janderau, Bakram, Inam, Yereup, Arumi dan sekitar.

Kawasan-kawasan itu merupakan hutan, dusun dan kebun warga serta habitat rumput kebar, kangguru pohon, burung pintar dan lebah khas hidup di Lembah Kebar.

 

Alex Waisimon saat berusaha melihat batas area yang sudah dibuka. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Masukan

Ahmad Suaedy, dari Ombudsman mengatakan, orang Papua mempunyai tradisi, adat dan hubungan kuat dengan tanah dan hutan.

Yang terjadi di Papua, katanya, menunjukan ketidakadilan. Dia khawatir dalam menyelesaikan persoalan Papua, pemerintah cenderung pendekatan keamanan daripada pendekatan kultural dan persuasif.

Senada dikatakan Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM. Masyarakat adat, katanya, mempunyai keterikatan kuat dengan tanah dan hutan. Tanah dianggap sebagai ibu atau mamak, bukan hanya merefleksikan relasi antara yang tinggal di tanah dengan segala kekayaan, juga menyangkut harga diri dan martabat.

“Kalau ada yang menyangkut harga diri soal tanah, sampai mati pun mereka akan pertahankan. Sebegitu berharganya. Bukan hanya soal hidup, juga bagaimana ke depan,” katanya.

Komnas HAM setiap tahun menerima pengaduan sebanyak 7.000-7.500 kasus agraria. Konflik dengan perusahaan memempati posisi kedua terbanyak.

“Ini merefleksiakan situasi di Indonesia. Kita melihat saat ini penjajahan oleh perusahaan swasta makin masuk dalam kehidupan sehari-hari. Di Papua, pelanggaran HAM berlapis. Tak hanya soal hak ekonomi, juga hak sosial, lingkungan sehat, tempat bermain anak-anak terampas oleh swasta yang masif merampas hutan. Padahal bagi masyarakat Papua, hutan merupakan sumber penghidupan.”

Dia juga menyoroti soal kebebasan menyatakan pendapat di Papua yang makin menyempit.

Komnas HAM, katanya, sedang mengumpulkan informasi dan merumuskan strategi memperjuangkan hak masyarakat adat di Papua.

Peneliti LIPI sekaligus Koordinator Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth mengatakan, selama ini masyarakat luas hanya mengetahui persoalan Papua dari luar tanpa memahami nilai-nilai adat istiadat dan filosofi yang dipegang teguh orang Papua.

“Soal investasi, beda sekali kepentingan investor dengan kepentingan masyarakat adat Papua. Investor tak tahu kepentingan masyarakat adat hingga proses penyelesaian konflik sulit.”

Permasalahan saat ini, investor maupun pemerintah seolah menganggap tanah Papua sebegitu luas dan tak berpenghuni, padahal merupakan tanah ulayat.

“Ini yang membuat sering benturan.”

Apalagi, katanya, dengan banyak pembangunan infrastruktur membuat Papua makin terbuka, dan makin banyak pendatang berinvestasi. Soal nilai-nilai adat orang Papua, katanya, juga tak dipahami dan dihormati dengan benar. “Maka benturan akan terus terjadi.”

Untuk itu, perlu ada pembicaraan serius dari pemerintah guna mengatasi persoalan ini hingga bisa meminimalisir konflik.

“Jujur, sampai hari ini saya merasa belum banyak yang melakukan hal ini. Terutama berbicara dari para pelaku bisnis. Kami mencoba mengundang para pelaku bisnis membahas persoalan Papua, tapi tak banyak yang tertarik.”

Dia bilang, LIPI melakukan beberapa pertemuan informal dengan pelaku bisnis, tetapi sulit. “Saya tak mau menjanjikan apapun. Ini persoalan serius. Malihat Papua, jangan hanya dari soal kesenian dan lagu. Juga harus memahami filosofi kehidupan mereka.”

Puri Kencana Putri, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia mengatakan, isu Papua merupakan isu internasional. Dia berharap, dengan posisi pemerintah mulai awal tahun depan jadi anggota Dewan HAM PBB, bisa menyelesaikan persoalan ini.

Pemerintah Indonesia dan legislatif, katanya, seharusnya bisa menjalankan komitmen. “Harus ada prioritas agenda kerja, tak hanya terlihat fisik seperti pembangunan infrastruktur juga isu-isu yang menjadi fokus perhatian orang Papua. Bagaimana ruang kepemilikan, aspirasi terwadahi dan terwakili.”

Dia bilang, sensibilitas presiden dalam harus ditunjukan dengan konsisten. “Tidak cukup hanya mendengar pimpinan-pimpinan elit lokal.”

 

Mengadu ke kerbagai kementerian

Selama berada di Jakarta, berturut-turut, beberapa perwakilan masyarakat adat Papua juga mendatangi berbagai Kementerian dan lembaga, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ATR/BPN, DPR, DPD, Ombudsman, Komnas HAM, Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) dan Kedutaan besar beberapa negara.

Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka mengatakan, warga menyuarakan aspirasi mereka sekaligus mendesak pemerintah segera melindungi hak-hak masyarakat adat Papua.

“Sejak awal 2000-an, kebanyakan mereka yang jauh dari kota mengalami tekanan. Didatangi orang-orang yang sebelumnya tak mereka kenal, berseragam militer dan hilir mudik di kampung-kampung.”

Kini tanah dan hutan mereka hilang. Ratusan ribu hektar gundul dan jadi kebun sawit.

Kedatangan warga, katanya, guna mengetuk komitmen pengambil kebijakan serius menangani persoalan masyarakat adat Papua yang selama ini diperlakukan tidak adil.

“Dengan mengunjungi kantor-kantor pemerintahan, kami menyuarakan apa yang dialami dan diminta oleh mereka.”

Dalam kunjungan ke KLHK, kata Franky, mereka menyampaikan aspirasi terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat Papua atas tanah dan hutan adat.

“Kami meminta pemerintah menghentikan izin-izin perkebunan sawit, tambang dalam kawasan hutan.”

Dalam pertemuan dengan komisi IV DPR, dijanjikan ada pertemuan khusus di Papua. Dalam pertemuan itu, katanya, akan menghadirkan pemerintah daerah, perusahaan dan masyarakat. DPD juga bilang punya berkomitmen memperjuangkan hak masyarakat adat Papua.

Komnas HAM dan Ombudsman juga memiliki komitmen sama. Franky bilang, mereka akan mendesak pemerintah menuntaskan persoalan di Papua. Di KPK, mereka menyampaikan isu-isu dugaan korupsi tata kelola perkebunan dan kehutanan.

 

Keterangan foto utama:  Seorang pria dan anak Suku Auyu di Boven Digoel, 2017. Foto oleh Nanang Sujana

 

Exit mobile version