Mongabay.co.id

100% RE Bisa Dorong Daerah Kembangkan Energi Terbarukan

Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

 

 

 

 

Indonesia masih berhadapan dengan pemerataan energi. Lebih 5,2 juta orang masih belum punya akses listrik layak, terutama di bagian timur Indonesia. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) persentase akses listrik hanya 88,52% dan 61.01%.

“Ketergantungan pasokan energi dari minyak bumi dan batubara perlu jadi perhatian tersendiri dari sisi lingkungan hidup dan kedaulatan energi,” kata Bima Fitriandana, Project Officer 100% Renewable Energy, program yang mendorong pemerintah daerah mengembangkan energi terbarukan dan efisiensi energi, yang digagas Yayasan ICLEI-Indonesia.

Baca juga: Bruce Buchheit: Energi Terbarukan Lebih Murah dari Sumber Fosil

Progam 100% Renewable Energy, rilis awal Oktober ini didesain mempercepat proses transisi energi dengan penyusunan rencana aksi energi terbarukan daerah yang inklusif. Caranya, dengan peningkatan kesadaran lingkungan dan energi serta peningkatan kapasitas pemerintah daerah, terutama terkait pembiayaan program.

Untuk mengimplentasikan target SDGs nomor 7 dan 13 tentang keterjangkauan energi bersih dan aksi untuk iklim, kata Bima, perlu transformasi sistem energi yang jadikan energi terbarukan pilihan di semua sektor.

Proyek yang disebut IKI 100% RE Project ini bertujuan mendukung daerah-daerah mengembangkan dan menerapkan aksi lokal untuk iklim yang efektif dengan mengembangkan sebuah rencana menuju 100% RE.

Program ini juga akan membantu meningkatkan kapasitas lokal dalam pengembangan energi terbarukan yang bisa berkontribusi bagi target penurunan emisi nasional. Juga, mendukung pencapaian kebijakan termasuk soal ketahanan energi, dan peningkatan energi efisien serta menciptakan lapangan kerja.

Sejak 2008, kata Bima, the International Climate Initiatives (IKI) di bawah Kementerian Lingkungan, Konservasi Alam dan Pengamanan Nuklir Jerman membiayai banyak proyek terkait iklim dan biodiversitas di negara-negara berkembang. Juga negara industri baru, selain negara yang sedang transisi.

Pembiayaan ini, fokus pada isu mitigasi, adaptasi, deforestasi dan degradasi hutan serta keragaman biologi.

Tahun lalu, IKI memilih proyek “Towards 100% renewables cities and regions” dipimpin ICLEI pusat, bekerja sama dengan Sekretariat ICLEI di Afrika, Amerika Latin dan Asia Tenggara.

Proyek ini, mulai pada 2019 dan selesai pada 2023. Inti proyek ini, mendukung transisi energi berkelanjutan. Ia akan membiayai pemerintah terpilih di Argentina, Indonesia, dan Kenya, untuk mengembangkan strategi dan rencana aksi 100% RE berbasis komunitas.

“Untuk itu, perlu ditingkatkan kesadaran dan hubungan antara pemangku kepentingan di daerah agar bisa mengakses potensi energi terbarukan di daerahnya.”

Selain itu, juga fokus mengembangkan proyek lokal yang bisa dibiayai bank. Fokus lain, dialog kebijakan multi level pemerintah, menguatkan kapasitas pemangku kepentingan lewat workshop, dan mengembangkan ke tingkat lebih besar.

Dengan proyek ini, kata Bima, baik pemda maupun pemerintah pusat akan mendapat manfaat baik ekonomi dan sosial. Secara ekonomi, proyek ini akan meningkatkan kesempatan pertumbuhan ekonomi dengan membangun perusahaan pelayanan energi atau bisnis model lain. Ia juga akan menstimulasi teknologi baru dan memberikan peluang bagi masyarakat di daerah untuk menjangkau energi bersih dan andal serta menghasilkan pendapatan dari penjualan energi di daerah.

Proyek ini juga akan menurunkan impor energi. Dari sisi sosial, kata Bima, praktis pendapatan akan meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketergantung pada energi fosil.

Dampak sosial lain, yakni, pengurangan polusi udara dan bahaya kesehatan lain karena menggunakan energi bersih. Terpenting, katanya, aksi ini ikut melindungi hutan dan pohon dengan pengurangan deforestasi.

Secara tak langsung program ini juga akan membantu mendongkrak tata kelola pemerintahan yang baik.

 

Energi terbarukan, salah satu sumber angin, begitu besar di Indonesia, tetapi masih minim dimanfaatkan. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Tantangan energi terbarukan

Budi Mulyono, Senior Manager Divisi Energi Terbarukan PLN mengatakan, kriteria utama pengembangan pembangkit listrik tenaga terbarukan dan variabelnya harus memenuhi beberapa syarat. Antara lain, prakiraan cuaca, antisipasi intermitten, sumber daya inersia, memuat minimum teknis dan fitur inverter yang bisa mengkonversi daya.

“Perlu integrasi sensor cuaca dan perkiraan variabel pembangkit listrik dengan pusat kendali. Harus dipasang automatic generation control untuk operasional pembangkit listrik dengan kecepatan tinggi dan pemasangan sistem penyimpanan energi baterai,” kata Budi.

Berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2019-2028, juga dimandatkan mempertahankan pembangkit listrik konvensional yang memiliki putaran untuk memanfaatkan energi inersianya.

Mengingat komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim, sesuai dengan UU No 16/2016 tentang rafitikasi Kesepakatan Paris, Indonesia harus mengurangi emisi gas rumah kaca 29% atau 41% dukungan internasional.

Tiga rencana aksi sektor energi, yakni, pengalihan subsidi BBM untuk kegiatan produktif dan infrastruktur, target 23% bauran energi primer terbarukan pada 2025 dan pengelolaan sampah untuk energi listrik dan meningkatkan kualitas lingkungan.

“Penurunan emisi gas rumah kaca pada 2018 baru mencapai 43,8 juta ton CO2,” kata Budi.

Ada lima sub sektor yang diembankan tugas memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca yakni energi terbarukan, efisiensi energi, pembangkit energi bersih, fuel switching dan reklamasi pasca tambang.

Energi terbarukan menjadi sektor dengan target paling tinggi yakni 108,69 juta ton CO2e dan 170,41 juta ton CO23.

Peluang pengembangan energi terbarukan, katanya, sangat besar di Indonesia. Dengan begitu, rasio elektrifikasi di daerah timur Indonesia masih bisa ditingkatkan dengan energi terbarukan.

“Harga solar panel dan teknologi juga makin kompetitif ke depan. Pembangunan PLTS dan baterai skala kecil cocok untuk daerah kepulauan karena punya potensi menggantikan PLTD,” kata Budi.

Feedstock untuk biomass atau biogas juga masih melimpah di beberapa daerah. Sumber biomass cenderung tersebar, hingga memungkinkan pengembangan PLTBm merata. Limbah perkebunan juga bisa bermanfaat sebagai bahan bakar PLTBm dan bisa mengurangi menumpuknya sampah.

Peluang lain, katanya, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati, proyek hidro makin efisien hingga tarif di sekitar BPP dapat diterima. Potensi pengembangan smart grid dan distributed generation di daerah terpencil atau kepulauan juga besar. Ada juga potensi penambahan pelanggan potensial terutama industri wisata dengan penggunaan tarif khusus yang memakai energi terbarukan.

Namun, kata Budi, masih saja pengembangan energi terbarukan memiliki sejumlah tantangan dan hambatan.

Beberapa pembangkit terbarukan bersifat intermitten. Kemampuan jaringan PLN menerima pembangkit variabel menyebabkan kenaikan biaya investasi dari sisi pengembang dan PLN. Kondisi ini, katanya, mempengaruhi dampak ekonomi terhadap kelayanan pembangkit variabel.

Tantangan lain, masih perlu sosialisasi dan edukasi sistematis serta berkesinambungan untuk meminimalisasi resistensi masyarakat terhadap proyek pembangkit energi terbarukan. Pengembangan PLTS juga terhambat Permen PUPR No 27/2015 tentang bendungan yang menyatakan, pemanfaatan ruang pada daerah waduk hanya dapat untuk kegiatan pariwisata, olahraga, atau budidaya perikanan.

“Hingga pemanfaatan waduk atau bendungan untuk pengembangan energi khusus PLTS belum dapat dilakukan.”

Rendahnya ketertarikan perbankan dalam negeri untuk energi terbarukan karena risiko tinggi juga jadi tantangan tersendiri. Aset jaminan pengembang berupa pembangkit listrik dinilai tak sebanding dengan nilai pinjaman yang diberikan.

Sumber pembiayaan dalam negeri saat ini masih menawarkan pinjaman bunga tinggi dan tenor singkat.

Sedang pengembang pembangkit terbarukan mengeluarkan biaya untuk memperoleh lahan. Dalam pembebasan lahan, katanya, selama ini pengembang terkendala dalam tawar menawar harga dengan pemilik lahan.

Beberapa sistem kelistrikan PLN juga sulit menerima energi terbarukan karena alasan over supply hingga berdampak terhadap konsekuensi potensi denda take or pay kepada PLN dari pembangkit yang ada.

Beberapa daerah punya pelanggan relatif kecil, hingga kapasitas instal pembangkit kecil. Pengembangan pembangkit energi terbarukan intermitten seperti PLTS dan PLTB hanya mendapat porsi atau kuota megawatt kecil hingga tak dapat mencapai nilai keekonomian.

Di samping itu, rata-rata tarif listrik pengembangan pembangkit PLTP diatas BPP setempat. Biaya eksplorasi PLTP terutama untuk pengeboran cukup besar dengan rasio kesuksesan kecil.

Skema boot build operate own transfer (BOOT) berdasarkan Permen ESDM No 50/2017 untuk pembangkit energi terbarukan mekanisme belum jelas.

“Banyak proposal dari pengembang untuk pembangkit terbarukan skala kecil, di bawah 10 megawatt, namun masih perlu konfirmasi dan kajian karena ada program listrik perdesaan dari PLN,” katanya.

Beberapa pengembangan pembangkit terbarukan juga berada di kawasan konservasi atau kawasan dengan keragaman hayati tinggi hingga bisa jadi sorotan internasional.

 

Gardu instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan solar panel di Pulau Matutuang Kec. P. Maroro, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara sebagai penyedia listrik kepada masyarakat di pulau tersebut. Pulau Matutuang merupakan salah satu pulau program PLTS di 25 pulau-pulau kecil/terluar berpenduduk dari Ditjen. Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) KKP dan Ditjen. Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) KESDM. Foto : Agustinus Wijayanto

 

Untuk itu, katanya, perlu kolaborasi dan koordinasi baik dan transparan serta ada peraturan khusus terkait perizinan dalam mendukung pengembangan energi terbarukan.

Proses perizinan di daerah masih menyulitkan untuk pengembangan energi terbarukan dan pembebasan lahan dari Perhutani juga sulit.

Khusus pemanfaatan air dan energi air di suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya maupun taman wisata alam termasuk kawasan hutan, katanya, perlu izin atau perjanjian kerja sama cukup kompleks dari segi persyaratan. Kondisi ini, sesuai Permen LHK No P 18/2019.

Belum lagi pembebasan lahan di alokasi penggunaan lain (APL) dan kawasan hutan. “Terkadang kendala karena hukum adat masing-masing wilayah berbeda hingga tidak diatur dalam peraturan pemerintah. Izin survei dengan bahan peledak untuk PLTA yang mengggunakan tunnel dari polisi juga rumit.”

 

Lantas apa strategi PLN?

PLN mendorong strategi pengembangan pembangkit energi terbarukan dengan pengembangan pembangkit terbarukan yang punya potensi besar seperti PLTP, PLTA, PLTBm, PLTBg dan PLTS. Pengembangan sistem hybrid jadi prioritas untuk daerah yang sudah dipasok PLTD.

Untuk penetrasi energi terbarukan, katanya, dengan pengembangan smart grid dan sistem pengawasan. Untuk pemakaian biofuel, katanya, buat PLTD yang sudah ada.

PLT arus laut dan PLTB khusus di Indonesia timur, juga terus dikaji, selain mendorong pemanfaatan pengembangan PLTS atap.

Dukungan pemerintah terkait pendanaan, kata Budi, berupa insentif dan payung hukum RUU Energi Terbarukan yang masih dibahas.

Percepatan progres Sumba Iconic Island dengan regulasi khusus terkait tarif keekonomian di Sumba juga dibarengi penambahan subsidi pemerintah.

PLTBm Bondo Hula, segera beroperasi dan sudah serah terima kepada Pemerintah Sumba Barat dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, berkapasias satu megawatt. Pembangkit ini, katanya, bisa menggantikan atau mengurangi konsumsi fuel di PLTD serta menambah daya pada sistem kelistrikan Sumba Barat.

Untuk izin, PLN bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk perizinan dan penggunaan lahan di kawasan konservasi, terutama bagi PLTA atau PLTPB.

“Bekerja sama dengan aparatur daerah terkait pembebasan lahan di masing-masing daerah dan dengan polisi terkait kemudahan perizinan gunakan peledakan untuk pengembangan PLTA.”

Mustaba Ari Suryoko, Kasubdit Pelayanan dan Pengawasan Usaha KESDM mengatakan, hingga September 2019, terdapat 1.435 PLTS atap terpasang. Ada lebih 800 pelanggan pasang baru sejak peraturan rilis Desember 2018.

Dari sisi regulasi, katanya, pemerintah memberi fasilitas insetif fiskal di bidang energi terbarukan dengan tax allowance, fasilitas bea masuk dan tax holiday.

Ada sembilan pengembang energi terbarukan, hidro dan bayu dengan kapasitas 148, 19 megawatt yang dapat pengurangan pajak penghasilan bersih selama enam tahun, 5% setiap tahun. PP No 18/2015 jo No 9/2016, Peraturan BKPM No 6/2018, serta Permen ESDM No 1/2015 mengatur pengurangan pajak 30% dari nilai investasi dengan sarat tertentu.

Bea masuk mesin dan peralatan dibebaskan selama dua tahun untuk bahan bakunda tambahan dua tahun kalau perusahaan menggunakan mesin dan peralatan produksi lokal minimal 30%.

Tax holiday, katanya, sesuai Peraturan Menteri Keuangan No 35/2018 dan Peraturan BKPM No 1/2019, dapat fasilitas keringanan pajak 5-20 tahun dengan minimal investasi Rp500 miliar dan pengurangan pajak penghasilan maksimal hingga 50%.

“Sudah ada dua IPP hidro dengan total kapasitas 531 megawatt dapat keringanan ini.”

 

 

Keterangan foto utama: Panel Surya dialokasikan secara utama pada atap Tokopedia Tower. Foto: Ciputra Development

 

 

 

Exit mobile version