Mongabay.co.id

Pemerintah Pusat dan Daerah Diminta Berpedoman HAM dalam Jalankan Pembangunan

Proyek reklamasi dalam beberapa tahun terakhir merusak eksosistem pesisir. Tak ada lagi kawasan mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra

 

 

 

 

Pembangunan infrastruktur jadi salah satu prioritas Pemerintahan Presiden Joko Widodo, mulai jalan tol, bandara, pelabuhan laut, udara, dan lain-lain. Meskipun infrastruktur niatnya mendongkrak pertumbuhan ekonomi, tetapi dalam pelaksanaan seringkali proyek-proyek ini abai pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Tak jarang, proyek infrastruktur lekat dengan konflik agraria dan sumber daya alam. Dalam menjalankan pembangunan, pemerintah daerah di Indonesia, dinilai masih lemah dalam memperhatikan aspek HAM.

“Ada peningkatan konflik agraria terkait pembangunan infrastruktur yang dijalankan Pemerintahan Jokowi. Saya kira tugas ke depan pemerintah bagaimana menekankan standar hak asasi manusia dalam pembangunan infrastruktur. Misal, soal pemindahan warga atau penggusuran. Itu kan ada standar HAM harus jadi pegangan,” kata Beka Ulung, Koordinator Pemajuan HAM Komnas HAM dalam jumpa media, pekan lalu di Jakarta.

Juga soal masyarakat yang kehilangan rumah dan lingkungan, serta terdampak sosial, bisa mendapatkan hak sepadan dengan ketika sebelum dipindahkan.

Pengaduan masyarakat ke Komnas HAM soal konflik agraria dan infrastruktur, katanya, mencapai 750 kasus, baik pembangunan di pusat dan daerah.

“Memang, kesadaran pemerintah daerah akan HAM dalam pembangunan infrastruktur masih rendah. Karena mereka juga masih terbentur atau merasa diburu-buru harus memenuhi target pemerintah pusat. Aspek-aspek HAM sebagai salah satu pertimbangan itu dilupakan.”

Meski begitu, kata Beka, ada beberapa pemerintah daerah sudah mengadopsi prinsip HAM dalam rencana pembangunan, seperti Wonosobo. Daerah ini sudah mengeluarkan Perda Kota Ramah HAM dan membentuk Komisi HAM Wonosobo.

“Harapannya, dengan ada perda ini pelanggarn HAM bisa berkurang. Ketika mereka berkomitmen, tak lantas pelanggaran HAM di sana hilang. Paling tidak, dari level kebijakan sampai implementasi, mereka punya panduan. Itu paling penting. Kalau ada aduan-aduan terkait dugaan pelanggaran HAM di daerah, itu paling tidak mereka bisa menyelesaikannya. Ada mekanismenya,” katanya.

Sejauh ini, katanya, apa yang dilakukan Pemkab Wonosobo, terbilang efektif. “Karena mereka bukan hanya mengurus soal yang menyangkut infrastruktur juga merawat toleransi, kerukunan dan lain-lain.”

Dia berharap, langkah Wonosobo juga bisa diikuti pemda lain. “Anggotanya pun dari berbagai unsur. Ada rohaniawan, birokrat, organisasi masyarakat sipil, akademisi dan lain-lain.”

Dia juga menyoroti pembangunan infrastruktur di Papua, yang menimbulkan konflik agraria. Juga makin masif ekspansi perkebunan skala besar, membuat hutan ulayat orang Papua terancam. Komnas HAM, katanya, punya perhatian khusus.

“Untuk Papua, Komnas HAM terlibat aktif penyusunan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Memang salah satu amanat UU Otonomi Khusus Papua membentuk KKR.”

KKR ini, katanya, sebagai salah satu mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM di Papua. “Komnas HAM, mendorong ke sana. Baru kemarin saya berdiskusi dengan tim dari Universitas Cendrawasih yang ditugaskan menyusun draf KKR. Ini juga menyangkut hak asasi pengelolaan sumber daya alam. Semua,” katanya.

Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM mengatakan, dimensi HAM sangat luas. Tak hanya berbicara kekerasan juga hak rasa aman, sosial ekonomi, dan lingkungan hidup yang sehat.

“Saat ini, pembangunan terus berjalan kadang-kadang para pengambil keputusan baik nasional maupun daerah lupa standar HAM yang harus dikerjakan.”

Dia contohkan, bikin bangunan, tetapi lupa ada kaum disabilitas terabaikan. “Gender terabaikan, anak-anak. Atau bangun jalan tol panjang-panjang, tetapi ada konflik pertanahan,” kata Ahmad.

Menurut dia, sangat penting bagi para pengambil kebijakan di pusat maupun daerah memiliki pemahaman kuat mengenai HAM. Selama ini, katanya, Komnas HAM aktif pelatihan dan pendampingan kepada pemerintah daerah terkait standar HAM dalam aspek pembangunan dan lain-lain.

“Kita harus terus memberikan pandangan kepada semua pihak terutama para pengambil kebijakan, ketika membuat kebijakan apapun, ingat standar HAM. Banyak kepala daerah yang tak peduli. Karena itu kita sering datang ke daerah, bikin MoU dengan gubernur, bupati dan lain-lain agar mengedepankan aspek HAM. Tanggungjawab pemerintah daerah dalam pemenuhan HAM itu sangat penting,” katanya.

 

Hamparan tanah sudah bersih, yang sebelumnya hutan adat Malind Anim di Desa Zanegi, Merauke, Papua. Foto: Nanang Sujana

 

Menurut dia, komitmen pengarusutamaan kabupaten dan kota dalam isu HAM jadi fenomena global. Dalam laporan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM pada sidang Dewan HAM PBB 9-27 September 2019 menyebut, pemerintah lokal di berbagai belahan dunia telah menerapkan prinsip HAM, antara lain di Spanyol, Kanada, Meksiko, Korea Selatan, Belanda, Amerika Serikat dan lain-lain.

“Bahkan Indonesia melalui Kabupaten Pakpak Barat, Sumatera Utara, disebut sebagai salah satu pemerintah lokal di dunia yang menggunakan otoritas untuk merumuskan peraturan lokal terkait HAM,” katanya.

Sugeng Bahagijo, Direktur International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) mengatakan, Jember salah satu kabupaten yang mengedepankan prinsip HAM dalam pembangunan.

Pemkab Jember, katanya, cukup berhati-hati mengeluarkan kebijakan terkait tambang dan lain-lain. Meski dia tak menampik masih banyak kabupaten dan kota yang belum menunjukkan komitmen dalam pemenuhan HAM dalam agenda pembangunan.

Dia bilang, soal kasus kebakaran hutan dan lahan. Di beberapa tempat justru pemerintah daerah ikut mensponsori pembukaan lahan yang berimplikasi pada pelanggaran HAM. “Padahal, salah satu parameter pemenuhan HAM adalah menjaga lingkungan dan sumber daya alam,” katanya.

Menurut dia, agenda pembangunan seharusnya memperhatikan aspek multi dimensi. Tak hanya mengutamakan satu sektor, katanya, tetapi mengorbankan sektor lain.

“Kalau ada diskriminasi, harus dicabut. Kalau ada yang merusak lingkungan harus dihentikan. Memang tak mudah.”

 

 

Festival HAM 2019

Pada 19-21 November 2019, akan diselenggarakan Festival HAM 2019 di Kabupaten Jember. Penyelenggaraan acara ini merupakan kolaborasi antara Komnas HAM, INFID dan Pemerintah Kabupaten Jember. Ia digelar untuk membumikan prinsip-prinsip HAM dalam pembangunan daerah dengan tema, “Pembangunan Daerah Berbasis HAM dan Berkeadilan Sosial Melalui Pendekatan Budaya.”

Gelaran tahunan ini sudah sejak 2014. Sebelumnya, beberapa waktu lalu juga diselenggarakan pelatihan HAM bagi 161 kepala desa di Jember.

“Jember dipilih sebagai tuan rumah penyelenggaraan Festival HAM karena pemerintah kabupaten memiliki komitmen melaksanakan program pembangunan berkeadilan dengan memperhatikan budaya daerah,” katanya, seraya bilang ini tercermin dengan pengembangan budaya Pendalungan yang merupakan asimiliasi dari budaya Jawa dan Madura. “Hingga terwujud harmoni pada relasi sosial di masyarakatnya,” kata Sugeng.

Festival HAM untuk memberikan pencerahan kepada pemberi kebijakan sekaligus mengajak agar lebih memperhatikan aspek HAM dalam agenda pembangunan. Peserta yang hadir antara lain, para kepala daerah, Menteri Ekonomi PMK, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman, serta perwakilan pejabat daerah dari berbagai negara.

“Festival HAM merupakan arena untuk memperkenalkan insiatif-insiatif oleh kepala daerah. Juga mengajak peserta yang terlibat lebih sensitif dan paham soal HAM. Akan ada diskusi, sharing pengalaman. Harapannya, antarkepala daerah ini punya jaringan bertukar pengalaman soal HAM, termasuk juga pengalaman dari luar negeri,” kata Ahmad.

Beka mengatakan, selama ini aduan warga ke Komnas HAM terkait pemerintah daerah berada di urutan ketiga. Kondisi ini, katanya, jadi konsen Komnas HAM hingga membuat gelaran itu.

“Konsen kita bagaimana peran peemrintah daerah dalam memenuhi HAM di Indonesia.”

 

Keterangan foto utama:    Proyek reklamasi. Mangrove dan komunitas nelayan, tergantikan oleh proyek betonisasi. Foto: Wahyu Chandra/ Mongabay Indonesia

 

Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Exit mobile version