Mongabay.co.id

Menuju Sekolah Bebas Sampah Plastik di Sumenep

Para siswa sedang memilah sampah plastik. Foto: dokumen PSG

 

 

 

 

Halaman SMA 3 Annuqayah tampak bersih. Tak ada sampah plastik satupun, kecuali daun kering baru jatuh dari pohon. Suasana sekolah rindang oleh pepohonan. Sejuk. Ada beragam pohon, dari mahoni, jeruk, nangka, maupun belimbing.

Terdapat dua tempat sampah di pojok halaman. Tak ada sampah plastik, hanya tumpukan daun kering.

Lailatul Qomariyah, siswa kelas XII, mengatakan, di halaman sekolah hanya menyediakan tempat sampah untuk daun. Di masing-masing kelas sudah ada tong sampah juga.

“Per kelas itu ada sampah plastik, organik, anorganik. Setiap hari setor ke bank sampah,” katanya, baru-baru ini.

Mereka punya bank sampah. Di bank sampah sekolah, plastik yang dapat didaur ulang dikumpulkan untuk jadi berbagai kerajinan tangan, seperti tas, hiasan bunga, lampion, dan lain-lain. Para siswa ini tergabung dalam Komunitas Pemulung Sampah Gaul (PSG).

Baca juga: Cerita Pondok Pesantren Anti Sampah Plastik di Sumenep

Tak hanya memilah dan mendaur ulang sampah, PSG juga membuat gerakan mengurangi penggunaan sampah plastik. PSG bekerja sama dengan kantin, OSIS, untuk pakai barang-barang yang tak sekali pakai. Di kantin, apabila siswa membeli makanan harus pakai piring, minum pakai gelas, tak boleh dibungkus, tak boleh minum air kemasan. Mereka mempunyai tujuan bersama, menciptakan sekolah nol plastik.

Mus’idah, pembina PSG mengatakan, awalnya di sekolah banyak sampah plastik. Sekarang, mereka sudah hati-hati dalam membeli makanan dan minuman yang bisa menyisakan sampah plastik.

“Ini kalau kami sudah nol plastik, akan berlanjut ke makanan sehat,” katanya.

Menurut Firasatin Agustina, Ketua PSG, mereka punya tiga tim, yaitu, tim pangan lokal, tim sampah plastik, dan pupuk organik.

“Biasa kami setiap setengah bulan satu kali berkumpul, memasak, tata boga, dan lain-lain,” kata Fera, sapaan akrabnya.

Setiap setengah bulan, masing-masing tim PSG berkumpul membahas bidang masing-masing. Tim pangan lokal bicara mengkonservasi makanan lokal dan pengolahan. Tim sampah plastik, katanya, bahan pengendalian plastik, dan tim pupuk organik berinovasi membuat pupuk dari tumpukan sampah organik.

Mereka saling berkoordinasi. Ketika tim pangan lokal menanam pohon, akan dibantu pupuk oleh tim pupuk organik. Sekolah mempunyai lahan sendiri mereka tanam aneka tumbuhan pangan seperti singkong dan umbi-umbian lain.

Mereka juga bekerja sama dengan para petani setempat bertukar sampah pertanian seperti jerami, untuk pupuk. Kemudian mereka berikan lagi pupul kepada petani. Untuk pangan, mereka bekerja sama dengan para petani siwalan, dan pembuat gula merah.

Anisa Nur Aifa, siswa sekolah ini mengatakan, gerakan PSG ini membuat mereka makin sadar bahaya sampah dan membantu mengurangi plastik dengan tak gunakan wadah sekali pakai.

 

Bunga-bunga dari sampah plastik hasil karya para siswa di Sumenep. Foto: dokumen PSG

 

Awal mula PSG

Kelahiran PSG tak terlepas dari kehadiran perwakilan Yayasan Annuqayah dalam acara Environmental Teacher’s International Convention (ETIC) pada Maret 2008 di Kaliandra, Pasuruan, Jawa Timur.

Kiai Moh Naqib Hasan mewakili Madrasah Aliyah 1 Putri Annuqayah, Kiai Muhammad Zamiel El-Muttaqien (alm) mewakili Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) Pondok Pesantren Annuqayah. Lalu, Nyai Khotibatul Ummah (alm) mewakili BPM yang mengelola obat herbal dan  Kiai M Musthafa.

Musthafa, pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Daerah Karang Jati mengatakan, agenda tahunan itu diikuti beberapa negara seperti Spanyol, Kanada, Malaysia, Filipina, India, Bangladesh, dan negara lain dengan peserta para guru.

“Kegiatan dirancang, bagaimana memasukkan isu-isu lingkungan hidup ke sekolah,” katanya, awal November lalu.

Usai kegiatan, Musthafa menulis dari kegiatan yang berlangsung selama seminggu dan tentang seorang perempuan yang membuat kerajinan plastik. Saat itu, dia sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Annuqayah.

Dia terinspirasi dari sana melakukan hal serupa. Gagasan ini mendapat apresisasi siswa hingga ada aksi mulung sampah pada 22 April 2008 di tempat pembuangan akhir (TPA). Inilah awal mula PSG terbentuk.

Ummul Karimah, Ketua pertama PSG, mengatakan, nama PSG lahir dari ketidaksengajaan.

“Sebenarnya, nama itu dari ketidaksengajaan salah satu siswa yang pengumuman. Bilang pemulung sampah, karena ‘bilang pemulung’ sampah diketawain, (lalu terlintas kata-red) gaul. Sejak itu, ada pemulung sampah gaul,” katanya.

 

Perjalanan PSG

Perjalanan PSG setidaknya ada empat fase. Fase pertama (2008-2010), kedua (2011-2014), ketiga (2015-2018), dan keempat (2019-seterusnya).

Fase pertama ini, kata Musthafa, anggota fokus memotori penggunaan makanan lokal di setiap acara sekolah dan mengolah (mendaur) ulang sampah.

Setiap ada acara sekolah, suguhan dengan makanan lokal seperti pisang, ubi, singkong, dan lain-lain. Tujuannya, menjaga kelestarian pangan lokal, pemberdayaan terhadap petani, dan mengurangi sampah plastik.

Mereka mendokumentasi berbagai pangan lokal dan resepnya. “Kalau dulu juga bekerja sama dengan kantin-kantin sekolah lain, sampah ditumpuk dan dijemput teman-teman PSG,” kata Ummul.

Februari 2009, anggota PSG mengikuti lomba School Climate Challenge (SCC) Competition yang digelar British Council Indonesia dengan tujuan para murid dan guru sekolah menengah terlibat proyek lingkungan. PSG mendelegasikan tiga tim terdiri dari tim pupuk organik, gula merah, dan tim sampah plastik.

“Yang paling memuaskan buat saya setelah mengerjakan dan mendampingi tiga proyek SCC adalah lahir kader-kader baru serta bidang baru di komunitas peduli lingkungan di sekolah kami,” kata Musthafa.

 

Penggagas Komunitas PSG, adalah M Musthafa, pengasuh Pesantren Annuqayah. Foto: dokumen PSG

 

Lebih mengembirakan lagi, proyek pupuk organik berbahan dasar limbah pertanian berhasil jadi peringkat kelima dalam lomba SCC yang diikuti hampir 200 tim dari berbagai sekolah se-Indonesia itu.

Juli 2010, PSG dipercaya untuk presentasi di forum “24th Conference of the Caretakers of the Environment Internasional.”

Saat itu, Musthafa berada di Uni Eropa melanjutkan studi. Dia mendapatkan beasiswa magister mendalami bidang etika terapan di Utrecht University, Belanda. Juga di NTNU Trondheim, Norwegia, selama dua semester.

“Jadi saya itu buru-buru pulang dari Norwegia, mestinya saya masih bisa jalan-jalan dulu di Eropa tetapi saya keburu pulang karena mau nganterin anak-anak mengikuti acara di Malang, karena mau presentasi,” katanya.

Fase kedua, pencarian model kaderisasi. Kala itu, dia menyadari kaderisasi selalu jadi masalah bila tak ditangani serius. Karena itu, pada fase ini dia mulai memikirkan bagaimana model yang tepat dalam pengkaderan. Salah satu upaya pengkaderan, mereka adakan kemah lingkungan setiap tahun sejak 2011, saat liburan. Kemah berlokasi di area SMA 3 Annuqayah.

Antara lain materi di perkemahan, seperti wawasan Islam dan lingkungan, serta analisis sosial. Peserta melakukan observasi, misal, ke petani. Mereka bertanya permasalahan pertanian dan dibawa ke TPA di Desa Torbang, Kecamatan Batuan, Sumenep. Selama setengah hari di TPA, peserta mengamati sampah datang, wawancara dengan pemulung, pengangkut sampah, lalu analisis bersama.

“Anak-anak PSG ini harus belajar pengorganisasian. Salah satu materi di kemah lingkungan itu bagaimana mengorganisasi masalah lingkungan. Kami mengundang Aak Abdullah Al-Quddus sebagai nara sumber,” katanya.

Abdullah Al-Quddus adalah aktivis lingkungan yang sudah menghijaukan gunung di Lumajang. Di PSG, dia menyampaikan tentang cara mengorganisasi masyarakat, para pemuda, agar terlibat dalam masalah-masalah lingkungan.

Fase ketiga, penerapan kurikulum lingkungan hidup. Dua tahun kemah lingkungan berjalan, namun dipandang kurang menyentuh para siswa secara menyeluruh. Mulai 2014, mereka menerapkan kurikulum pendidikan lingkungan hidup di kelas, bukan lagi hanya di perkemahan.

“Kemah lingkungan ditiadakan, dirancanglah kurikulum pendidikan lingkungan hidup di kelas I. Siswa masuk di kelas I punya wawasan lingkungan. Harapannya, kalau mereka tertarik bisa diperdalam di PSG.”

Musthafa terinsiprasi dari buku Buy, Use, Toss? A Closer at the Think We Buy dalam penerapan kurikulum pendidikan lingkungan hidup. Buku itu bersumber dari video berjudul the Story of Stuff. Dia bilang, buku itu ketemu saat mencari model pengkaderan.

Kendati sudah ada buku paket tentang pelajaran lingkungan hidup dikeluarkan pemerintah, Musthafa merasa kurang puas. Menurut dia, masih terlalu menekankan aspek perorangan, tak kritis, tidak masuk ke wilayah kebijakan, dan lain-lain.

“Sama juga kalau kita lihat pendidikan adiwiyata, ukuran-ukurannya itu ya sangat personal. Kalau saya bilang, pendidikan lingkungan itu pintu masuk untuk pendidikan kontekstual. Ini masalah mecakup masalah sosial, politik, budaya, ekonomi.”

Musthafa juga menyusun buku pengayaan berjudul “Pendidikan Lingkungan Hidup” untuk diajarkan kepada siswa kelas X. Buku ini berisi kliping tulisan tentang lingkungan dari hulu sampai hilir dari berbagai sumber terpercaya.

Fase keempat, menuju sekolah nol plastik. Dalam fase ini, katanya, ada komitmen lebih menyeluruh untuk tak menggunakan plastik, menuju sekolah nol plastik.

“Sekarang ini, fase saya tak banyak terlibat, yang banyak terlibat adalah Kiai Faizi,” katanya.

Saat ini, tak hanya satu sekolah tetapi meluas, meliputi, Madrasah Ibtidaiyah 3 Annuqayah, MTs 3 Annuqayah, SMA 3 Annuqayah—semua di bawah Yayasan (Pesantren) Annuqayah–, yang dipimpin Kiai Mohammad Faizi. Di pondok asuhannya, Al-Furqan, Faizi juga menerapkan bebas sampah plastik.

 

Kegiatan anggota tim sampah plastik PSG. Foto: Dokumen PSG

  

Tantangan PSG

Perjalanan PSG tak selalu mulus. Banyak tantangan, mulai dari sikap sinis orang-orang sekitar, diolok-olok, tak mau bekerjasama, dan lain-lain.

Mus’idah mengatakan, hal paling sering dihadapi PSG dalam menjalankan program adalah ketidakmauan pihak kantin dan pedagang lain untuk bekerjasama. Walau akhirnya, mereka mau. Membangun kesadaran peduli lingkungan, katanya, bukan perkara mudah. Anak-anak didiknya ada yang hampir putus asa.

Awalnya, mereka tak serta merta melarang kantin tak menjual nasi pakai kertas atau air mineral. Mereka mulai 2008 dan baru dua tahun ini mereka mengajak kantin beralih dari barang-barang sekali pakai ke tak sekali pakai, misal, menjual nasi pakai piring dan menyediakan gelas untuk minum.

Awal penolakan dari kantin, kata Mus’idah, karena mereka merasa dirugikan dengan program itu. Mereka tidak lagi bisa menjual makanan-minuman bungkus plastik atau pabrikan yang serba instan. Sisi lain, keuntungan PSG tak langsung nampak.

PSG tak menyerah. “Kantin diajak ngobrol berbagai pertimbangan, mereka juga diundang apabila ada sosialisasi tentang lingkungan, tentang bahaya plastik. Dua bulan kemarin, sempat agak tegang di sini antar kantin dan sekolah.”

 

‘Polisi sampah’

Di SMA 3 ada srikandi lingkungan di SMA 3 Annuqayah yang bertugas sebagai “polisi sampah.” Mereka bertugas memantau yang melanggar “Undang-undang lingkungan.”

Bukan hanya dari kantin, guru pun ada yang kurang mengindahkan program-program PSG.

“Bahkan mereka menganggap PSG itu adalah tukang sapu. Ada yang seperti itu,” kata perempuan yang akrap dipanggil Bu Mus itu.

Serupa disampaikan Musthafa. Ada seorang siswa berkali-kali melanggar aturan, didenda, karena selalu berulang, denda sampai Rp500. 000. Dia bilang, bukan masalah nominal tetapi konsistensi terhadap kesepakatan peraturan.

Begitu juga soal pangan lokal. Guna jalankan komitmen terhadap kelestarian lingkungan, kalau mereka menggelar kegiatan, akan gunakan pangan lokal meskipun harus mencari ke tempat jauh.

Bu Mus bilang, terkadang untuk mendapatkan singkong harus membeli ke Desa Campaka, Prancak, Montorna, Kecamatan Pasongsongan, kalau daerah sekitar sudah jarang petani singkong.

Mereka juga ingin mengajak masyarakat tetap menanam bahan pangan lokal.

 

Kritik

Musthafa juga mengemukakan kritik terhadap pendidikan lingkungan pada sekolah, pertama, pendidikan lingkungan di sekolah salah arah, tak mampu menjawab persoalan nyata.

Satu sisi, ada krisis lingkungan luar biasa berdampak pada masalah sosial, budaya, ekonomi. Sisi lain, pendidikan tak membuka mata terhadap permasalahan-permasalahan itu.

Padahal, katanya, pendidikan adalah pintu masuk menanamkan pemahaman permasalahan mendasar dari isu-isu lingkungan.

“Katakanlah krisis sosial ekologis, tetapi sekolah kok tidak merespon sama sekali. Berarti kan ada yang keliru dari pendidikan.”

Dia bilang, pendidikan lingkungan di Indonesia, seperti melalui Adiwiyata dan lain-lain sangat dangkal, karena berhenti pada moralitas personal. “Sedangkan akar masalah bukan itu, banyak berkaitan dengan aspek kebijakan dan lain-lain.”

“Dunia pendidikan tidak masuk ke ranah itu. Peduli terhadap lingkungan bukan sekadar hemat listrik, harus ke sumber masalahnya.” Rumusnya, manusia mempunyai kebutuhan dan diambil dari alam. “Kalau alam bermasalah, maka pasti kebutuhan manusia akan bermasalah,” katanya, seraya bilang, siswa mesti punya kesadaran kritis.

Kedua, kepekaan. Kalau pendidikan kurang kepekaan terhadap alam, kata Musthafa, bisa terjadi eksploitasi alam besar-besaran. Di sekolah, katanya, tak diajari darimana mereka mendapatkan benda-benda yang mereka gunakan.

“Ada narasi menarik. Kalau kita meminum obat-obatan herbal, dan bisa sembuh, misal, itu sebenarnya bahasanya tanaman yang kita minum dengan bahasa tubuh kita. Itu satu. Hingga menyatu. Artinya ada ikatan,” kata Dekan Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika), Guluk-guluk, Sumenep, ini.

Penulis buku ‘Pengalaman 10 Bulan di Eropa’ itu menawarkan solusi pendidikan berbasis proyek. Di dalam kelas, siswa mendapatkan wawasan terkait lingkungan, di luar mereka diarahkan untuk aksi, dan proyek bersama. Hal ini sudah diterapkan di SMA 3 Annuqayah.

“Ada suatu fokus. Seperti sekarang, nol plastik. Untuk ke sana langkah-langkah apa yang perlu dilakukan,” kata Musthafa.

Tantangan pendidikan lingkungan berbasis proyek ini, katanya, harus ada orang yang mengawal atau pendamping yang benar-benar konsisten. Pendamping setia PSG sejak berdiri adalah Mus’idah. Baginya, percuma ada gagasan kalau tak berjalan.

 

Keterangan foto utama: Para siswa sedang memilah sampah plastik. Foto: dokumen PSG

 

Exit mobile version