Mongabay.co.id

Sudah Tepatkah Sertifikasi untuk Profesi Nelayan?

 

Keinginan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo untuk memberlakukan sertifikasi bagi profesi nelayan di Indonesia, mendapat penolakan keras dari pegiat masyarakat pesisir di Indonesia. Rencana tersebut dinilai hanya akan menambah daftar masalah di kawasan pesisir yang sebelumnya sudah ada dan belum terpecahkan hingga sekarang.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), fakta di lapangan sebenarnya masyarakat pesisir tidak membutuhkan sertifikat profesi nelayan yang sudah digeluti oleh mereka secara turun temurun. Yang dibutuhkan, justru adalah bagaimana Negara bisa memastikan pemenuhan kebutuhan hidup mereka yang selalu dinilai dengan uang.

“Masyarakat bahari, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional, nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT, tidak membutuhkan sertifikasi untuk menjelaskan identitas sebagai seorang nelayan atau perempuan nelayan,” demikian ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, pekan lalu.

baca : Nelayan, Profesi Mulia yang Masih Terabaikan

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Susan mengatakan, dengan mengemukanya rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan sertifikasi nelayan, maka itu sama saja Negara membiarkan pelecehan identitas masyarakat terjadi dengan sengaja. Hal itu, karena profesi nelayan sudah sejak lama digeluti oleh masyarakat bahari yang tinggal di kawasan pesisir dan karenanya mereka tidak membutuhkan sertifikat lagi untuk menjadi seorang nelayan.

Agar kekecewaan masyarakat bahari tidak pernah terjadi di kepemimpinan Edhy Prabowo sebagai Menteri KP, maka Susan menghimbau agar mantan Ketua Komisi IV DPR RI Periode 2014-2019 itu untuk bisa fokus melaksanakan program kerja yang benar-benar bermanfaat dan dibutuhkan oleh sektor kelautan dan perikanan.

“Terutama pada 10 hari gebrakan dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Bapak Edhy Prabowo, seharusnya dia tidak bicara sekedar sertifikasi nelayan,” tuturnya.

Di mata Susan, yang dibutuhkan nelayan dan masyarakat pesisir sekarang adalah bagaimana konflik yang ada di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sudah lama terjadi bisa segera diselesaikan. Konflik-konflik tersebut, diyakini akan bisa memberikan ruang hidup lebih nyaman dan luas untuk nelayan tradisional yang tidak lain adalah masyarakat pesisir.

“Nelayan tidak butuh disertifikasi, nelayan butuh laut, tantangannya berani atau tidak menteri baru ini menyelesaikan konflik di Pulau Pari, Pulau Romang, Pulau Wawonii, bukan sekedar mengurus sertifikasi nelayan,” tegasnya.

Dengan fakta tersebut, Susan menilai kalau rencana sertifikasi yang dicetuskan Edhy Prabowo, hanya akan mempersulit kehidupan nelayan kecil yang menjadi penghuni utama kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Kemudian, landasan hukum untuk rencana tersebut juga sampai sekarang masih belum jelas seperti apa.

baca juga : Kala Nelayan Tradisional Masih Hadapi Beragam Kendala

 

Nelayan tradisional menggunakan tangkul untuk menangkap ikan di Danau Dendam Tak Sudah, Bengkulu. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Ekspor

Di sisi lain, walau Susan tahu kalau rencana sertifikasi memiliki tujuan untuk mendorong kinerja ekspor ke pasar global perikanan di Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, namun tetap saja rencana tersebut dinilai tidak tepat untuk diterapkan kepada nelayan skala kecil atau nelayan tradisional.

Tetapi, jika rencana tersebut akan diterapkan untuk nelayan skala besar yang menggunakan kapal perikanan berukuran di atas 30 GT, maka itu menjadi rencana yang tepat dan pas. Karena bisa mendorong terwujudnya kinerja ekspor yang lebih baik lagi hingga bisa memenuhi kebutuhan pasar perikanan.

“Daripada merencanakan sertifikasi nelayan, KKP seharusnya menjalankan mandat penting yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam,” tambahnya.

UU itu menjadi peraturan yang sangat penting untuk melindungi dan memberdayakan nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam. Walaupun, pada kenyataannya sampai saat ini KKP belum banyak memiliki peraturan turunan dari UU tersebut.

Kecuali, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/2018 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam. Di luar Permen tersebut, praktis KKP hingga sekarang belum memiliki turunan lebih detil dari UU No.7/2016.

Untuk itu, KIARA menilai kalau upaya perlindungan yang sudah dilakukan kepada nelayan, pembudi daya ikan, dan petambak garam dalam tiga tahun terakhir masih belum terlihat serius dan nyata. Sementara, di saat yang sama, KKP justru berniat untuk memberlakukan sertifikat profesi nelayan kepada semua pelaku usaha skala kecil, ataupun besar.

“Ini adalah fakta penting yang perlu menjadi perhatian Menteri baru, Edhy Prabowo,” ucap Susan.

perlu dibaca : Subsidi Perikanan, Bentuk Perlindungan Negara kepada Nelayan Kecil

 

Ikan merupakan sumber pendapatan masyarakat. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Contoh menarik yang harusnya disadari oleh KKP, menurut dia adalah tentang sertifikasi Cara Berbudi daya Ikan yang Baik (CBIB) yang diberlakukan kepada semua pembudi daya ikan di Nusantara. Sertifikat tersebut dinilai masih memiliki kelemahan yang cukup mendasar, yaitu tidak adanya aspek perlindungan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, dan keadilan jenis kelamin (gender).

“CBIB hanya mengatur urusan teknis budi daya semata,” tandas dia.

Ketiadaan elemen perlindungan seperti disebut di atas, menurut Susan, membuat sertifikat CBIB dinilai gagal memberikan perlindungan penuh kepada pembudi daya ikan. Terutama, pelindungan dari praktik pelanggaran HAM seperti yang terjadi di kawasan tambak Bumi Dipasena di Kabupaten Tulang Bawang, Lampung.

Mengingat tidak ada elemen yang seharusnya menjadi perlindungan dasar kepada para pembudi daya ikan, KIARA menilai kalau CBIB harus dievaluasi untuk menjadi standar penerapan budi daya perikanan di Nusantara. Terlebih, KIARA sudah melakukan kajian terhadap sertifikasi tersebut sejak 2015 atau empat tahun yang lalu.

“KIARA meminta KKP untuk membatalkan rencana sertifikasi nelayan dan sekaligus meninjau ulang CBIB serta berbagai sertifikasi lainnya yang hanya berorientasi pasar semata. Tak hanya itu, KIARA meminta KKP untuk segera mengimplementasikan UU No.7 Tahun 2016,” pungkasnya.

baca juga : Perjuangan Negara untuk Lindungi Nelayan dan Pekerja Perikanan

 

Seorang nelayan hendak pulang ke Pulau Maringkik, setelah semalam penuh mencari ikan di perairan Teluk Jukung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Penghargaan

Pendapat yang sama juga diungkapkan Sekretaris Jenderal DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Iing Rohimin. Menurut dia, profesi nelayan untuk skala kecil sama sekali tidak memerlukan sertifikasi seperti yang dicetuskan oleh Menteri KP Edhy Prabowo beberapa hari lalu.

Di mata Iing, nelayan tradisional dinilai sudah ahli dalam melaksanakan keterampilannya untuk menangkap ikan di lautan dengan batas maksimal 12 mil laut dari bibir pantai. Dengan demikian, tidak diperlukan bukti keahlian tersebut dalam wujud lembar sertifikasi seperti yang direncanakan oleh Pemerintah.

Dengan keahlian yang sudah dimiliki oleh nelayan tradisional, Iing menyebut kalau rencana Pemerintah untuk memberlakukan sertifikasi bagi profesi nelayan, dinilai menjadi ambigu. Penyebabnya, karena sertifikasi selama ini menjadi simbol dari pengakuan instansi atau industri terhadap kinerja ataupun cara kerja.

Jika memiliki sertifikat, Iing menyebut, maka profesi apapun yang mensyaratkan pemberlakuan sertifikasi, akan memberikan timbal balik berupa penghargaan dalam bentuk materi seperti uang. Untuk itu, dengan adanya sertifikat, maka nelayan tradisional seharusnya bisa mendapatkan penghasilan lebih baik lagi.

“Apakah Pemerintah bermaksud memberikan tunjangan kepada nelayan tradisional jika mereka bersertifikat?” tanya dia.

Kalau dugaan itu benar, Iing meminta kepada Pemerintah agar pemberlakuan sertifikasi profesi nelayan tersebut juga diberlakukan kepada nelayan skala besar dan juga profesi awak kapal perikanan (AKP). Mereka harus bersertifikat juga, karena kapal besar mereka banyak membuat kerusakan di laut dengan alat penangkapan ikan (API) yang tidak ramah lingkungan.

baca juga : Subsidi Perikanan, Bentuk Perlindungan Negara kepada Nelayan Kecil

 

Kapal-kapal nelayan yang berlabuh diantara tumpukan sampah di pantai di pesisir Pantai Muncar, Kecamatan Muncar, Banyuwangi, Jatim, pada akhir Juni 2019. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Khusus untuk AKP, Iing mewajibkan mereka harus mendapat sertifikat juga, karena mereka yang terdiri dari anak buah kapal (ABK), nakhoda, dan pemilik kapal tidak bekerja hanya untuk dirinya sendiri saja. Melainkan, masing-masing memiliki tanggung jawab antara satu dengan yang lain dan berkaitan langsung.

“ABK harus bekejra secara profesional, karena mereka bertanggung jawab terhadap nakhoda. Kemudian ABK dan nakhoda juga bertanggung jawab kepada pemilik kapal, dan pemilik kapal bertanggung jawab kepada Pemerintah yang mengeluarkan perizinan usaha untuk menangkap ikan,” papar dia.

 

Exit mobile version