Mongabay.co.id

Susun Rencana Zonasi, Terungkap Berbagai Persoalan Pesisir Papua

Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

 

 

 

 

 

Pemerintah Papua sedang menyusun dokumen rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Tujuannya, menata struktur dan pola ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Papua. Dalam proses pembahasan, dilakukan indentifikasi berbagai persoalan pesisir Papua.

Absalom Solossa, Kepala Bidang Pesisir, Dinas Kelautan dan Perikanan Papua mengatakan, wilayah laut 13 kabupaten dan kota pesisir Papua belum ada penzonaan, seperti zona tangkap, perikanan budidaya, penyangga konservasi, kawasan pemanfaatan umum, kawasan penambangan, alur laut, alur pelayanan dan lain-lain.

Di Papua, katanya, ada 12 kabupaten dan satu kota yang memiliki wilayah pesisir. Ada Asmat, Mappi, Merauke, Biak, Supiori, Kepulauan Yapen, Waropen, Nabire, Mimika, Kabupaten Jayapura, Sarmi, Mamberamo Raya, dan Kota Jayapura.

Berdasarkan wilayah adat, 12 kabupaten dan satu kota itu masuk dalam empat wilayah adat. Asmat, Mappi dan Merauke, masuk wilayah Animha. Biak, Supiori, Kepulauan Yapen dan Waropen, masuk wilayah adat Saireri. Lalu, Kabupaten Jayapura, Sarmi, Mamberamo Raya, dan Kota Jayapura, masuk wilayah adat wilayah adat Mamta. Untuk Nabire dan Mimika, masuk wilayah adat Meepago.

Penyusunan dokumen RZWP3K Papua sudah sampai tahap penyusunan peta rencana alokasi ruang untuk diterjemahkan ke bentuk rancangan peraturan daerah. Harapannya, akhir 2020 perda sudah ditetapkan.

Sesuai aturan Undang-undang, penyusunan RZWP3K ini harus dilengkapi dokumen kajian lingkungan hidup strategis (KLHS). Konsultasi publik dan diskusi grup terfokus KLHS RZWP3K ini berlangsung pada 14-15 November 2019 di Aula Dinas Lingkungan Hidup Papua di Jayapura.

Martha Mandosir, Plt Dinas Lingkungan Hidup Papua juga ketua tim Pokja Penyusunan KLHS menyatakan, kegiatan ini menjaring berbagai isu pembangunan di wilayah pesisir. Lalu, bersama tim ahli merumuskan isu paling strategis dan prioritas. “Ini tahap awal penyusunan KLHS RZWP3K,” katanya.

Kegiatan ini dihadiri perwakilan lembaga masyarakat adat (LMA) dari empat wilayah adat, Badan Perencanaan Pembangunan Daera (Bappeda), Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan dari 13 kabupaten/kota. Hadir pula satuan kerja di Papua, akademisi dari beberapa Universitas di Jayapura, serta perwakilan beberapan lembaga swadaya masyarakat.

 

“Daratan’ yang terlihat itu merupakan endapan tailing PT Freeport. Foto: Yoga Pribadi

 

Berbagai masalah di pesisir Papua

Berbagai persoalan pesisir Papua, dibahas kala pertemuan ini, seperti pembuangan limbah tambang (tailing) PT. Freeport, yang merusak pesisir selatan. Selain limbah padat seperti tailing, dicurigai juga ada limbah cair, terutama dari aktivitas tambang ilegal yang sedang marak di pesisir selatan dan Mimika Barat.

Selain itu. limbah binyak dari kapal, limbah industri rumah tangga serta sampah ke sungai juga berkontribusi pada kerusakan pesisir. Ada juga masalah alih fungsi hutan mangrove, penambangan pasir ilegal serta cara penangkapan ikan pakai bom dan racun.

Berbagai persoalan ini berakibat pada sedimentasi, pencemaran hingga berkurangnya keragaman hayati. Masyarakat yang hidup di wilayah ini juga rawan terkena penyakit.

Pada bidang ekonomi, pemanfaatan wilayah pesisir yang belum mensejahterakan orang asli Papua, juga banyak diangkat. Nelayan terutama asli Papua, memiliki pendapatan rendah. Ada ketimpangan ekonomi antara nelayan asli Papua dan pendatang.

Belum ada lembaga yang fokus pada pemberdayaan ekonomi bagi orang asli Papua pesisir yang memperkuat masyarakat dalam mengembangkan bisnis perikanan.

Kearifan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisisr berkelanjutan juga belum menjadi perhatian.

Penjualan sirip hiu dan penangkapan ikan hanya untuk pengambilan gelembung sedang daging dibuang juga jadi bahasan dalam pertemuan. Ikan-ikan itu, antara lain, kakap China, bandeng laut, manyung, kuro.

Potensi ekowisata juga belum terkelola. Persoalan batas juga menjadi isu bahasan, baik yang menyangkut batas wilayah adat maupun batas wilayah pemerintahan.

Dalam hal tata kelola, ada masalah belum tersedia data dan informasi mengenai peta potensi perikanan, proyeksi bisni perikana serta priorotas program pengembangan perikanan.

Sarana pembinaan dan diklat perikanan profesional juga belum ada di Papua. Koordinasi antara pemangku kepentingan di wilayah pesisir, katanya, juga belum terlaksana baik. Sementara itu izin-izin pengelolaan terpusat di provinsi juga dikeluhkan karena mengurangi pendapatan asli kabupaten dan kota.

Masalah penegakan hukum dan keamanan di wilayah pesisir juga banyak diungkap, seperti belum ada sinkronisasi antara hukum adat dan hukum negara, tidak ada aturan mengenai illegal fishing, penyalahgunaan izin kapal, penambangan ilegal, penyelundupan narkoba dan hasil bumi. Juga, masalah pelintas batas negara Papua dan PNG, pos pengamanan terpadu wilayah laut terbatas, serta alat dan kemampuan mendeteksi kapal terbatas.

Dari berbagai isu itu, Tim ahli KLHS lalu merangkum dalam beberapa isu strategis. Isu-isut itu antara lain pencemaran wilayah pesisir dan pulau-puau kecil karena limbah dan aktivitas tambang, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pelibatan masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan. Juga, degradasi ekosistem, penurunan produksi perikanan, pembangunan infastruktur dasar dan ekonomi, integrasi budaya lokal dalam pembangunan, pengembangan potensi wisata berbasis jasa ekosistem, dan kerusakan lingkungan DAMPAK bencana alam seperti abrasi, banjir dan tsunami.

 

Potensi wisata. Perairan Pulau Boyan, Fakfak, Papua Barat, yang seringkali dijadikan tempat renang ataupun menyelam karena kondisi airnya yang jernih. Foto : Rahmi Djafar/ Mongabay Indonesia

 

Selain identifikasi berbagai masalah, pertemuan ini juga mengungkap berbagai rencana pembangunan di wilayah pesisir Papua. Ada rencana pengembangan pelabuhan industri di Timika, pengembangan pelabuhan kontainer di Merauke, pengembangan potensi minyak dan gas di lepas pantai Laut Arafura.

Ada juga, pengembangan energi listrik tenaga pasang surut dan tenaga arus di Kabupaten Asmat, penataan kawasan konservasi pulau terluar di Pulau Kimam dan Pulau Laag, penataan jalur serat bawah laut di kawasan selatan sebagai bagian dari Program Palapa Ring Timur.

Juga, pengembangan pelabuhan tol laut di pesisir selatan yaitu Timika, Mapp, Asmat, Merauke, dan Boven Digoel, serta pengembangan pusat logistik di Timika dan Asmat untuk pegunungan tengah.

 

Harapan masyarakat adat

Socrates Sayori., Ketua LMA Nabire dari Wilayah Adat Meepago mengatakan, perwakilan masyarakat adat sudah berupaya menyampaikan berbagai persoalan di wilayah mereka. Masalah pencemaran lingkungan banyak muncul terutama limbah dari pertambangan yang merusak wilayah pesisir hingga ke lautan.

“Sekarang, secara garis besar kita sudah kasi, apakah mereka hanya mendengarkan informasi atau mereka juga turun melihat,” katanya.

Socrates juga mengingatkan pemerintah, soal penetapan zonasi ini, ada wilayah masyarakat adat, tempat masyarakat hidup turun-temurun dan sudah terbagi dalam batas-batas suku.

“Tinggal sekarang, kalau pemerintah mau buat aturan, harus melihat dari kepentingan masyarakat itu sendiri. Jangan sampai masyarakat malah susah mencari kehidupan di tempat mereka.”.

Dia juga berharap, setelah semua isu strategis di wilayah pesisir ini digodok oleh Dinas Lingkungan Papua, perwkilan masyarakat adat dipanggil kembali untuk memastikan masalah-masalah mereka sudah terwakili dalam KLHS nanti.

 

Keterangan foto utama:  Sungai Degeuwo yang kini merana, air berubah warna menjadi keruh karena operasi tambang emas. Foto: Lembaga Pengembangan Masyarakat Adat Suku Walani, Mee dan Moni

 

Exit mobile version