Mongabay.co.id

Pelaku Usaha Harus Hidup Berdampingan dengan Nelayan Tradisional

 

Upaya memperbaiki proses perizinan untuk operasional kapal perikanan nasional, kini terus dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo. Proses tersebut, sudah banyak dikeluhkan oleh para pemilik kapal perikanan, jauh sebelum dia menjabat sebagai Menteri KP menggantikan Susi Pudjastuti.

Salah satu upaya yang sudah dilakukan, adalah dengan menerbitkan 407 surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI). Secara simbolik, semua surat perizinan itu diserahkan kepada para pemilik kapal perikanan di Jakarta, Selasa (19/11/2019).

Dalam kesempatan tersebut, Edhy Prabowo meminta kepada para pelaku usaha untuk bisa jujur dalam melaksanakan usaha perikanan tangkap, terutama berkaitan dengan laporan hasil tangkapan dari laut. Selama ini, diketahui masih ada pelaku usaha yang enggan berlaku jujur melaporkan hasil tangkapannya secara dertil.

“Juga (harus) membayar pajak secara tertib. Pelaku usaha juga harus mengusung konsep sustainability (keberlanjutan) dalam menjalankan usahanya,” ungkapnya.

baca : Negara Butuh Pelaku Usaha untuk Kembangkan Potensi Laut

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri) secara simbolis menyerahkan 407 surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI) kepada para pemilik kapal perikanan di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (19/11/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Menurut Edhy, dirinya meminta para pelaku usaha untuk jujur, karena terkadang masih ada yang merasa tidak puas dengan keuntungan dari hasil tangkapan di laut. Akhirnya, dari hasil tangkapan yang ada, pelaku usaha memilih untuk tidak jujur supaya keuntungan bisa didapat dengan nilai yang lebih besar.

“Kadang-kadang karena sudah merasa untung 10, maunya untung 100. Untung 100, maunya 1.000. Kita harus bikin komitmen dan kesepakatan kalau kita semua akan menjaga keberlanjutan dan kelangsungan bisnis kita di industri kelautan ini,” tutur dia.

Dengan menerapkan kejujuran, Edhy menyebut para pelaku usaha akan bisa menjalankan usahanya dengan lebih baik dan bijak, termasuk dalam memanfaatkan sumber daya perikanan yang ada di laut. Jika memang dinilai sudah cukup dengan hasil tangkapan yang ada, maka dihimbau para pelaku usaha untuk tidak berlebihan dalam mengejar hasil tangkapan.

Nilai kejujuran yang diterapkan oleh pelaku usaha, juga pada akhirnya akan membantu Negara untuk bisa mewujudkan penerimaan pajak dari sektor perikanan bisa terus berkembang. Bentuk penerimaan itu, di antaranya dengan tidak melakukan aktivitas bongkar muat hasil tangkapan ikan (transshipment) di tengah laut secara langsung.

Dengan melaksanakan transshipment di tengah laut, Edhy menyebut kalau itu akan membuka peluang bagi para pelaku usaha untuk memindahkan hasil tangkapan ikan ke kapal lain tanpa mendarat lebih dahulu di pelabuhan perikanan terdekat. Setelah itu, kapal pembawa hasil tangkapan biasanya akan langsung mengangkut sumber daya ikan ke luar negeri.

“Praktik ini berpotensi mengurangi pendapatan pajak negara. Atas dasar pertimbangan (penerimaan pajak) juga, transshipment dilarang di tengah laut,” jelasnya.

baca juga : Optimisme Para Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan dengan Program Menteri Baru

 

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo (kiri berdiri) berdiskusi dengan para pemilik perikanan usai penyearahan secara simbolis 407 surat izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan (SIPI) di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (19/11/2019). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Nelayan Kecil

Tak lupa, agar usaha yang dijalankan para pebisnis di sektor kelautan dan perikanan bisa berjalan dengan baik, Edhy meminta kepada para pelaku usaha untuk bisa bijak dalam menjalankan usahanya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Termasuk, menjaga hubungan baik dengan masyarakat pesisir dan nelayan yang ada di kawasan tersebut.

Bentuk menjaga hubungan baik dengan nelayan dan masyarakat pesisir itu, di antaranya adalah dengan saling menghormati usaha yang dilaksanakan oleh masing-masing. Jika nelayan memasang alat penangkapan ikan (API) alternatif seperti bubu di kawasan pesisir pantai, maka itu harus dibiarkan dan jangan sampai rusak karena kapal perikanan milik pelaku usaha besar sedang berlayar di atasnya.

Dengan kata lain, Edhy sangat berharap pelaku usaha bisa selaras dengan nelayan skala kecil dan masyarakat pesisir saat menjalankan usahanya. Dia tidak ingin mendengar ada konflik antara pelaku usaha dengan nelayan kecil, seperti yang selama ini terjadi di beberapa kawasan pesisir.

Edhy mendorong pelaku usaha untuk bisa hidup berdampingan dengan nelayan kecil, karena Pemerintah Indonesia sedang mendorong nelayan kecil untuk terus berkembang mendapatkan penghasilan dan kehidupan lebih baik. Kemudian, Negara juga sedang menjalankan perlindungan kepada nelayan tradisional yang ada sekarang.

“Negara manapun tidak akan ada kekuatannya tanpa melibatkan rakyat (nelayan). Negara manapun ekonominya tidak akan kuat kalau pelaku usahanya tidak diberi tempat seluas-luasnya untuk berusaha,” ucap dia.

Dengan dipermudah proses perizinan, Edhy berharap para pelaku usaha bisa terus mengembangkan usahanya hingga lebih baik lagi, sembari menjalin hubungan baik dengan nelayan tradisional. Tetapi, dia mengingatkan agar para pelaku usaha bisa tetap menjaga usahanya dengan baik, tanpa melakukan praktik terlarang seperti kriminal, perbudakan, ataupun perdagangan orang.

“Begitu ada kapal asing yang masuk dan aktivitas yang mencurigakan di tengah laut, bapak dan ibu segera hubungi kami. Bapak dan ibu jadi mata dan telinga kami di tengah laut. Kita kerja sama menghentikan pencuri ikan karena pencuri ikan bukan musuhnya negara saja, tapi juga musuhnya pelaku usaha Indonesia,” tegas dia.

perlu dibaca : Diminta Presiden Fokuskan Perikanan Budi daya, Begini Tantangan yang Dihadapi Menteri KP

 

Sejumlah nelayan sedang menarik jaring berisi ikan hasil tangkapan di perairan Tidore, Sangihe, Sulut. Foto : Themmy Doaly/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan M. Zulficar Mochtar mengatakan, untuk melaksanakan percepatan proses perizinan, KKP memanfaatkan perkembangan teknologi melalui perizinan daring (online) agar para pelaku usaha dapat mengurus perizinan dengan cepat dan dari mana saja.

“Kami masih temukan pelanggaran-pelanggaran zonasi, ada kapal-kapal yang mark down, ada juga yang LKU (laporan kegiatan usaha) dan LKP (laporan kegiatan penangkapan ikan)-nya sangat rendah. Untuk itu kami mohon kerja samanya untuk membantu proses-proses yang ada,” tutur dia.

 

Modus Perizinan

Sebelumnya, Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia mengkritik KKP yang dinilai lambat dalam melaksanakan proses perizinan untuk kapal perikanan. Dari semua kapal yang belum mendapatkan perpanjangan izin operasi untuk penangkapan ikan, mayoritas adalah kapal-kapal yang bobotnya di atas 30 gros ton (GT).

Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, kapal-kapal yang belum memiliki izin tersebut jumlahnya masih banyak sampai sekarang. Kapal-kapal tersebut, biasanya melaksanakan modus dengan memperlambat proses perpanjangan izin untuk kapal mereka.

“Fakta tersebut seharusnya ditelusuri secara lebih detil oleh Pemerintah Indonesia,” ucap dia belum lama ini.

Abdi Suhufan menerangkan, di antara kapal ikan nasional yang masih belum memiliki izin melaut, adalah kapal yang sudah beroperasi ataupun sedang dalam proses pembangunan. Untuk itu, Pemerintah seharusnya bisa tahu bahwa ada kapal yang tidak berizin dan menjalankan modus tertentu yang banyak.

baca juga : Sudah Tepatkah Sertifikasi untuk Profesi Nelayan?

 

Kapal Pole and Line (Huhate) milik nelayan desa Pemana kecamatan Alok Timur kabupaten Sikka yang berbobot 30 GT ke atas. Foto : Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Selain memperlambat pengajuan perpanjangan izin, biasanya modus yang dipakai oleh para pemilik kapal, adalah dengan memalsukan dokumen perizinan, pemalsuan ukuran kapal dari aslinya (mark down), pembangunan kapal baru tanpa SIUP, spekulasi pemilik yang mengoperasikan kapal ikan untuk berlayar namun belum memiliki SIPI dan surat izin kapal pengangkut ikan (SIKPI).

“Modus dan praktik data kapal tidak berizin itu merugikan Negara, secara ekonomi dan lingkungan,” ucapnya.

Abdi menerangkan, jika Pemerintah tidak mau menelusuri lebih jauh status kapal-kapal tak berizin yang ada sekarang, maka dampaknya adalah akan timbul data yang biasa. Hal itu, karena Pemerintah tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah kapal ikan yang aktual dan beroperasi di wilayah perairan Indonesia.

Tanpa tahu secara detil, Abdi menyebut, Pemerintah juga tidak akan bisa menghitung berapa potensi pendapatan negara dari sektor perikanan. Jika itu sampai terjadi, maka akan muncul potensi berkurangnya pendapatan negara dari sektor perikanan. Untuk itu, agar kondisi itu tidak muncul, maka Pemerintah harus menelusuri secara detil kepastian kapal-kapal yang belum mendapatkan perpanjangan izin.

“Saya menduga, jumlah kapal ikan yang beroperasi saat ini lebih banyak dari jumlah izin kapal yang dirilis resmi oleh KKP,” tuturnya.

 

Exit mobile version