Mongabay.co.id

Penghapusan Amdal dan IMB Ancam Lingkungan dan Keselamatan Warga

Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

 

 

 

 

Wacana pemerintah menghapuskan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB) demi menyederhanakan birokrasi yang dinilai menghambat investasi, menuai kekhawatiran banyak pihak dari berbagai daerah. Niatan pemerintah, kedua izin itu tak perlu cukup dengan rencana detail tata tuang (RDTR).

Dari Jambi, Musri Nauli, Direktur Yayasan Keadilan Rakyat (YKR) Jambi menganggap wacana penghapusan amdal dan IMB menabrak aturan dan memicu dampak lingkungan lebih buruk. “Ada amdal aja banyak lingkungan rusak, apalagi itu dihapuskan,” katanya, baru-baru ini.

Baca juga: Wacana Hapus Amdal dan IMB Demi Kelancaran Investasi, Reaksi Pemerintah Daerah?

Mantan Direktur Walhi Jambi ini mencontohkan, pebangunan Mal WTC Batanghari, dibangun di atas Sungai Batanghari. Dalam aturan, pembangunan di sepadan sungai minimal berjarak 100 meter.

“Atau Hotel Abadi, dulu kawasan resapan air ditimbun, sampai sekarang masalah banjir tak selesai-selesai, karena tidak adalagi yang nampung air dari Sungai Maram itu,” katanya.

Nauli mendukung kalau proses perizinan investasi dipermudah, namun tak lantas menurunkan upaya perlindungan pada lingkungan. Karena kerusakan lingkungan akan berdampak pada manusia seperti masalah air.

“Tahun 2045, itu diprediksi 15% dari total penduduk Indonesia akan mengalami krisis air. Itu akan lebih mengerikan.”

Dia khawatir, kalau amdal hapus, kerusakan pada daerah sumber air akan makin cepat. “Amdal itulah yang mengunci agar itu tidak terjadi.”

 

Kabut asap yang ditimbulkan akibat kebakaran lahan di Sumsel, pada 2019 ini. Karhutla yang terjadi, terutama di konsesi banyak terjadi karena perusahaan tak patuh amdal, bahkan tak punya amdal. Bagaimana jadinya kalau amdal tak ada? Foto: BPBD Sumsel

 

Rudiansyah, Direktur Walhi Jambi menilai, pemerintah salah memahami konteks lingkungan yang seakan-akan amdal dan IMB sebagai penghambat investasi masuk. Padalah, katanya, kedua aturan punya fungsi penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan agar tetap lestari.

Selama ini, katanya, pemerintah di Jambi, kurang kontrol pada pembangunan atau monitoring pasca pembangunan investor. “Setidaknya, setiap enam bulan ada pengawasan, tapi itu tidak dilakukan.”

Kalau amdal dan IMB hapus, akan makin susah mengontrol pembangunan. “Bagaimana negara memastikan keberlanjutan [lingkungan] jika tidak ada dokumen amdal,” kata Rudi.

Walhi Jambi pernah menolak pembangunan Mal Lippo Plaza Jambi yang dibangun di daerah resapan air. Namun, katanya, pembangunan terus berlanjut setelah Pemerintah Kota Jambi mencabut gugatan dan izin amdal keluar.

Rudi bilang, Pemerintah Kota Jambi beralasan kalau Lippo telah investasi dan memberikan banyak manfaat [peluang lapangan pekerjaan] dibanding dampak buruk terhadap lingkungan.

“Ada amdal saja masih dilanggar, apalagi kalau dihapuskan, bagaimana kontrol pemerintah pada perusahaan?”

Jambi akan menghadapi dampak serius dari pembangunan yang mengabaikan amdal. Masalah limbah yang akan sulit dikontrol. Pencemaran di sungai tak hanya merusak kandungan air, katanya, juga habitat di dalamnya. Belum lagi polusi udara.

Rudi bilang, amdal mengatur detil bagaimana mitigasi, adaptasi dan risiko dari pembangunan investor. “Kalau itu [amdal] tidak ada, bagaimana kita mengotrolnya?”

Investasi, katanya, harus berkelanjutan, ramah lingkungan, dan mensejahterakan rakyat.

Kritik juga datang dari Riau. Di Riau, misal, kebakaran hutan dan lahan berulang kerap berkaitan dengan amdal tak proper perusahaan.

Catatan penegakan hukum lingkungan hidup di Riau, perusahaan-perusahaan yang menyumbang penyakit pernapasan itu ada yang tak patuh amdal, bahkan tak punya dokumen ini.

Kamis 7 Februari 2013, Direktur Utama PT Mekarsari Alam Lestari (MAL) Suheri Tirta dan Manager Proyek Fachruddin Lubis dihukum Pengadilan Tinggi Pekanbaru, enam bulan penjara denda Rp100 juta. Perusahaan anak usaha Duta Palma Group ini tak punya izin usaha perkebunan (IUP), amdal dan rencana kerja tahunan (RKT). Suheri Tirta juga legal manajer di grup perusahaan itu.

Sejak 29 April 2019, Suheri bersama Surya Darmadi jadi tersangka KPK karena menyuap bekas Gubernur Riau Annas Maamun, agar areal perusahaan sawit yang ditanam dalam kawasan hutan jadi bukan kawasan hutan dalam revisi RTRW Riau 2014.

KPK juga menetapkan, PT Palma Satu, anak perusahaan Darmex Grup milik Surya Darmadi sebagai tersangka.

MAL dibentuk 31 Agustus 1995 berkedudukan di Pelalawan. Bisnis MAL bidang perkebunan, pertanian dan perikanan. Berkebun sawit, MAL hanya mengantongi Keputusan Menteri Kehutanan 14 Oktober 1999 dan hak guna usaha (HGU) 17 Oktober 2005 seluas 4.745,33 hektar dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pelalawan.

MAL buka lahan gambut dan bikin kanal-kanal pembatas untuk kebun sawit. Sisa tebangan kayu dan semak belukar ditumpuk di areal yang akan ditanam sawit. Tumpukan-tumpukan itu terbakar berulangkali dari 2008-2009. Abu bekas terbakar untuk menaikkan ph tanah yang sebelumnya 3,85 jadi 6,45. Kedalaman gambut terbakar lebih tiga meter.

MAL tak melakukan upaya pemadaman maksimal dan tak punya sarana prasarana penanggulangan karhutla memadai. Termasuk sumberdaya manusia, tim khusus dan prosedur penanggulangan karhutla. Saat kebakaran 2007, MAL pernah ditegur Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Riau. Teguran berisi meningkatkan sarana prasarana dan buat prosedur penanggulangan karhutla.

Pada 2016, Mahkamah Agung menjatuhkan pidana denda Rp15,1 miliar pada PT Adei Plantation and Industry. Lahan Adei pada blok 19, 20 dan 21 Desa Batang Nilo Kecil, Kecamatan Pelalawan, Kabupaten Pelalawan, terbakar 17-18 Juni 2013.

Sebelum terbakar, blok 19, 20 dan 21 sudah dibersihkan dan sisa tebangan kayu maupun semak belukar ditumpuk di atas lahan. Pada 19 Juni, kebakaran itu meluas sampai ke blok seberang anak Sungai Jiat yang ditumbuhi sawit produktif.

Berdasarkan lampiran peta dalam dokumen amdal Adei, seluruh blok terbakar di areal Koperasi Kredit Primer Anggota (KKPA) dan masuk batas wilayah studi amdal Adei. Pengelolaan lingkungan jadi tanggungjawab perusahaan.

Awal api muncul di areal KKPA, tak ada pemadaman dari perusahaan. Pemadaman setelah api menjalar ke sawit produktif hanya dengan satu ember. Air dari anak Sungai Jiat yang ketika itu mulai kering karena dipotong parit keliling Adei. Tak efektif dengan ember, perusahaan menjemput satu mesin air di divisi III kebun inti. Masih tak cukup, setelah siang-malam padamkan api, Senior Manajer Kebun Nilo Barat I mendatangkan satu mesin air lagi.

Sampai 21 Juni, api belum juga padam. General Manajer atau Pimpinan Kebun KKPA perintahkan asisten memindahkan alat berat ke blok terbakar, buat isolasi dan kantong air. Perusahaan menambah dua mesin air lagi pada 22 Juni dan api baru padam akhir Juni.

 

Laut, tempat hidup orang Bajo di Sulaw,esi Tenggara sudah tercemar limbah nikel. Ada amdal saja kondisi laut tercemar seperti ini, bagaimana kalau tak ada? Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Rincian luas terbakar areal Adei antara lain, 304.703 meter persegi di areal kosong dalam kebun KKPA, 7.925 meter persegi dalam kebun sawit pola KKPA dan 211.115 meter persegi di aliran Sungai Jiat.

Berdasarkan peta lokasi perkebunan perusahaan, lahan bekas terbakar sebenarnya anak sungai yang masih hidup dan bermuara di Sungai Kampar. Sebelum terbakar, anak sungai itu tak mengalir baik karena menyempit dan dangkal setelah ditimbun tanah mineral.

Kesimpulan Bambang Hero Saharjo, ahli kebakaran hutan dan lahan kala itu, selama kebakaran telah melepaskan 270 ton karbon dan 24 ton partikel. Artinya, melewati batas ambang pencemaran.

Tahun ini, lahan Adei kembali terbakar 4,25 hektar. Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyegel areal terbakar pada 14 September 2019. Gambut kedalaman lebih satu meter itu telah ditanam sawit. Penyelidikan karhutla Adei dilanjutkan Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri. Penegakan hukum karhutla terhadap perusahaan selalu menyinggung amdal.

Okto Yugo Setyo, Wakil Koordinator Jikalahari, mengatakan, amdal sangat penting sebagai alat pengendalian karhutla.

Dia contohkan, PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) yang tak mematuhi amdal. Dalam lampiran peta amdal menyatakan, lokasi terbakar rawan kebakaran tetapi perusahaan tak menempatkan peralatan di lokasi itu.

Dua tahun lalu, Manejer LIH Frans Katihokang kena vonis Mahkamah Agung satu tahun penjara, denda Rp1 miliar. Di PN Pelalawan, Frans sempat dinyatakan tak bersalah.

Selain itu, katanya, dokumen amdal juga alat pertanggungjawaban perusahaan terhadap penguasaan lahan. Dalam perkara Adei, katanya, perusahaan sempat mengelak dari dakwaan karena menganggap areal terbakar dikuasai masyarakat. Amdal menyatakan, perusahaan bertanggungjawab atas lahan terbakar.

Okto juga mengkritik, pola perusahaan menyusun amdal dalam waktu singkat. Pelibatan masyarakat oleh perusahaan atau konsultan penyusun amdal juga tak seutuhnya sampai dokumen jadi. Untuk itu, banyak sengketa keterbukaan informasi terhadap dokumen amdal.

Komisi Informasi (KI) Riau menerbitkan keputusan tentang, dokumen amdal sebagai informasi publik yang terbuka dan wajib disediakan setiap saat oleh badan publik. Tiap orang yang hendak mengakses amdal, cukup melampirkan keputusan KI Riau dan menyurati atasan Pejabat Pengelola Informasi Daerah (PPID).

Pasca keputusan ini keluar, 22 Maret 2019, masih ada juga sengketa informasi tentang amdal yang ditangani KI Riau.

Okto menekankan lagi betapa penting dokumen andal. Kalau sampai dihapus, katanya, partisipasi masyarakat terhadap investasi berbasis lahan makin tak punya ruang.

Konflik lahan antara perusahaan atau investor dengan masyarakat, katanya, akan makin banyak.

Dengan penghapusan amdal, kata Okto, negara juga dirugikan, karena makin sulit mengontrol operasi dan meminta pertanggungjawaban perusahaan saat mencemari lingkungan. “Negara menanggung dampaknya.”

 

Keterangan foto utama: Ma’ani (40 ) dengan bayinya (6 bulan) di depan rumah yang ditutupi kain tebal untuk melindungi mereka dari debu batubara PLTU di dekatnya, Cilacap, Jawa Tengah. Salah satu anaknya, Juniko Ade Putra meninggal pada usia 2,5 tahun Juni 2011 dari penyakit pernapasan diyakini karena debu batubara. Ada amdal saja, polusi operasi dari usaha masih berdampak seperti ini terhadap warga, bagaimana kalau amdal hapus? Foto: dokumentasi Greenpeace/Kemal Jufri

 

 

Exit mobile version