Mongabay.co.id

Ketika Merkuri Ancam Keamanan Pangan Kasepuhan Cisitu

Foto: Lusia Arumingryas/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Desember 2012, jadi momen bersejarah bagi Haji Mochamad Okri, Kepala Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu, Banten. Kala itu, dia jadi tamu undangan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, ke Istana Negara Jakarta. Kasepuhan Cisitu, Lebak, Banten, diwakili Mochamad Ocri, mendapat penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara.

Penghargaan ini tersemat karena Kasepuhan Cisitu mandiri secara pangan yang dikelola dengan kearifan lokal. Masyarakat wajib mengonsumsi pangan hasil tani mereka, bisa dijual kalau keperluan pangan keluarga tercukupi.

Secara turun temurun, masyarakat Kasepuhan Adat Cisitu mewarisi kearifan lokal dari leluhur, mempertahankan dan mengembangkan sistem pertanian selaras alam dan berlangsung ratusan tahun. Saat memanen padi, Abah Okri, sapaan akrabnya, mewajibkan masyarakat menanam tanaman hortikultura.

Baca juga: Nestapa Anak-anak Cisitu dalam Cemaran Merkuri

Ada 1.300 hektar merupakan lahan pertanian dan dimiliki masyarakat, 83.000 hektar berupa hutan, 24 hektar pemukiman dan 27 hektar sarana penunjang ekonomi.

Hingga kini, ada 5.029 lumbung padi masyarakat, masing-masing mampu terisi 3,5-7 ton. Tiap tahun, lumbung padi meningkat 100-200 unit per tahun. ”Kita tidak akan tahu jika nanti ada bencana datang, hingga menyiapkan ketahanan pangan kampung,” katanya.

Hasil produksi pangan di wilayah ini, tak pernah habis meski telah dikonsumsi. Bahkan, sangat pamali (tabu) bagi masyarakat menjual padi yang mereka produksi sendiri, kalau keperluan harian tak tercukupi. Dia pun mewajibkan masyarakat mengonsumsi pangan hasil lahan sendiri.

Tak hanya lahan pertanian subur, Kasepuhan Adat Cisitu punya kekayaan emas, seperti di Blok Cikidang. Di sana ada bekas lubang tambang emas yang ditinggalkan perusahaan negara, PT Aneka Tambang (Antam) pada 2003.

Pada 2008, masa emas jadi idola masyarakat. Perkampungan Kasepuhan Adat Cisitu mulai menjamur gelundung-gelundung, hingga kini hampir 90% rumah di punya satu mesin ini.

Gelundung adalah alat untuk mengolah dari batuan jadi emas. Ada juga yang bermodal besar hingga punya sampai 20 gelundung.

 

kasepuhan Adat Cisitu, Lebak, Banten. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Galian tanah mengandung emas mereka bawa ke rumah warga dari lahan yang masuk Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Jarak sekitar satu jam dengan sepeda motor. Warga pun beralih dari petani dan pekebun ke petambang. Sekitar 70% warga beralih ke tambang emas.

Sebelum ada emas, 1.721 warga di Kasepuhan, baik Desa Situmulya dan Desa Kujangsari, menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebunan. Mereka menjaga hutan sekitar demi kelestarian alam dengan kearifan lokal.

Harga emas yang terus meningkat begitu menggoda hingga masyarakat berbondong-bondong mengubah mata pencaharian utama mereka ke tambang.

Mereka membangun pengolahan emas di sekitar rumah secara liar. Letak berhimpitan dengan rumah dan kolam ikan ataupun dekat lahan pertanian. Saat proses pembakaran (amalgamasi) emas menggunakan merkuri, asap menyebar sampai ke rumah-rumah sekitar.

Limbah amalgamasi emas pun dibuang begitu saja di sekitar kolam ikan dan sungai-sungai sekitar. Dampak kesehatan serius, melalui udara, tanah, dan air.

 

 

Beras terpapar merkuri

Pada 2014, Institut Teknologi Bandung meneliti kandungan merkuri pada beras di pertambangan emas skala kecil di Kasepuhan Adat Cisitu. Penelitian berjudul “Analisa Pengukuran Kandungan Merkuri Pada Beras dan Sedimen di sekitar Kegiatan PESK di Kasepuhan Adat Cisitu, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak, Banten” ini menyebutkan, ada hubungan antara PSEK dengan pencemaran merkuri pada sedimen dan beras di Cisitu.

”Sebagian besar sampel beras memiliki kandungan merkuri melebihi baku mutu berlaku,” begitu bunyi penelitian itu.

Berdasarkan perkiraan paparan merkuri harian masyarakat Kasepuhan Adat Cisitu berdasarkan rata-rata konsumsi beras nasional (BPS) sebesar 0,07 μg/kg BB perhari. Analisa risiko kesehatan ini masih berada di bawah batas maksimum paparan United State Environmental Protection Agency yaitu 0,1 μg/kg BB perhari.

Berdasarkan rata-rata konsumsi beras Kementerian Pertanian sebesar 1,02 μg/kg, berarti berada di atas batas maksimum paparan sesuai EPA.

Joseph mengatakan, risiko keracunan merkuri dalam tubuh mungkin terjadi dampak akumulasi bahan pangan yang terus dikonsumsi, meski laporan itu masih dikatakan aman.

 

Haji Mochamad Okri, Kepala Pemangku Adat Kasepuhan Cisitu di lumbung padi. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

”Pasalnya, masyarakat pemenuhan pangan lokal sendiri, konsumsi sendiri. Otomatis akan terakumulasi dan bisa lebih dari pengukuran itu,” katanya.

Kedaulatan dan keamanan pangan Kasepuhan Cisitu pun terancam.

Apalagi, ada kearifan lokal di Cisitu dalam mengonsumsi beras mereka sendiri.

Okri mengatakanm kini mereka boleh menjual dengan syarat kalau pemenuhan beras dalam satu tahun sudah terpenuhi. Tujuannya, memberikan nilai tambah bagi perekonomian masyarakat.

Yayasan Nexus3 Indonesia (dulu Balifokus) meneliti jenis beras berasal lumbung padi, dan kandungan merkuri mencapai 68 ppb hingga 1.186 ppb. Berdasarkan standar Organisasi Pangan Dunia (FAO), standar paparan merkuri hanya 30 ppb dan Standar Nasional Indonesia (SNI) 50 ppb.

”Artinya, beras di sana tidak layak untuk konsumsi,” kata Yuyun Isnawati, pendiri Nexus3 Indonesia dan penerima Goldman Environmental Prize untuk polusi dan limbah.

Proses kontaminasi merkuri ke dalam bahan pangan, katanya mulai dari pembuangan limbah dari pengolahan emas mereka ke sekitar, masuk dalam pengairan sawah dan tanah sekitar. Zat itu, akan menyerap ke tanah dan air, baik sumur ataupun lahan pertanian mereka.

Selanjutnya, zat dalam tanah terserap melalui bahan pangan, baik padi maupun sayuran. Bukan hanya di darat, perairan pun sama. Ikan di sekitar bisa terkontaminasi merkuri.

Yayasan Nexus3 Indonesia juga menemukan kandungan merkuri tinggi pada ikan-ikan tawar di Cisitu, dengan nilai 0,125 hingga 1,325 ppm.

Menurut SNI, kandungan Hg yang bisa ditorelansi untuk produksi pangan ikan dan hasil olahan 0,5 ppm. “Jadi, sebagian ikan di Kampung Adat Cisitu pun sudah tak lagi aman konsumsi,” kata Yuyun.

Pada acara Healthy Street Food Festival 2019, Agung Hendriadi, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian menyebutkan, ketersediaan bahan pangan tak cukup, tetapi kualitas dan keamanan pangan jadi bagian penting.

Tuntutan keamanan dan kualitas pangan pun mutlak. Manusia Indonesia, katanya, harus memiliki daya saing kuat.

“Artinya, kemampuan berpikir dan daya saing pikir harus menang. Bagaimana mampu menghasilkan produk berdaya saing kalau otak kita tidak berdaya saing. Otak akan berdaya saing jika pangan aman, makanan sehat,” katanya saat ditemui di Jakarta, 10 November lalu.

 

Kondisi belakang rumah Yeni, letak sumur air mereka dekat dengan pembuangan limbah merkuri sekaligus kolam ikan. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Soal bahan pangan tercemar merkuri di Lebak, Banten, Kementan sedang identifikasi. “Pencemaran itu sumber ada tiga, ada air, tanah dan udara.”

Kalau lahan pertanian dekat dengan pembuangan limbah, katanya, pasti akan beracun.

Untuk itu, Kementerian Pertanian sedang pemetaan wilayah mana yang terkontaminasi logam berat, baik di darat, air dan udara.

“Harus keras kita karena ini menyangkut masa depan, masa depan anda, masa depan anak-anak anda.”

Kalau terbukti buangan limbah dekat dengan lahan pertanian, Agung berencana mengatur dan meminta pembuangan limbah harus melalui proses terlebih dahulu. Dengan begitu, tak terjadi pencemaran.

Syahrul Yasin Limpo, Menteri Pertanian belum mengetahui ada cemaran merkuri pada beras. “Itu kan per kasus, saya perlu buktinya seperti apa. Saya saat ini mau berbicara per kecamatan. Jika ada case, saya mau tau. Tunjukkan saya datanya,” katanya kepada Mongabay.

Okri tidak tahu apakah benar beras tercemar atau tidak karena itu urusan kesehatan. “Masyarakat kan usaha menambah keuntungan hasil pertanian otomatis aktivitas menambang emas pakai kuik atau merkuri. Abah tidak tahu apakah itu membahayakan atau tidak.”

Kalau gara-gara menambang membahayakan, seharusnya yang memiliki wewenang segera bertindak dengan mengalihkan ke sektor lain.

 

Uun, seorang ibu yang memproses tanah di samping rumahnya menggunakan merkuri untuk mendapatkan emas. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

Penyakit ‘aneh’

Yoyo Yohenda, Sekretaris Lembaga Adat Kasepuhan Cisitu membenarkan, sejak 2015 hingga kini banyak penyakit aneh datang di Kampung Cisitu. Penyakit aneh ini, katanya, seringkali tak pernah ditemui sebelumnya.

”Seperti tremor, muntah darah kemudian tiba-tiba meninggal, anak-anak lahir tidak normal itu muncul,” katanya.

Sebelumnya, jarang sekali terjadi, biasa banyak orang mengabaikan penyakit itu. Baru pada 2015 dari penelitian terbukti, penyakit muncul karena terpapar merkuri.

Puskesmas Cisungsang, paling dekat dari Kasepuhan Cisitu. Berjarak sekitar tujuh kilometer atau setengah jam pakai sepeda motor. Jalannya berbatu dan menanjak. Puskesmas ini masih belum menyediakan fasilitas ruang perawatan (non-perawatan).

Kondisi ini, menyebabkan masyarakat kalau berobat seringkali langsung ke RSUD Palabuhan Ratu.

Joseph Frederick William, dokter yang meneliti dampak merkuri di Cisitu dari Yayasan Medicuss Group mengatakan, paparan merkuri perlu dibuktikan melalui uji laboratorium. Meski begitu, bisa terlihat dari gejala klinis awal.

”Gangguan paling ringan itu adalah muncul tekanan darah tinggi, gangguan fungsi ginjal, ISPA (infeksi saluran pernapasan akut-red) dan syaraf,” katanya.

 

Bagaimana merkuri meracuni tubuh?

Dokter William mengatakan, merkuri bisa masuk melalui pori-pori kulit, udara, air dan makanan. Melalui kulit, kalau merkuri bersentuhan langsung. Sedangkan, melalui makanan dengan cara merkuri ini diserap makanan dan hewan yang jadi makanan.

”Nanti merkuri ini bisa dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal, dan dikeluarkan. Meski demikian kandungan yang dikeluarkan kurang 10% dan tertinggal masuk dalam lemak tubuh,” katanya.

Lemak ini merupakan selubung dari sistem syaraf paling luar, hingga pengikatan merkuri dan lemak ini menyebabkan pengelupasan dari selubung syaraf. Hal inilah yang menyebabkan gangguan sistem syaraf, seperti tremor bagi orang dewasa.

Adapun, penyakit-penyakit gangguan pendengaran, cacat fisik, tidak berkembangnya fungsi organ ini perlu pengecekan kandungan merkuri dalam tubuh ibu dan anak.

Berdasarkan penelitian BaliFokus pada 2015 di Cisitu, ada anak-anak terkonfirmasi terpapar merkuri dan menderita gangguan, antara lain bentuk kepala abnormal, menderita kejang-kejang sejak dua usia bulan, gangguan pendengaran, bibir sumbing, manformasi telinga dan saluran telinga, epilepsi, celebral palsy, ruam kulit, dan sindaktili (kondisi jari dempet pada bayi).

Berdasarkan data Puskesmas Cisungsang, 2015-2019, ada tren penyakit ini terus menempati posisi tertinggi dari kunjungan pasien, yakni, tekanan darah tinggi, gastritis, myalgia (nyeri otot), ISPA dan demam.

Wiwin Windarti, Kepala Puskesmas Cisungsang mengatakan, bahwa perlu uji laboratorium untuk menyatakan, apakah banyak masyarakat terkena dampak merkuri atau tidak. Kendala saat ini, katanya, laboratorium sangat jauh dari lokasi, ada di Tangerang Selatan.

”Kalau dari gejala belum ada signifikan, karena memang perlu uji laboratorium. Kalau secara spesifik dari pemeriksaan belum ada ke arah sana. Mungkin tunggu 10 tahun lagi.”

Dokter ini mengatakan, dampak paparan merkuri bisa menganggu syaraf. Untuk ibu hamil bisa menganggu masa kehamilan, misal, menyebabkan keguguran. Meski demikian, perlu ada penelitian lebih lanjut penyebab keguguran ini adalah merkuri.

“Kasus ada, jumlah meningkat, cuma tidak berani mengatakan penyebab merkuri karena perlu penelitian lebih lanjut. Masih samar. Setiap tahun bervariasi wanita keguguran kurang dari 12 minggu.”

 

-Lumbung padi yang ada di Rumah Ageng Kasepuhan Adat Cisitu. Sampai saat ini, ada 5.029 lumbung padi yang ada di Kasepuhan ini. Satu lumbung padi terisi sekitar 3,5-7 ton. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Setop sumbernya

Mencari solusi cemaran merkuri, dengan menghentikan perdagangan dan peredaran merkuri, baik lokal maupun global. Untuk mendapatkan merkuri di desa ini sangat mudah, di toko-toko kelontong, satu botol harga Rp750.000-Rp 1 juta. Kenaikan harga tergantung pada permintaan, makin banyak, biasa harga makin mahal.

”Solusinya itu, baik pemerintah maupun masyarakat harus mengakui ada masalah, menghentikan sumber merkuri, perdagangan harus setop dan dilarang,” kata Yuyun.

Cemaran pada bahan pangan sudah tak bisa dihindari, katanya, namun ada langkah bisa dilakukan untuk mengurangi kontaminasi, seperti, mengurangi kadar rendaman air saat mengairi sawah. Dengan begitu, kadar konsentrasi merkuri terserap tidak terlalu banyak, misal, air rendaman hanya lima cm.

Imran Agus Nurali, Direktur Jenderal Kesehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan mengatakan, satu-satunya jalan dengan memutus mata rantai yang menyebabkan dampak kesehatan. ”Kami sudah memberikan pelayanan, sosialisasi tetapi kalau tidak diputus akar, akan jalan terus dampaknya,” katanya.

Ditjen Kesehatan Lingkungan, katanya, bertugas mengubah perilaku dan langkah pencegahan. ”Kalau tidak ada alternatif ekonomi bagi masyarakat, ya tetap susah.”

Wiwin pun tak pernah henti terus sosialisasi dampak merkuri bagi kesehatan masyarakat. Ada yang mau berubah perilaku, ada yang tidak. Perlu ada tindakan yang lebih nyata dan tegas dilakukan untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat, misalnya penegakan hukum dan pengalihan mata pencaharian.

”Itu juga tergantung dari masyarakat, mau berubah atau tidak. Karena efeknya menahun dan lama mungkin tidak dirasakan langsung. Itu yang membuat tak peduli pada dirinya sendiri. Itu masalah besar.”

Kasepuhan Cisitu, satu dari 900 titik pertambangan emas skala kecil di Indonesia. Pencemaran merkuri pada bahan pangan, seperti beras dan ikan, bisa merusak kedaulatan pangan dan berdampak pada kesehatan masyarakat, serta mengancam kehidupan maupun masa depan generasi mendatang.

 

 

Keterangan foto utama:   Panen padi masyarakat Kasepuhan Adat Cisitu. Pada 2014, Institut Teknologi Bandung melakukan penelitian kandungan merkuri pada beras di Cisitu. Hasilnya, sebagian besar sampel beras memiliki kandungan merkuri yang melebihi baku mutu yang berlaku. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version