Mongabay.co.id

Walhi: Bukan Dihapus, Amdal, dan IMB, Harusnya Melengkapi Rencana Detail Tata Ruang

Hamparan lahan pertanian warga di Kabupaten Bandung, yang berubah menjadi kolam lumpur hitam dampak limbah pabrik tekstil. Ada amdal, masih terjadi pelanggaran, apalagi kalau tidak ada. Benarkah rencana detail tata ruang, bisa menjawab persoalan-persoalan seperti ini? Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

 

 

 

 

Wacana pemerintah menghapus dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan izin mendirikan bangunan (IMB) dengan cukup pakai rencana detail tata ruang (RDTR) mendapat kritikan dari berbagai pihak, termasuk organisasi lingkungan hidup, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). Mereka menilai, wacana ini membahayakan lingkungan Indonesia. Seharusnya, amdal, IMB dan RDTR saling melengkapi dan menguatkan.

Wacana ini muncul karena ada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24/2018 tentang pengecualian kewajiban menyusun Amdal Untuk usaha dan/atau kegiatan yang berlokasi di daerah kabupaten/kota yang memiliki rencana detai tata ruang (RDTR).

“Wacana ini akan berbahaya bagi masa depan lingkungan, rakyat dan generasi mendatang,” kata Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Eksekutif Nasional di Jakarta, Senin (25/11/19).

Baca juga: Wacana Hapus Amdal dan IMB Demi Kelancaran Investasi, Reaksi Pemerintah Daerah?

Dia mengatakan, anggapan amdal dan IMB menghambat investasi pakai rujukan tidak jelas. Kondisi ini, katanya, bisa makin mengkhawatirkan. Saat negara lain berlomba memproteksi lingkungan hidup dari bahaya krisis iklim, Indonesia justru mundur kalau wacana ini jalan.

Dia tak menampik, banyak permasalahan dalam pelaksanaan amdal. Pelanggaran amdal dan IMB, katanya, banyak tak tersentuh hukum. Meski begitu, bukan berarti kedua dokumen ini lebih baik dihapus. Justru, katanya, harus penguatan penegakan hukum.

Selama ini, katanya, praktik amdal banyak copy paste dari satu amdal ke amdal lain. “Itu harusnya penegakan hukum berjalan. Ini yang kadang-kadang masalahnya apa, jalan keluarnya apa? Gak nyambung,” kata Alin, sapaan akrabnya.

Amdal, katanya, sebagai dokumen penguatan lingkungan guna memastikan jaminan keselamatan dan ruang keterlibatan partisipasi bagi masyarakat dalam proses pembangunan. Rencana detail tata ruang (RDTR), amdal dan IMB, katanya, harus saling melengkapi dan saling memperkuat.

Dia katakan, Indonesia alami risiko fiskal Rp22 triliun karena bencana, sementara alokasi cadangan APBN hanya Rp2,5 triliun. Sebagai negara rentan bencana, katanya, penting memastikan dalam setiap perencanaan pembangunan mengutamakan aspek penyelamatan lingkungan dan sosial.

Ada ide penghapusan amdal dan IMB itu, katanya, justru makin memperbesar risiko fiskal. “Makin membuat kita rentan dengan bencana ke depan. Belum lagi, ditambah risiko-risiko perubahan iklim. Ini harusnya jadi pertimbangan sebelum memunculkan satu wacana.”

 

Asap yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan sangat mengganggu kehidupan masyarakat di Pontianak. Foto: Aseanty Pahlevy/Mongabay Indonesia

 

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ ABPN yang ‘membangkitkan’ wacana ini. Alin heran dan mempertanyakan, kementerian ini sebenarnya memahami risiko-risiko bencana dan potensi kerugian negara muncul kalau pembangunan abai aspek lingkungan dan masyarakat.

Satu sisi, katanya, bank-bank multinasional– sumber utang Indonesia– memperlemah safeguard dengan harapan sistem negara tujuan menguat. “Menghapuskan amdal justru menimbulkan persepsi negatif negara-negara maju terhadap Indonesia. Justru sumber keuangan yang berspektif lingkungan akan berkurang.”

Ahmad Rozani, devisi Geographic Information System (GIS) Walhi Nasional mengatakan, amdal instrumen penting, meskipun belum sepenuhnya jadi alat kontrol terhadap pembangunan.

Begitu juga IMB, katanya, sebagai instrumen penting dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Logika ada RDTR bisa hapus amdal dan IMB tak bisa diterima. “Menurut kami ketiganya satu paket penting yang harusnya saling melengkapi. Bukan justru saling menghapuskan,” katanya.

Secara konsep, RDTR baru berbicara soal peruntukan zonasi tata ruang, belum membahas detail proyek apa yang akan dijalankan.

“Dalam konteks RDTR, Wamen ATR/BPN sendiri mengatakan ada hampir 6.000 lebih pelanggar tata ruang. Artinya, upaya penegakan hukum dalam tata ruang itu tak berjalan.”

Sebetulnya, kata Ahmad, hal ini penanda penting kalau penghambat utama investasi ini ada soal penegakan hukum. “Bukan menghapus yang dianggap menghambat seperti amdal dan IMB.”

Lagi pula, katanya, RDTR dalam ruang perencanaan dan pemanfaatan, masih belum berjalan seperti harapan. Ia belum bisa mengawasi dan mengendalikan tata ruang.

Sampai saat ini, katanya, ketidakpatuhan kepala daerah terkait RDTR masih sangat tinggi. Karena itu, kalau amdal dan IMB hapus, justru makin rentan terhadap upaya penyelamatan lingkungan.

Amdal, katanya, akan jadi instrumen efektif mengendalikan kerusakan lingkungan kalau pengawasan ketat dan waktu lebih panjang hingga melibatkan partisipasi warga lebih luas.

Abdul Gofar dari Walhi Jawa Tengah mengatakan, Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin lebih menitikberatkan pada percepatan investasi dengan deregulasi dan memangkas sebanyak mungkin regulasi yang dianggap menghambat investasi. Hal ini, bisa yerlihat dari penambahan nomenklatur Kemenko Maritim dan Investasi.

“Dalam prinsip pembangunan, teorinya harus menopang tiga pilar utama, yaitu lingkungan, sosial masyarakat dan ekonomi. Tiga hal ini harus dipertimbangkan dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan.”

Arah kebijakan Pemerintahan Jokowi, saat ini lebih banyak mengutamakan aspek ekonomi dan mengabaikan lingkungan juga sosial.

Di dalam amdal itu, katanya, akan masuk respon suatu amsyarakat di dalam pembangunan proyek. “Apakah menerima atau menolak? Bagaimana nanti assessment terkait potensi berapa banyak pencemaran akan terjadi, bagaimana cara mengatasinya? Itu ada di amdal yang melengkapi aspek ekologi dan sosial dalam kerangka pembangunan,” katanya.

Dia tak habis pikir kalau amdal dan IMB hilang, hanya ada RDTR. “Ini keliru. RDTR itu hanya mengatur soal zonasi atau peruntukan kawasan. Tidak spesifik berbicara soal proyek,” katanya.

Gofar mengatakan, kalau wacana ini jalan, merupakan kekeliruan paradigm sangat fatal. Dia tak menampik dalam proses amdal masih banyak kelemahan tetapi secara konsep, cukup baik.

“Amdal ini kan sesuai mandat Peraturan Pemerintah Nomor 27/2012 tentang izin lingkungan. Dalam PP ini disebut, ekonomi harusnya diposisikan sebagai bagian dari lingkungan hidup. Setiap pemerintah daerah sebelum menyusun tata ruang, harus menginventarisasi dan menetapkan neraca arus sumber daya alam.”

“Daripada amdal dan IMB dihapus, kenapa nggak RDTR-nya saja yang dihilangkan? Fakta, sampai hari ini dari 514 kabupaten kota, baru 53 sudah punya RDTR. Artinya, pemerintah daerah mungkin masih menganggap ini tidak wajib,” kata Edo Rakhman, Koordinator Kampanye Walhi Nasional.

Kondisi ini, katanya, mengharuskan penegakan hukum kepada kepala daerah yang tak patuh terhadap perencanaan ruang pembangunan bukan kemudian menghapus amdal dan IMB. Amdal, IMB dan RDTR, katanya, saling melengkapi, bukan saling menghilangkan.

“Dimana lagi kontrol masyarakat kalau amdal dihilangkan? Tidak ada lagi proses konsultasi publik untuk meminta masukan atau menerima complain dari masyarakat terkait dampak pembangunan,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama: Hamparan lahan pertanian warga di Kabupaten Bandung, yang berubah menjadi kolam lumpur hitam dampak limbah pabrik tekstil. Ada amdal, masih terjadi pelanggaran, apalagi kalau tidak ada. Benarkah rencana detail tata ruang, bisa menjawab persoalan-persoalan seperti ini? Foto: Kementerian Lingkungan Hidup

 

Air laut di sekitar penumpukan batubara untuk PLTU Pangkalan Susu sudah bewarna coklat, tak jernih lagi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version