Mongabay.co.id

Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

“Belum lama ini saya terpaksa buang ikan. Terlalu banyak (ikan ditangkap), tapi tidak ada penadah (pengepul ikan),” kata Saharudin Meturan kepada Mongabay, Jumat (27/9/2019).

Saharudin yang lebih akrab dipanggil Udin adalah salah satu nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Ia memiliki bagan dan perahu motor berkekuatan 40 PK.

Setiap hari Udin melaut. Sekali melaut, ia bisa mendapatkan 10 ton ikan pelagis kecil seperti ikan Layang dan Kembung.

Hasil tangkapan yang melimpah ini, menurut Udin, merupakan dampak positif dari kebijakan pemerintah melakukan penghentian sementara (moratorium) perizinan eks kapal asing di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 714 Laut Banda dan WPP 718 di Laut Arafura.

Sedangkan Alimudin Banda, nelayan di Desa Satehan, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara mengatakan ia dan rekan-rekannya bisa menangkap ikan puluhan ton di rumpon miliknya. Bahkan terkadang kapal mereka tidak mampu memuat ikan.

Alimudin menuturkan saat nelayan kapal asing Tiongkok dan Filipina beroperasi perairan di pertengahan Dobu, Kabupaten Kepulauan Aru, dan perairan Kei Besar, Maluku Tenggara, menangkap ikan Layang (ikan Momar dalam bahasa lokal). Selain daerah penangkapannya yang jauh, juga karena cahaya lampu kapal asing lebih banyak.

“Nah, setelah kapal-kapal asing itu keluar (dari perairan Indonesia), kami mulai dapat banyak ikan Momar karena cahaya lampu di rumpon kapal asing sudah tidak ada. Momar mulai masuk ke perairan dimana kami memasng rumpon,” ungkapnya.

baca : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Saharudin Meturan, seorang nelayan dari Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Tetapi di sisi lain, nelayan juga merasakan dampak negatif moratorium. Moratorium diberlakukan untuk menertibkan kapal perikanan yang tidak mempunyai izin, izinnya telah kadaluarsa atau memanipulasi perizinan kapal. Salah satu perizinan kapal yaitu surat izin penangkapan ikan (SIPI). Dengan dibekukan atau dicabutnya SIPI, maka kapal itu tidak boleh melakukan operasi di laut.

Moratorium beroperasinya kapal perikanan berukuran besar di wilayah perairan berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.56/2014 tentang Penghentian Sementara Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di WPP RI dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.57/2015 tentang Penghentian Sementara Kapal Eks Asing dan Pelarangan Transshipment.

Sejumlah perusahaan perikanan di Maluku Tenggara dan Kota Tual kena dampak moratorium. Dua diantaranya yaitu PT Maritim Timur Jaya (MTJ) dan PT Binar Surya Buana (Binar) milik CEO Artha Graha Group, Tomy Winata.

Selain perusahaan milik Tomy, ada pula CV. Pulau Mas, perusahaan yang bergerak di usaha ekspor ikan karang hidup. Perusahaan ini berdomisili di Bali, dan memiliki cabang di Kota Langgur, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara.

Perusahaan-perusahaan tersebut biasa menampung ikan hasil tangkapan para nelayan seperti Udin sebelum moratorium. Kapal-kapal asing dari Hongkong dan Thailand juga jadi penadah ikan di Maluku Tenggara.

“Kalau ada kapal ikan Hongkong dan Thailand, mereka langsung beli ikan kami. Berapa pun banyaknya. Makanya, kami sesalkan kebijakan moratorium yang melarang kapal-kapal asing masuk ke sini untuk mencari dan membeli ikan,” tandas Udin.

baca juga : Begini Klaim Kesuksesan Perikanan di Maluku menurut Susi

 

Sebuah kapal penangkap ikan di Pantai Desa Sathean, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Namun menurut Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan, DKP Maluku Tenggara, Edward Belson, meningkatnya jumlah produksi perikanan tangkap di daerah itu bukan dampak langsung dari kebijakan moratorium. Tetapi karena karena penangkapan ikan di Maluku Tenggara oleh nelayan musiman dengan alat tangkap ikan sederhana.

“Jadi (moratorium perizinan kapal) tidak terlalu berdampak, kecuali kapal besar yang beroperasi di atas 12 mil laut. Dulu kapal besar beroperasi pun tidak masuk di dalam pulau yang menjadi lokasi tangkapan nelayan di sini,” kata Belson kepada Mongabay Indonesia di ruang kerjanya, Senin (30/9/2019).

 

Kaya Potensi, Pemanfaataan Rendah

Kepulauan Kei memiliki nilai strategis dalam pembangunan nasional karena merupakan pusat kegiatan nasional sektor perikanan tangkap. Hal itu dibuktikan dengan penetapan Kepulauan Kei menjadi salah satu kawasan minapolitan di Indonesia sesuai Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan bernomor KEP.32/MEN/2010.

Secara administratif Kepulauan Kei terdiri dari satu kabupaten dan satu kota, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual. Sedangkan perairan Kepulauan Kei dimasukkan masuk dalam WPP 714 (Laut Banda) yang berpotensi besar dalam perikanan tangkap.

Data Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual 2014 menyebutkan, produksi total perikanan sebesar 6.712 ton dengan jumlah tangkapan diperbolehkan (JTB) sebesar 5.369 ton Produksi perikanan tersebut di peroleh dari komoditi-komoditi perikanan seperti ikan pelagis, ikan demersal, ikan karang dan non ikan.

perlu dibaca : Menteri Susi Ditagih Janji Jadikan Maluku Lumbung Ikan Nasional

 

Ikan Teri dan rumput laut yang dijemur di pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan data DKP Provinsi Maluku menunjukkan produksi perikanan tangkap di Maluku Tenggara pada 2018 mencapai 102.497 ton. Sementara berdasarkan data DKP kabupaten Maluku Tenggara, jumlah produksi perikanan tangkap meningkat setiap tahun, yakni 66.835 ton pada 2014, 92.896 ton pada 2015, naik menjadi 93.562 ton pada 2015, dan 2017 sebanyak 94.121 ton.

DKP Maluku Tenggara menargetkan produksi perikanan tangkap 94.591 ton, sedangkan sektor perikanan budidaya, khususnya rumput laut sebanyak 17.708 ton pada 2019.

Sementara realisasi sampai dengan triwulan kedua dan bulan Agustus 2019 sudah mencapai 81.324 ton dari target 112.300 ton. Rinciannya, produksi tangkap tercatat telah mencapai 67.162 ton, sedangkan budi daya sudah mencapai 14.162 ton.

Produksi per jenis ikan, antara lain Cakalang 208 ton (2014), 236 (2015), 241 (2016), dan 233 ton (2017). Kemudian Tenggiri 538 ton (2014), 227 ton (2015), 172 ton (2016) dan 285 ton (2017), Tongkol 647 ton (2014), 829 ton (2015), 850 ton (2016) dan 835 ton (2017), dan ikan Kembung 299 ton (2014), 425 ton (2015), 450 (2016), dan 465 ton (2017).

Selain itu, ikan Layang 362 ton (2014), 522 ton (2015), 520 ton (2016) dan 899 ton (2017), dan ikan Teri 741 ton (2014), 1.163 ton (2015), 1.182 ton (2016) dan 1.163 ton (2017).

baca juga : ‘Perang’ Gubernur Maluku Karena Kesal Tak Kunjung Jadi Lumbung Ikan Nasional

 

Seorang warga menggunakan perahu motor fiberglass bantuan dari Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) untuk mengangkut motor di Pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Alat Tangkap Tradisional

Akan tetapi sumber daya ikan yang melimpah ini, tidak sebanding dengan pemanfaatannya. Pasalnya, rata-rata nelayan di Maluku Tenggara dan Kota Tual merupakan nelayan ‘musiman. Hanya di beberapa desa seperti Sathean, Kecamatan Kei Kecil, dan Selayar, Kecamatan Kei Kecil Barat, nelayannya melaut setiap hari.

Dosen Politeknik Perikanan Tual, Benediktus Jeujanan yang pernah melakukan penelitian tesis tentang nelayan rumpon di Perairan Kepulauan Kei ini menyebutkan, hampir 90 persen nelayan di Kota Tual dan Maluku Tenggara merupakan nelayan tradisional. Alat tangkap yang digunakan yakni jaring bobo (purse seine), bagan (lift net), jaring insang (gill net), pancing tonda (troll line), pancing ulur (hand line) dan pancing tegak (vertical line).

Daerah penangkapan nelayan juga di sekitar pantai, sekira 0-4 mil, karena ukuran armada penangkapan yang dimiliki rata-rata berukuran kecil. Perikanan tradisional masih melekat pada nelayan-nelayan di pesisir ini.

“Karena memang nelayannya juga nelayan tradisional. Alat tangkapnya tradisional,” ujar Benediktus kepada Mongabay Indonesia, Jumat (27/9/2019).

Tak hanya alat tangkap, minimnya sumber daya manusia (SDM) nelayan dan rendahnya harga komoditas ikan juga jadi masalah lainnya. Benediktus mengungkapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pernah memberikan bantuan satu unit kapal pole and line (huhate), tapi tidak dipakai oleh nelayan karena tidak memiliki skill.

Hal teknis seperti ini jarang diperhatikan oleh pemerintah daerah sehingga ikan-ikan pelagis besar tidak menjadi tangkapan unggulan nelayan setempat. Ikan Cakalang, Tuna dan ikan pelagis besar lainnya yang terlihat di pasar, ditangkap menggunakan pancing tonda.

menarik dibaca : Setelah Nyatakan Perang, Gubernur Maluku Bersikukuh Tegaskan 5 Tuntutan Kepada Menteri Kelautan

 

Suasana pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Hal senada disampaikan Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kota Tual, Silvinus M.C. Jaftoran kepada Mongabay Indonesia, Senin (30/9/2019). Menurutnya, sumber daya perikanan di Maluku Tenggara dan Tual belum dimanfaatkan secara optimal, karena rata-rata nelayan masih menggunakan alat tangkap tradisional.

Ia membandingkan dengan daerah kaya ikan lainnya seperti di Bitung, Sulawesi Utara dan beberapa daerah di provinsi Sulawesi Selatan. Meski dengan kapasitas kapal yang sama, nelayan di dua provinsi itu mendapatkan hasil tangkapan melimpah sehingga meningkatkan kesejahteraan mereka.

Di sisi yang lain, lembaga pemerintah pemangku kepentingan perikanan di Kota Tual sudah memadai. Seperti adanya perwakilan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, PPN, DKP dan perusahaan perikanan. Namun, semua itu belum berdampak signifikan pada peningkatan taraf hidup nelayan maupun masyarakat Tual pada umumnya.

“Dulu orang asing datang ambil ikan kita. Sekarang kapal asing sudah tidak ada lagi, tetapi sama saja, kita masih tetap saja penonton, karena peralatan belum terlalu modern, dan SDM masih rendah,” terang Silvinus.

***

*Tajudin Buano, jurnalis Harian Pagi Ambon Ekspres. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version