Mongabay.co.id

Ironi di Kepulauan Kei : Perlunya Program Pemberdayaan Nelayan Tradisional [2]

Nelayan bersiap mendarat di Desa Waepure, Kecamatan Airbuaya, Kabupaten Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, setelah melaut selama 10-12 jam di Laut Seram. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

 

Kepala Bidang Pemberdayaan Nelayan, DKP Kabupaten Maluku Tenggara, Edward Belson kepada Mongabay Indonesia, Senin (30/9/2019) mengungkapkan, selama 2013-2017 kabupaten ini tidak mendapat bantuan alat tangkap. Baru pada 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan bantuan 24 unit perahu perahu motor fiberglass lengkap dengan jaring dan mesin lewat Dana Alokas Khusus (DAK).

Kemudian, 22 unit kapal bantuan dengan daya muat 1,5 Gross Tonase (GT) tahun 2019, namun belum disalurkan kepada Kelompok Usaha Bersama (KUB). Bantuan alat tangkap dari pemerintah daerah sangat sedikit, karena keterbatasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).

KKP menyebutkan pada 2017, Koperasi Perikanan Cakalang Indah di Kota Tual mendapatkan bantuan tiga paket gill net permukaan senilai Rp86,6 juta, Koperasi Nelayan Mina Malheno sebanyak lima paket gill net permukaan senilai Rp86,6 juta, dan Kopperik Futar Laut sebanyak dua paket Rawai Dasar senilai Rp26,5 juta.

Pada tahun yang sama, nelayan di Tual juga memperoleh bantuan kapal penangkapan ikan. Yakni Koperasi Perikanan Cakalang Indah sebanyak tiga unit kapal ukuran 5 GT senilai Rp780 juta, Koperasi Nelayan Mina Malheno sebanyak lima unit kapal 5 GT senilai Rp1,3 miliar, Kopperik Futar Laut sebanyak tiga unit kapal 5 GT senilai Rp780 juta, Kopperik Abtobur Indah sebanyak dua unit kapal 5 GT senilai Rp520 juta, Koperasi Nelayan Ded Lood sebanyak dua unit kapal 5 GT senilai Rp520 juta, Kopperik Futar Laut sebanyak dua unit kapal 5 GT senilai Rp520 juta, dan Kopperik Hakimson sebanyak dua unit kapal 5 GT senilai Rp780 juta.

Namun, kata Belson, bantuan alat tangkap khususnya untuk nelayan Maluku Tenggara tidak dimanfaatkan secara optimal. Penyebabnya, tidak tepat sasaran dan adanya kecemburuan sosial di dalam kelompok nelayan.

baca : Ironi di Kepulauan Kei : Kaya Potensi Perikanan, Tapi Miskin Pemanfaatan [1]

 

Sebuah kapal penangkap ikan di Pantai Desa Sathean, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Saharudin Meturan, seorang nelayan Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Maluku Tenggara, kepada Mongabay, Jumat (27/9/2019) mengatakan meski setiap hari melakukan aktivitas penangkapan, namun tidak mendapatkan bantuan. Bantuan alat hanya diberikan kepada kelompok nelayan yang diduga memiliki kepentingan politik dengan anggota DPRD dan kepala daerah saja.

“Dampaknya, (kapal bantuan) tidak digunakan. Body-nya didaratkan. Mesinnya dijual. Kadang dipakai untuk keperluan lain. Sedangkan kita yang benar-benar nelayan, kita tidak mendapatkan apa-apa,”ungkapnya.

Sebagian nelayan di Desa Sathean juga tidak mendapatkan bantuan alat tangkap. Justru, nelayan membeli dari pejabat pemerintahan yang mendapatkan bantuan terssebut.

“Perahu ini kami beli sendiri dari pejabat yang dapat dari pemerintah,” kata Alimudin Banda, nelayan Desa Satehan, Kecamatan Kei Kecil, Maluku Tenggara, sembari menunjuk ke perahu motor fiberglass di pantai tak jauh dari rumahnya.

Belson mengakui, rata-rata nelayan di Kecamatan Kei Besar memanfaatkan bantuan perahu motor fiberglass untuk transportasi saat tidak melakukan aktivitas penangkapan.

Fakta ini juga ditemukan Mongabay di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, akhir September 2019. Saat itu, masyarakat menggunakan perahu motor fiberglass untuk mengantar warga melewati muara karena jembatan penghubung di desa itu belum selesai dibangun.

baca juga : Kaya Tapi Miskin, Potret Potensi Perikanan Maluku yang Belum Optimal, Kenapa?

 

Seorang warga menggunakan perahu motor fiberglass bantuan dari Kementerian Keluatan dan Perikanan (KKP) untuk mengangkut motor di Pantai Desa Ohoidertutu, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto : Tajudin Buano/Mongabay Indonesia

 

Selain itu, karena keterbatasan armada penangkapan, sering menimbulkan kecemburuan antar anggota KUB nelayan berjumlah 10 orang. Solusinya, menurut Belson, perlu penambahan armada untuk KUB nelayan.

“Atau aturannya jumlah anggota KUB dikurangi. Sebab, ada potensi konflik di situ. Itu kesulitan kami saat pendampingan. Kecemburuan ini juga menyebabkan pemanfaatan tidak maksimal,” tandasnya.

Nelayan Maluku Tenggara juga mendapatkan bantuan kredit dan asuransi. Kartu nelayan yang dibagikan kepada nelayan selama 2012-2017 sebanyak 13.337. Sementara Kartu Pelaku Usaha Kelautan dan Perikanan (Kusuka) yang telah dicetak sebanyak 106. Ribuan Kusuka belum dibagikan karena DKP masih berkoordinasi dengan Bank BNI untuk distribusi atau pembagiannya.

“Modal untuk usaha penangkapan, kami dapat KUR untuk nelayan bagan. Sekali dapat biasanya Rp100.000.000. Cicilannya Rp40.000.000 per bulan selama satu tahun. Pengembalian kreditnya lancar,” kata Alimudin.

Dikutip dari website resmi KKP, pada 2017, nelayan Maluku Tenggara juga mendapatkan Bantuan Premi Asuransi Nelayan (BPAN). Target 200, realisasi 357 orang.

perlu dibaca : Begini Klaim Kesuksesan Perikanan di Maluku menurut Susi

 

Aktivitas nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara sepulang melaut. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Program asuransi nelayan merupakan amanat Undang-Undang No.7/2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.

Penerima BPAN ini adalah nelayan kecil yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Baik yang tidak menggunakan kapal penangkapan ikan, maupun yang menggunakan kapal penangkapan ikan berukuran paling besar 10 GT.

Manfaat per orang berupa santunan untuk kecelakaan akibat aktivitas penangkapan ikan sejumlah Rp200.000.000 apabila menyebabkan kematian, Rp100.000.000 apabila cacat tetap, dan Rp20.000.000 untuk biaya pengobatan.

Sementara untuk santunan kecelakaan akibat selain melakukan aktivitas penangkapan ikan, diberikan manfaat  per orang sejumlah Rp160.000.000 apabila menyebabkan kematian (termasuk kematian akibat selain kecelakaan/kematian alami), Rp100.000.000 untuk yang mengalami cacat tetap, dan biaya pengobatan sebesar Rp20.000.000.

Belson mengatakan, hingga kini baru satu kali BPAN diklaim yakni oleh Ahmad Sangadji, nelayan asal Desa Mastur Baru, Kecamatan Kei Kecil Timur. Ahmad mengalami musibah saat mencari ikan.

Namun, Udin dan Alimudin mengaku, tidak mendapat santunan meski telah melaporkan ke DKP Maluku Tenggara. Adik Udin yang juga nelayan, pernah dibawa ke rumah sakit dengan biaya sendiri.

“Kami dapat asuransi nelayan. Tapi tidak bermanfaat. Misalnya, keponakan saya meninggal dunia saat melaut. Kita sudah ke dinas perikanan dan kelautan, tapi tidak ada jawaban yang pasti,” ungkap Alimudin.

menarik dibaca : ‘Perang’ Gubernur Maluku Karena Kesal Tak Kunjung Jadi Lumbung Ikan Nasional

 

Nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara mengangkut ikan hasil tangkapannya. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Solusi

Hasil penelitian Dosen Politeknik Perikanan Tual Benediktus Jeujanan di Kepulauan Kei menunjukkan, nelayan perikanan pelagis dangan menggunakan alat bantu rumpon di Kepulauan Kei semuanya telah mengenyam pendidikan. Kebanyakan mereka (50,3%) telah tamat SD, dan lulus SMP 27,7%, SMA 16,9%, sedangkan 2,3% tidak bersekolah, serta tamat dari perguruan tinggi 0,76%.

“Ini menunjukkan bahwa nelayan perikanan pelagis dan nelayan rumpon di Kepulauan Kei Selat Nerong Kabupaten Maluku Tenggara memiliki tingkat pendidikan yang cukup,” tulis Benediktus dalam Disertasinya berjudul: Rumpon Sebagai Alat Pengelolaan Perikanan Pelagis Di Perairan Kepulauan Kei (2016).

Ia juga menemukan belum ada sentuhan teknologi dalam penggunaan alat tangkap maupun metode penangkapan. Nelayan selama ini menggunakan cara-cara konvensional untuk menemukan gerombolan ikan maupun operasi penangkapan.

Menurut Benediktus, skill nelayan berkorelasi dengan penggunaan alat tangkap. Olehnya itu, pemerintah daerah sudah harus melaksanakan program peningkatan kapasitas nelayan.

Terkait bantuan alat tangkap, kredit dan asuransi, lanjut dia, perlu dilakukan sosialisasi terlebih dahulu. Selain itu, survei nelayan agar bantuan tersebut tepat sasaran.

Ia menambahkan, pengusaha atau nelayan selalu berupaya memaksimumkan keuntungan yang dalam konsep ekonomi dikenal dengan pendekatan memaksimumkan keuntungan (profit maximization). Disisi lain, pada saat pengusaha atau nelayan berhadapan dengan keterbatasan biaya, konsep diatas akan tetap dijalankan melalui pendekatan meminimumkan biaya (cost minimization).

“Jadi, untuk kredit memang perlu dimudahkan, sebab nelayan butuh modal besar. Misalnya, pengusaha jaring bobo, itu saya hitung setidaknya menyiapkan modal Rp487 juta-Rp500.000.000 juta,” ungkapnya.

baca juga : Perburuan Tabob : Bergesernya Tradisi Mengancam Punahnya Penyu Belimbing [1]

 

Ikan tongkol hasil tangkapan nelayan di Desa Dian Pulau, Kecamatan Hoat Sorbay, Kabupaten Maluku Tenggara. Foto : Kopnel Karya Mandiri/Mongabay Indonesia

 

Sedangkan Kepala Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Kota Tual, Silvinus M.C. Jaftoran kepada Mongabay Indonesia, Senin (30/9/2019) mengungkapkan, dulu banyak warga Tual yang jadi ABK kapal-kapal asing. Tetapi setelah moratorium, kapa-kapal tersebut berhenti operasi, yang secara otomatis menyebabkan ABK lokal kehilangan pekerjaan dan pendapatan.

Dia menambahkan, jumlah kapal yang melakukan penangkapan dan pembongkaran ikan di Pelabuhan Perikanan Dobo, Kepulauan Aru, sudah lebih dari seribuan. Sehingga izin penangkapan ditutup sementara.

Apabila ada izin baru, kapal-kapal yang rata-rata dari Jawa, itu harus melakukan pembongkaran di PPN Tual atau PPN Ambon agar aktivitas di semua pelabuhan perikanan merata. Selain itu, imbuh dia, ada banyak perusahaan perikanan yang akan dibangun di Tual.

Salah satunya, investor dari Taiwan yang memiliki perusahaan ikan PT. Rahayu Perdana Trans. Sebagian kapal miliknya, akan dialihkan dari PP Tual ke PPN Tual.

Olehnya itu, ia optimis, kedepan industri perikanan di Tual semakin menggeliat, dan berdampak pada peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Tetapi ia mengingatkan pentingnya kesiapan SDM nelayan, baik untuk keuletan melaut maupun mengelola bantuan dari pemerintah.

Untuk merealisasikan itu, pemerintah daerah harus memiliki Balai Pelatihan Kerja (BLK) khusus nelayan. “Arafura ini berada di provinsi yang berdekatan yakni Maluku, dan Papua. Kalau kapal-kapal itu tidak ke Tual, maka bisa ke Papua atau Papua Barat, sehingga kita jadi penonton,”tandasnya.

Sementara Saharudin dan Alimudin tetap berharap, ada perusahaan yang bisa membeli ikan mereka dalam jumlah banyak dengan harga tinggi. Sebab, selama ini, pemerintah daerah Maluku Tenggara belum membuat standar harga untuk semua jenis ikan.

“Saya mengirimkan ikan ke Kaimana, Papua pakai kapal Fery, karena ada penadah di sana. Jadi, memang harus ada perusahaan ikan di sini yang mau membeli ikan kami,” harap Udin.

***

Keterangan foto utama : Ilustrasi. Nelayan bersiap mendarat di Desa Waepure, Kecamatan Airbuaya, Kabupaten Buru, Maluku, akhir Agustus 2017, setelah melaut selama 10-12 jam di Laut Seram. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

***

*Tajudin Buano, jurnalis Harian Pagi Ambon Ekspres. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version