- Masyarakat Pulau Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku mempunyai tradisi berburu Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) atau tabob dengan aturan yang ketat, sakral dan dibatasi jumlah tangkapannya. Tradisi itu berawal dari legenda nenek moyang komunitas masyarakat Nufit Roah dan Lai Ren Tel.
- Tetapi saat ini masyarakat tidak lagi mematuhi tradisi. Tabob ditangkap dan dikonsumsi dagingnya tanpa batas dan aturan. Hal ini mengancam punahnya penyu belimbing yang memang makin langka
- Padahal penyu belimbing statusnya dilindungi berdasarkan undang-undang dan surat edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Bahkan statusnya masuk Apendix 1 CITES yang dilarang pemanfaatanya dan perdagangannya
- Sayangnya regulasi di lapangan yang lemah dan keterbatasan personil aparat pemerintah sehingga menyurutkan penegakan hukum penangkapan satwa berjuluk ‘Si Penjelajah Samudera’ di wilayah Kepulauan Kei.
- Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan tentang tradisi perburuan tabob
Sebuah video di youtube yang diunggah Dedi Maturbongs tujuh tahun lalu, memperlihatkan sekelompok orang akan melaut. Tampak sejumlah laki-laki dari Desa Ohoidfertutu mendorong perahu ke laut. Di dalam perahu itu, ada peralatan seperti tali dan kayu panjang yang dipasangkan besi tajam. Tali panjang diikat pada pangkal besi berukuran sekira 20 cm itu.
Orang-orang di dalam perahu itu memiliki tugas masing-masing. Ada juru tikam dan pendayung. Setelah berada di tengah laut, sekitar 100-200 meter dari pantai, terdengar suara dari salah seorang di dalam perahu itu. Rupanya ia memanggil penyu belimbing (Dermochelys coriacea) dengan bahasa setempat untuk datang dan merapat ke mereka.
“Ubo it bam dat too (tabob datang untuk kami lihat)…,” pria yang memegang dayung. Beberapa kali dia mengulanginya sambil terlihat membaca mantra.
Tak lama kemudian, seekor tabob –sebutan penyu belimbing dalam bahasa Kei– muncul di permukaan laut. Mereka mengarahkan haluan perahu ke penyu belimbing. Mesin motor tempel itu dimatikan. Mereka mendayung lebih cepat lagi. Saat dekat, juru tikam berdiri di ujung haluan, lalu melompat dan menombak dengan keras tubuh penyu tersebut.
Sekali kena tombak, penyu belimbing yang naik ke permukaan untuk bernafas ini masih berontak. Juru tikam melepaskan lagi tombak keduanya ke tubuh penyu belimbing. Juru tikam dari perahu lain yang ikut berburu hari itu, ikut menombak dua kali.
Darah terus menyembur dari punggung tabob. Tali pengait di besi tajam itu ditarik. Penyu malang ini pun dinaikkan ke atas perahu untuk dibawa ke daratan.
Begitulah proses pencarian penyu belimbing di laut oleh warga di Ohoidertutu yang diabadikan oleh tim Petualangan Bahari Trans7. Masyarakat menyebutnya dengan “Tradisi Berburu Tabob”.
Sebelum ke laut, ritual adat juga digelar di darat seperti angkat sirih pinang yaitu berupa sirih pinang, uang koin dan kertas, tembakau dan kapur yang diletakkan dalam sebuah piring kecil untuk dibawa ke woma Tar Walek atau pusat ohoi Madwaer, Tanjung Arat, dan Abwavan sebagai tempat sejarah tabob.
baca : Penyu Belimbing Ini Terjaring Nelayan, Mau Diselamatkan, Malah Hilang. Kok Bisa?
Legenda Berburu Tabob
Tradisi ini berawal dari cerita legenda nenek moyang komunitas masyarakat Nufiit Roah dan Lai Ren Tel di kawasan pesisir barat daya pulau Kei Kecil, Kecamatan Kei Kecil Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Masyarakat di dalam komunitas yang terdiri dari sembilan desa atau ohoi ini percaya bahwa tabob merupakan makanan pusaka.
Desa-desa tersebut adalah Ohoira, Ohoiren, Somlain, Madwaer, Tanimbar Kei, Warbal, dan Ur, Yetbab, Ohoidertum dan Ohoidertutu. Tiga desa terakhir itu masuk dalam kesatuan masyarakat adat Lai Ren Tel.
Mongabay menelusuri sejarah Tabob dan menemukan beberapa versi cerita dari setiap ohoi atau desa, namun memiliki inti cerita yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Ateng Renfan, Kepala Soa Adat Renfan Desa Madwaer, Sabtu (28/9/2019).
Ateng menuturkan tabob atau penyu belimbing dibawa oleh leluhur mereka dari Papua. Kemudian dipelihara dalam pagar batu yang oleh masyarakat Nufit disebut Tot Lutur.
“Tabob (dibawa) dari Papua itu dengan ikan Bubara (Caranx sp). Ketika orangtua salah adat, akhirnya tabob keluar dengan perjanjian, ketika kami mau cari dorang (mereka), punya bekal kami didalam perahu habis baru bisa dapat dorang (mereka),” jelasnya.
Warga Ohoidertutu, Yulianus Ngoratubun juga menuturkan cerita yang sama. Cerita Ateng dan Yulianus terkonfirmasi sebuah penelitian tesis mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Fransiska Noveline Anmama pada 2012.
baca juga : Penyu Raksasa Tersangkut Tali Budidaya Rumput Laut Diselamatkan Warga Maluku
Dalam tesisnya yang berjudul ‘Tabob: Kajian Sosio Antropologis Terhadap Pemahaman Masyarakat Nufit Haroa Tentang Tabob itu dijelaskan tabob berada di Nufit dibawa oleh dua orang kakak beradik yaitu Tobi dan Tobai dari Papua ketika menang perang dengan Raja Karas. Saat itu, Raja mengakui kekalahannya dan memberikan hadiah sesuai permintaan mereka sebagai imbalan. Tobi dan Tobai memilih tabob yang saat itu berada di pesisir pantai.
Mereka membawa pulang tabob. Setelah kembali ke daerah Kei, mereka mencari tempat yang cocok untuk memelihara tabob. Diputuskan tabob ditempatkan di perairan Tanjung Arat dan Abwavan, daerah Nufit dengan membuat lutur (pagar batu) di tengah lautan.
Suatu hari, Tobai meminta dari Tobi untuk memberikannya seekor tabob. Tobi mempersilahkan Tobai menangkap tabob sendiri dengan memberi petunjuk cara menikam dengan tombak (horan tal) yang terbuat dari gaba-gaba.
Tobai kemudian mencoba menikam dengan tombaknya. Tetapi gagal dan tombaknya rusak. Tobi lalu berkata kepada Tobai bahwa dia yang akan menikam. Lalu Tobi pergi mengambil tombak yang terbuat dari besi, menikam tabob dan diberikan kepada Tobai.
Karena tombak gaba-gaba Tobai rusak, maka ia meminta tombak besi milik Tobi. Ia mengingatkan Tobai untuk tidak menikam tabob bertanda putih di kepalanya, karena ia akan memutuskan tali dan keluar.
Ternyata Tobi melanggar perintah kakaknya, sehingga tabob memberontak dan kandang berpagar batu (Tot Lutur), sambil berpesan “Bila mencari untuk bertemu dengan kami, habiskan dulu bekal makanan dan minuman (wear kes) dan kita akan bertemu di meti Ngon Tan Bav”.
Berdasarkan cerita turun-temurun inilah, tradisi penangkapan penyu belimbing masih berlangsung hingga sekarang. “Sampai sekarang warga di sini masih makan tabob,” jelas Yulianus.
Sedangkan penelitian WWF Indonesia menunjukkan penyu belimbing bermigrasi dari Pantai Utara Papua Barat (Abun) ke perairan Kei Kecil untuk mengejar mangsanya (ubur-ubur raksasa).
perlu dibaca : Penyu Belimbing Ini Terjaring Nelayan, Mau Diselamatkan, Malah Hilang. Kok Bisa?
Perubahan Tradisi
Tabob merupakan hewan yang disakralkan oleh masyarakat Nufit. Tabob menjadi makanan pusaka dan diwajibkan kepada mereka untuk mengkonsumsinya melalui berbagai aturan dan syarat yang harus dipatuhi.
Atas dasar inilah, masyarakat mensakralkannya. Sampai saat ini masyarakat masih memiliki kepercayaan yang disebut totemisme yang merupakan salah satu bentuk kepercayaan asli masyarakat, walaupun mereka telah menganut agama Kristen Protestan dan Katolik. Kepercayaan ini mampu menciptakan kebersamaan dan kesatuan serta memperkuat ikatan kekerabatan dan kekeluargaan yang ada di dalam masyarakat.
Jumlah penyu belimbing yang dikonsumsi di tiap desa atau ohoi bervariasi. Mulai dari satu ekor hingga ratusan ekor selama satu tahun. Hewan ini hanya untuk dimakan, tidak boleh dijual.
Awalnya, pemanfataan daging penyu belimbing hanya untuk acara adat. Jumlah yang dimakan juga terbatas. Di desa Madwaer, daging penyu dihidangkan pada acara pernikahan dari keluarga yang memiliki derajat tinggi di kampung itu, juga untuk acara pelantikan kepala desa/ohoi. Namun kini penyu belimbing dimanfaatkan tanpa batas.
“Dulu hanya untuk adat, tetapi sekarang sudah jadi konsumsi sehari-hari,” kata Ateng Renfan. Jumlah penyu belimbing yang ditangkap pun bertambah sejak dimanfaatkan untuk makanan sehari-sehari saat musimnya pada Agustus hingga Februari.
Menurut Ateng dan Yulianus, maraknya konsumsi daging penyu belimbing dipicu oleh semakin menurunnya pemahaman adat oleh generasi muda setempat. Sehingga meski tidak ada acara adat, mereka tetap mencari penyu belimbing untuk dikonsumsi.
Tradisi serta nilai-nilai tabob telah bergeser. Aturan tradisi tidak dipatuhi. Bahkan tabob dianggap milik pribadi dengan ditangkap dan dagingnya dikonsumsi sendiri.
“Kalau orang tua ambil hanya untuk ritual adat. Tapi anak-anak muda sekarang mulai suka menangkap dan tangkan sendiri. Mereka ambil lebih dari satu atau dua tabob,” kata Ateng.
menarik dibaca : Penyu Belimbing Masih Dikonsumsi Masyarakat Mentawai, Mengapa?
Dalam tesisnya, Fransiska Noveline Anmama menyebutkan, masyarakat di Ohoiren mengakui kalau biasanya tabob diambil berdasarkan kesepakatan tokoh-tokoh atau masyarakat ohoi, sekarang diambil bebas sesuka oleh siapa saja dalam ohoi asalkan dia masyarakat Nufit Haroa.
Bahkan, tabob sekarang telah diperjualbelikan oleh orang-orang tertentu yang mengakibatkan penyu belimbing makin diburu. Misalnya anak-anak muda yang meminta biaya operasional BBM untuk berburu tabob, lalu membawa ke keluarga mereka di ohoi (desa) lain. Ini menunjukkan kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada banyak orang.
Pergeseran tradisi juga diperlihatkan saat pembagian daging, bagi yang tidak hadir saat itu, tidak akan mendapatkan bagiannya. Di Somlain, Ohoira serta Ur Pulau juga mengalami pergeseran tradisi, dimana orang yang berburu tabob akan mengkonsumsi dagingnya untuk sendiri dan tidak dibagikan kepada orang lain.
Selain acara adat, penyu belimbing juga dikonsumsi saat kegiatan gerejawi, bahkan menjadi makanan wajib. Penghentian konsumsi penyu pada acara-acara gereja seperti sidang jemaat, setelah pihak Gereja Protestan Maluku (GPM) Klasis Pulau-Pulau Kei Kecil dan Kota Tual mengeluarkan larangan.
“Sebelum ada intervensi, jemaat di Ur Pulau itu masih mengonsumsi tabob,” kata Ketua Majelis Pekerja Klasis GPM Pulau-Pulau Kecil dan Kota Tual, Pendeta F.J. Syahailatua kepada Mongabay, Kamis (26/9/2019).
baca juga : Belajar dari Konservasi Penyu Belimbing di Papua Barat, Seperti Apa?
Regulasi dan Penegakan Hukum Lemah
Penyu belimbing merupakan penyu raksasa terbesar di dunia dengan berat bisa mencapai mencapai 700 kg dan panjang 3 meter. Penyu belimbing merupakan hewan purba yang telah hidup ratusan juta tahun itu mempunyai penampakan yang khas berupa karapaksnya yang berbentuk seperti garis-garis pada buah belimbing.
Distribusi penyu dari kawasan sub kutub sampai dari perairan tropis. Spesies ini menghabiskan sebagian besar hidupnya di lautan terbuka hanya muncul ke daratan pada saat bertelur, sehingga hewan ini dijuluki ‘Si Penjelajah Samudera’.
Sesuai Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Hayati dan Peraturan Pemerintah No.8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa, ada enam jenis penyu termasuk penyu belimbing di Indonesia statusnya dilindungi.
Larangan ini dikuatkan dengan Surat Edaran Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.526/MEN-KP/VIII/2015 tentang Pelaksanaan Perlindungan Penyu, Telur, dan Bagian Tubuh, dan/atau Produk Turunannya.
Secara global, ada konvensi internasional tentang tumbuhan dan satwa yang terancam punah (CITES/Convention of Internasional Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) dimana semua jenis penyu di Indonesia masuk dalam Appendix 1. Artinya segala bentuk perdagangan jenis penyu dan bagian tubuhnya atau produk turunannya seperti telur secara tegas dilarang.
Sedangkan Kepala Dinas Perikanan (DKP) Kabupaten Maluku Teggara, Nicodemus Ubro mengatakan, berdasarkan data National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika, Serikat, populasi penyu belimbing dunia berkurang 6 persen setiap tahun.
“Kalau tidak ada penanganan secara baik dalam rangka keberlanjutannya, maka saya yakin suatu saat penyu ini juga seperti spesies lainnya, akan punah,” kata Nico sapaan akrab Nicodemus yang ditemui di kantornya Jumat (25/9/2019).
baca : Pelindung Penyu dari Kepunahan itu Bernama Taman Pesisir Jeen Womom
Mengapa pemanfaatan penyu belimbing masih marak di Kei Kecil Barat? Selain karena tradisi, Nico menilai karena regulasi yang membatasi DKP dan penegakan hukum masih lemah.
Maluku Tenggara dan Kota Tual masuk dalam Gugus Pulau 8 di Kepulauan Maluku. Namun, dinas kelautan dan perikanan kabupaten dan kota tidak lagi diberikan kewenangan di bidang konservasi dan perlindungan spesies endemik sejak berlakunya Undang-Undang No.23/2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Sebelum adanya UU No.23/2014 itu, DKP Maluku Tenggara telah merancang program untuk melindungi satwa langka, termasuk penyu belimbing. DKP Provinsi Maluku memang memiliki cabang dinas di kabupaten Maluku Tenggara, namun tidak efektif karena jumlah personilnya terbatas.
“Karena mengawasi laut ini sangat susah. Kami yang banyak saja susah, apalagi hanya sedikit orang. Tidak ada pengawasan. Sekarang sudah ada pengeboman di kawasan konservasi. Ini sangat mengganggu dan merusak ekosistem penyu belimbing. Kalau dulu, kami lakukan patroli setiap minggu,”ungkapnya.
Sekretaris Daerah Maluku Tenggara, Bernardus Rettob mengapresiasi aturan dari pemerintah Indonesia maupun lembaga konservasi dunia yang melarang pemanfaatan satwa dilindungi, termasuk penyu belimbing. Tetapi ia berharap, kepolisian dan Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Tual melakukan pengawasan dan penindakan yang tegas.
Menurut Undang-Undang No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, pelaku perdagangan satwa dilindungi seperti penyu bisa dikenakan hukuman penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp100 juta.
“Kami tetap mendukung, hanya saja pengawasan sangat lemah. Aparat berwajib harus menangkap, tetapi harus melalui sosialisasi dulu,” tandasnya pada Kamis (26/9/2019).
Zulfikar dari PSDKP Tual mengatakan, pihaknya belum menemukan secara langsung pemanfaatan penyu belimbing oleh masyarakat. Selama ini PSDKP terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait status dan peran ekologis penyu di perairan.
“Kami hanya melakukan pengawasan. Sebetulnya kami bisa melakukan penindakan, tapi kami perlu koordinasi juga dengan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) karena personilnya di sini mengatakan kalau ada kasus penyu, KLHK yang lebih dulu maju. Jadi, sudah ada pembagian kewenangan, walaupun ada arahan dari KKP untuk kami lakukan penindakan,” ujarnya.
***
Keterangan foto utama : Ilustrasi. Seekor penyu belimbing (Dermochelys coriacea) berukuran besar terdampar di pesisir pantai Minanga, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara pada Minggu (22/7/2018). Foto : BPSPL Makassar Satker Manado/Mongabay Indonesia
***
*Tajudin Buano, jurnalis Harian Pagi Ambon Ekspres. Artikel ini didukung oleh Mongabay Indonesia