Mongabay.co.id

Jokowi Teken Inpres Rencana Aksi Sawit Berkelanjutan, Apa Isinya?

Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Setelah berproses sejak 2014, akhirnya, di penghujung tahun ini, Presiden Joko Widodo menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6/2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Sawit Berkelanjutan (RAN-KSB). Berbagai organisasi masyarakat sipil mendesak kebijakan pembenahan tata kelola sawit perlu segera berjalan bukan hanya ada di atas kertas.

Pada 22 November 2019, Inpres RAN-KSB diteken presiden sebagai landasan meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, penyelesaian status dan legalisasi lahan, dan pemanfaatan sawit sebagai energi terbarukan.

Beleid ini juga meningkatkan diplomasi untuk mencapai perkebunan sawit berkelanjutan, dan mempercepat perkebunan sawit Indonesia berkelanjutan. Anehnya, regulasi ini hanya semasa peride kedua Jokowi, 2019-2024.

Musdalifah Mahmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengatakan, inpres ini untuk perbaikan tata kelola sawit termasuk data, peningkatan kapasitas petani, penyelesaian konflik, percepatan dan keberterimaan ISPO. Kementerian juga mendorong daerah penghasil sawit membentuk forum sawit berkelanjutan.

Dia bilang, aturan ini juga sebagai upaya menangkal kampanye hitam kepada sawit. ”Iya pasti, karena upaya memperbaiki dan merapikan kelola dalam rangka keberlanjutan sawit,” katanya kepada Mongabay melalui pesan singkat, Kamis (28/11/19).

Melalui inpres ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian segera menyiapkan langkah-langkah yang diperlukan dan membentuk tim untuk pelaksanaan RAN KSB. ”(Tim) untuk pelaksanaan monitoring dan mendorong pelaksanaan RAN di pusat dan daerah penghasil sawit dan segera melaksanakan aksi-aksi yang memang sudah disusun bersama selama dua tahun ini.”

Dalam inpres ini, pelaksanaan RAN-KSB ini memiliki tugas, fungsi, dan kewenangan, antara lain, penguatan data, penguatan koordinasi, dan infrastruktur, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, pengelolaan dan pemantauan lingkungan.

Juga menerapkan tata kelola perkebunan dan penanganan sengketa, dukungan percepatan sertifikasi perkebunan sawit berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil) dan meningkatkan akses pasar sawit.

Menko Bidang Perekonomian, bertugas koordinasi dan sinkronisasi dengan para menteri dan kepala lembaga pemerintah non kementerian, gurbernur maupun bupati/walikota daerah penghasil sawit, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi RAN-KSB.

Menteri lain yang mendapat instruksi presiden seperti Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas diminta merencanakan dan mengalokasikan pembiayaan pada bagian anggaran kementerian dan lembaga untuk RAN-KSB.

Menteri Pertanian diminta penguatan data dasar perkebunan sawit, dan berkoordinasi dengan kementerian terkait. Mentan juga diminta meningkatkan sosialisasi tentang regulasi dan kebijakan terkait usaha perkebunan sawit. Juga, meningkatkan kepatuhan hukum pelaku usaha, meningkatkan kapasitas dan kapabilitas pekebun, dan lain-lain.

Berbagai tugas khusus juga diberikan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Dalam Negeri. Kemudian, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kepala Badan Informasi Geospasial, gubernur, dan para bupati/walikota.

 

Ekspansi pembukaan hutan untuk kebun sawit merupakan masalah besar yang terjadi di hutan Singkil-Bengkung. Foto: Nanang Sujana/RAN

 

 

Jangan hanya di atas kertas

Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch mengatakan, secara rekam jejak regulasi ini merupakan rangkaian implementasi tata kelola perkebunan sawit, mulai dengan Inpres Moratorium Sawit pada 2018.

“Belajar dari pelaksanaan moratorium lalu, kalau di inpres tak ada perubahan budaya, implementasi inpres ini akan mirip. Hasilnya, tidak ada yang signifikan.”

Meskipun begitu, dia mengapresiasi niat baik pemerintah memperbaiki tata kelola sawit Indonesia, tetapi perlu pembuktian dengan implementasi lapangan.

Indikator paling sederhana, katanya, konflik di perkebunan sawit dan tumpang tindih dalam kawasan hutan masih berlangsung dan belum ada penyelesaian signifikan.

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Advokasi Walhi Nasional mengatakan, ada dua subyek dibahas dalam inpres ini, yakni, pelaku usaha dan pekebun.

“Substansi pekebun dalam kebijakan itu tanggung, karena pemerintah memposisikan petani hanya sebagai penghasil TBS (tandan buah segar-red), harusnya ruang bagi petani perlu diperluas, terutama instruksi bagi Kementerian ESDM dan BUMN dalam hal biodiesel,” katanya.

Kalau petani hanya penguatan kapasitas sebagai penghasil TBS, pasar mereka terisolasi pelaku usaha. Salah satu jalan, katanya, menginstruksikan kedua lembaga agar petani jadi menyuplai bahan baku biofuel ke Pertamina. Dengan begitu, akan ada peningkatan ekonomi dan kesejahteraan bagi petani. Petani sawit jadi lebih berdaya dan mandiri.

“Makna kedaulatan energi pun bisa digapai, biofuel itu dijual oleh rakyat.”

Makna keberlanjutan pun bisa dapat dicapai petani skala kecil, di mana mereka mampu untuk diversifikasi tanaman yang bakal sulit dilakukan pelaku usaha skala besar.

Sebenarnya, inpres ini menyelesaikan tata produksi dan tata konsumsi, namun Zenzi menilai, masih setengah hati.

Pertama, dari tata produksi, seluruh kementerian memberikan kapasitas produksi dan kapasitas teknologi di petani setara korporasi. Sedangkan, di tata konsumsi bagaimana produksi petani ini bisa diserap jadi biofuel.

Kedua, terkait instruksi kepada Menteri Lingkungan Hidup pada diktum kedua, poin keempat, yakni, menyelesaikan status lahan usaha perkebunan sawit yang terindikasi dalam kawasan hutan dan ekosistem gambut.

“Instruksi itu berbahaya ya, bahasanya ‘menyelesaikan’ bisa diterjemahkan untuk mengampuni kejahatan. Arahnya ke pemutihan.”

Dia bilang, seharusnya penyelesaian sawit dalam kawasan hutan itu melalui penegakan hukum, sesuai Undang-undang Kehutanan. “Harusnya presiden mengintruksikan untuk penegakan hukum dan tertulis eksplisit.”

 

Konsesi perusahaan sawit yang terbakar di Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Zenzi mengatakan, instruksi kepada KLHK ini disinkronisasi dengan instruksi kepada Menteri ATR/BPN untuk legalisasi lahan hasil penyelesaian status perkebunan dalam kawasan hutan dan penyelesaian sengketa lahan. Juga ada indikasi memberikan ruang untuk ekspansi sawit melalui instruksi pemanfaatan lahan kritis sebagai upaya penurunan emisi gas rumah kaca dalam perkebunan sawit.

“Instruksi itu bisa diterjemahkan dalam pelaksanaan yang berbahaya. Itu tidak jelas, apakah lahan kritis di dalam perkebunan sawit atau di luar kebun. Ketidakjelasan ini ada indikasi memberi ruang ATR/BPN menerbitkan HGU.”

Seharusnya, kata Zenzi, lahan kritis itu prioritas pemulihan. Banyak praktik lahan kritis bekas pertambangan berubah jadi perkebunan sawit. Padahal, seharusnya reklamasi, kalau tidak harus ada penegakan hukum.

Teguh Surya, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan agak heran rancangan aksi nasional sawit berkelanjutan tetapi hanya buat pejabat karena berbentuk inpres.

“RAN kok hanya untuk 16 pejabat, bagaimana kalangan pelaku usaha, petani, lembaga keuangan, dan seterusnya?”

Pelibatan para pihak, katanya, tidak dimandatkan tegas melainkan hanya pilihan sebagaimana diatur pada diktum ketiga.

Idealnya, kata Teguh, Inpres RAN-KSB keluar setelah ada hasil evaluasi Inpres Moratorium Sawit hingga ada arah jelas dan proses lebih terintegrasi. “Dasar hukum pun lebih kuat dan mengikat semua pihak,” katanya.

Selain itu, katanya, Perpres ISPO selalu disebut-sebut dalam dua inpres yang berkaitan dengan sawit. Sayangnya, perpres ini belum juga ditandatangani, bahkan proses masih tertutup. “Sementara, industri sawit ini berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.”

Dari segi jangka waktu, durasi 2019-2024 sebagai masa inpres dia nilai aneh. Padahal, kalau merasa sawit itu penting dan devisa besar negara, seharusnya rancangan jangka panjang, misal, 30 tahun ke depan.

“Ini dapat jadi penanda, pemerintah tak cukup percaya diri dengan ekonomi sawit, meskipun dianggap strategis penguasaan terbesar dari lahan maupun produksi masih di tangan swasta bukan BUMN atau petani.”

Rini Indrayanti, dari UNDP Indonesia beberapa waktu lalu mengatakan, insiatif RAN sawit berkelanjutan sudah mulai 2014, mulai memorandum of understanding antara UNDP dan Kementerian Pertanian, lanjut bentuk kelompok kerja (pokja) bersama para pihak. Mereka lalu memfasilitasi RAN sawit berkelanjutan.

Ada empat grup kerja berdasarkan empat fokus, pertama, penguatan data , koordinasi dan infrastruktur, peningkatan kapasitas pekebun, kedua, manajemen lingkungan dan evaluasi. Ketiga, resoluasi konflik dan sosial. Keempat, percepatan pelaksanaan ISPO.

“Kita milih siapa-siapa saja terlibat dan dari kementerian mana. Kalau small holder, yang lead Kementan. Kalau soal lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan isu konflik Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN. Itu prosesnya. Karena multi stakeholder dan cukup lama,” katanya.

Awal 2018, katanya, bahasan RAN sawit berkelanjutan sudah final tetapi kemudian legalisasi brubah-ubah. Awalnya, rencana terintegrasi dengan Perpres ISPO. “Itu sudah mulai integrasi. Sudah mulai lihat draf perpres. Akhir 2019, ada masukan gak bisa masuk dalam ISPO. Jadi saran bikin perpres sendiri.”   Pekan ini terjawab, kebijakan yang keluar inpres.

 

Keterangan foto utama:  Berjibaku memadamkan gambut yang terbakar di area kebun sawit perusahaan di Tanjung Jabung Timur, Jambi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Pemerintah sudah ada kebijakan Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit, tetapi bagaimana implementasinya? Pemerintah juga baru bikin kebijakan rencana aksi nasional sawit berkelanjutan. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia
Aksi menyuarakan penyelamatan hutan adat Laman Kinipan di Lamandau, Kalteng. Foto: Safrudin Mahendra-Save Our Borneo

 

Exit mobile version