Mongabay.co.id

Pentingnya Perjanjian Batas Maritim untuk Menjaga Kedaulatan Negara

 

Perjanjian batas maritim masih akan terus menjadi bahasan penting yang harus diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia sejak dari sekarang. Persoalan tersebut, menjadi sangat beresiko karena berhubungan dengan batas kedaulatan Negara di wilayah laut dengan negara tetangga di sekitar Indonesia.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi menyebutkan, sampai saat ini Indonesia masih berbatasan langsung dengan 10 negara tetangga. Di antaranya, adalah Thailand, India, Malaysia, Vietnam, Palau, Singapura, Timor Leste, Australia, Papua Nugini, dan Filipina. Demikian dikatakan Sekretaris Menko Marves Agung Kuswandono di Jakarta, dua pekan lalu.

Dari semua negara tersebut, menurutnya, Pemerintah Indonesia berhasil menyelesaikan 18 perjanjian batas maritim untuk laut wilayah maupun perairan. Tetapi, 13 dari 18 perjanjian yang sudah selesai itu, dihasilkan sebelum Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) disepakati pada 1982.

“Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar, karena harus menyelesaikan berbagai segmen batas maritim dengan negara tetangga,” ungkapnya.

baca : Seperti Apa Kebijakan Kelautan Indonesia untuk Kedaulatan Maritim?

 

Pulau Sambit, salah satu pulau terluar Indonesia yang terletak di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Foto : panoramio.com/Mongabay Indonesia

 

PR yang dimaksud Agung, adalah perjanjian batas laut wilayah dengan Malaysia, Singapura, dan Timor Leste; batas zona ekonomi eksklusif dengan India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Palau dan Timor Leste. Kemudian, ada juga perjanjian batas landas kontinen yang harus diselesaikan Indonesia dengan Filipina, Palau, dan Timor Leste.

Selain perjanjian di atas, Indonesia juga masih memiliki PR untuk perjanjian batas maritim dengan Australia yang sudah ditandatangani pada 1992 atau 22 tahun lalu. Perjanjian tersebut saat ini sedang ditinjau kembali oleh Indonesia, karena sampai sekarang belum ada ratifikasi dan diberlakukan oleh kedua negara.

“Banyak perjanjian batas maritim dengan negara tetangga yang belum selesai dan memakan waktu lama, oleh karena itu kita perlu meneruskan tongkat estafet dengan melatih calon-calon negosiator muda,” ujarnya.

Agung menambahkan, penyelesaian penetapan batas maritim untuk berbagai segmen memang bukan menjadi pekerjaan yang mudah untuk diakukan oleh negosiator yang bekerja untuk Negara. Dengan resiko yang lebih berat seperti itu, pekerjaan tersebut harus dilakukan dengan memakan waktu yang lebih lama.

 

Negosiator Maritim

Menurut Agung, keahlian dan ketekunan negosiator dalam menyelesaikan proses penetapan batas maritim dengan negara tetangga menjadi hal yang harus ada saat proses tersebut dilaksanakan. Hal itu, karena perjanjian batas maritim dinilai sangat penting bagi Negara dan di dalamnya ada persoalan kompeks yang rumit.

Sebut saja, persoalan keamanan, ekonomi, politik, ataupun lingkungan untuk Negara. Dengan segala hal yang ada di dalam perjanjian batas maritim yang dinilai penting dan rumit, Negara merasa perlu untuk memberikan informasi yang detil kepada masyarakat agar mereka bisa paham dengan situasi dan kondisi yang ada.

baca juga : Aktivitas Perikanan Ilegal, Kegiatan Berbahaya Lintas Negara

 

Pelabuhan Kaiwatu di Pulau Moa yang menjadi terdapat kota Tiakur, ibukota kabupaten Maluku Barat Daya, propinsi Maluku. Beberapa pulau terluar pulau Liran, pulau Kisar dan pulau Wetar masuk wilayah kabupaten Maluku Barat Daya. Foto : imamtrihatmadja-journal.com/Mongabay Indonesia

 

Guru Besar Ilmu Hukum Internasional Kemaritiman Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan bahwa penetapan batas maritim Indonesia menjadi persoalan yang krusial, karena itu bisa menjaga kedaulatan Negara. Tetapi, dia menyadari bahwa penetapan batas maritim juga bukan menjadi perkara yang gampang dan bisa dikerjakan dengan cepat oleh Negara.

“Ada kompleksitas tersendiri dalam penetapan batas maritim, karena bukan hanya fakta geografis Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara saja, namun juga karena ada status hukum Indonesia sebagai negara kepulauan,” jelasnya.

Eddy mengungkapkan, dalam membahas penetapan batas maritim dengan negara tetangga, sering kali dihadapi perbedaan prinsip antara status Indonesia sebagai negara kepulauan dan negara tetangga yang merupakan negara kontinen. Perbedaan tersebut tidak jarang menjadi isu perdebatan utama saat dilaksanakan penerapan metode penarikan garis batas.

“Sehingga sering kali menyebabkan perundingan berjalan dalam waktu yang lama,” tuturnya.

Mengingat beratnya medan perundingan yang harus dijalani saat proses pembahasan batas maritim dengan negara tetangga, Eddy meminta Pemerintah bisa memperkuat barisan negosiator yang akan bertarung dengan diberikan pelatihan khusus terkait dengan delimitasi batas maritim. Cara tersebut diharapkan bisa melahirkan negosiator ulung yang berkelanjutan untuk Indonesia.

Para negosiator yang akan bekerja sebagai tim perunding, juga tak melulu harus berasal dari disiplin ahli hukum laut. Akan tetapi, harus juga diisi dengan para negosiator yang berasal dari berbagai disiplin ilmu sesuai dengan kebutuhan perundingan.

Perlunya variasi latar belakang disiplin ilmu untuk negosiator, menurut Eddy, karena dalam proses perundingan penetapan batas maritim akan terjadi sebuah proses diskusi yang menggabungkan berbagai bidang kelimuan yang berbeda. Misalnya, bidang hukum politik, ilmu kebumian, ekonomi, sumber daya alam, dan geospasial.

“Semua itu harus diramu oleh tim perunding menjadi sebuah posisi yang diharapkan dapat menjadi sebuah garis yang dapat diterima oleh para pihak terkait, dan hal tersebut tidaklah mudah,” sebutnya.

perlu dibaca : Empat Komitmen Baru Indonesia untuk Jaga Laut Nusantara

 

Sensasi matahari terbenam di ufuk Timur dapat disaksikan secara langsung di pesisir Paloh dengan garis pantai sepanjang 63 kilometer dari Pantai Selimpai hingga perbatasan Indonesia Malaysia di Tanjung Dato’. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

 

Sejak 1971

Sementara, Anggota Penasihat Tim Teknis Perundingan Batas Maritim Indonesia Sobar Sutisna mengatakan, perundingan yang dilakukan Indonesia dengan negara tetangga untuk membahas batas maritim, pertama kali dilakukan pada 1971 atau 48 tahun lalu.

Dalam melaksanakan negosiasi delimitasi batas matim, dia mengatakan bahwa prosesnya akan selalu melibatkan hukum dan keterampilan teknis di bawah penyelidikan politik, dan juga kepentingan ekonomi. Keterampilan itu diperlukan, karena batas maritim adalah berupa batas landas kontinen, batas dasar laut, laut teritorial, dan zona ekonomi eksklusif (ZEE).

“Oleh itu proses negosiasi delimitasi batas maritim ini biayanya mahal dan akan memakan waktu lama,” ucap Pakar Geodesi dari Badan Informasi Geospasial (BIG) itu.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan tentang pentingnya kedaulatan wilayah maritim bagi Indonesia. Terutama, setelah Indonesia harus kehilangan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia, karena kalah diplomasi dari Malaysia di persidangan hukum internasional.

“Kita tidak ingin lagi kalah seperti kasus Sipadan dan Ligitan dahulu. Saya sudah bicara dengan Prof Hasjim Djalal bagaimana kita melakukan lobi, penanganan pulau-pulau yang mungkin belum terselesaikan,” tuturnya.

Selain diplomasi maritim, Luhut menyoroti kekuatan militer untuk menjaga kedaulatan maritim dan membentuk pertahanan Negara. Di antara upaya yang harus dilakukan, adalah mengontrol lalu lintas kapal-kapal asing, baik kapal dagang ataupun perikanan yang melintas di perairan Indonesia. Pemantauan itu dilakukan melalui sistem alur laut kepulauan Indonesia (ALKI) yang salah satunya dikendalikan oleh Kementerian Perhubungan.

Pentingnya memantau alur laut, menurut Luhut, karena di sana ada lalu lintas beragam dari berbagai negara yang tidak hanya berhubungan dengan perikanan saja. Dengan kata lain, jika tidak dipantau, maka bisa saja ada kapal selam nuklir ataupun kapal asing yang lewat di wilayah perairan nasional.

Dalam menjaga wilayah kemaritiman yang mencakup wilayah kelautan di dalamnya, Luhut juga mengingatkan bahwa mengembangkan kawasan Natuna yang masuk dalam administrasi Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, menjadi sangat penting dan strategis. Salah satu proyek yang sudah dilaksanakan di sana, adalah pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) Natuna.

Selain proyek SKPT, Luhut menyebutkan, Pemerintah juga sekarang sedang mengembangkan sebuah proyek di perairan Laut Natuna Utara dengan menggunakan teknologi canggih seperti kamera pengintai (drone). Proyek itu dibangun untuk memudahkan nelayan pencari ikan dalam melakukan penangkapan ikan di wilayah Laut Natuna Utara.

 

Exit mobile version