Mongabay.co.id

Bagaimana Membangun Kawasan Pesisir dan Masyarakat Pesisir dengan Bijak?

 

Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil (P3K) menjadi kawasan yang istimewa bagi masyarakat Indonesia, karena menjadi sumber utama untuk pemenuhan gizi dari pangan laut. Di kawasan tersebut, juga berdiam masyarakat pesisir yang secara tradisional dan turun temurun berprofesi sebagai nelayan skala kecil yang memproduksi sumber daya ikan secara kontinu.

Sebagai nelayan skala kecil, masyarakat pesisir sudah terbiasa menggunakan kapal ikan berukuran skala kecil di bawah 10 gros ton (GT). Bahkan, dari 643.100 kapal ikan yang ada di Indonesia, 95,5 persen di antaranya diketahui merupakan kapal berukuran di bawah 10 GT.

Itu artinya, menurut Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), sektor perikanan tangkap di Nusantara sampai sekarang masih didominasi oleh nelayan skala kecil. Dengan status tersebut, nelayan kecil tetap bisa memberikan kontribusinya untuk industri perikanan nasional, karena bisa memasok kebutuhan ikan domestik hingga 80 persen dari total kebutuhan konsumsi nasional.

baca : Peraturan Zonasi Pesisir Hadir untuk Pinggirkan Masyarakat Pesisir

 

Seorang nelayan hendak pulang ke Pulau Maringkik, setelah semalam penuh mencari ikan di perairan Teluk Jukung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Demikian dikatakan Ketua Harian KNTI Marthin Hadiwinata dalam sebuah kesempatan di Jakarta, pekan lalu. Menurut dia, walau nelayan skala kecil berkontribusi signifikan untuk pemenuhan kebutuhan ikan nasional, tetapi tingkat kesejahteraan mereka dari waktu ke waktu tidak mengalami perubahan yang berarti.

“Dari 7,87 juta penduduk miskin ada di desa-desa, 25 persen di antaranya adalah masyarakat pesisir yang berprofesi sebagai nelayan skala kecil,” ucapnya.

Akibat tidak adanya peningkatan kesejahteraan, Marthin mengatakan bahwa nelayan skala kecil kemudian banyak yang meninggalkan profesi tradisionalnya itu dan kemudian beralih ke profesi yang lain. Kondisi itu membuat jumlah nelayan skala kecil menurun tajam dari 1,6 juta pada 2003 menjadi 800 ribu orang saja pada 2013.

Salah satu faktor yang menyebabkan berkurangnya jumlah nelayan tradisional, adalah masuknya regulasi nasional yang diturunkan ke daerah melalui peraturan daerah (Perda) rencana zonasi, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K). Regulasi tersebut, dinilai ikut menghancurkan profesi nelayan skala kecil saat ini.

“Terusirnya nelayan skala kecil (tradisional) dari akses ke sumber daya perikanan dan sumber daya alam lainnya serta akses kepada pasar melalui masuknya, diadopsi atau reinterpretasi atas hukum, peraturan atau kebijakan yang mempengaruhi tata kelola perikanan,” jelasnya.

Selain di Indonesia, proses serupa juga dialami nelayan skala kecil dan masyarakat pesisir di negara lain. Sebut saja, Afrika Selatan yang diakibatkan munculnya tempat konservasi dan mengakibatkan nelayan tergusur. Di Chile, nelayan tergusur karena perikanan tangkap tersisihkan oleh perikanan budi daya.

baca juga : Komitmen Pembangunan Pesisir dan Pulau Kecil Diragukan, Kenapa Bisa Terjadi?

 

Siluet aktivitas warga nelayan disenja hari saat di bibir pantai Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Pengabaian

Kemudian di Sri Lanka, sektor pariwisata menjadi pemicu utama tersingkirnya nelayan tradisional dari wilayah kehidupan mereka. Sementara, di Eropa, infrastruktur dan proyek energi dinilai menjadi biang kerok tersingkirnya nelayan dari ruang hidup mereka di kawasan pesisir.

Marthin mengungkapkan, permasalahan yang terjadi di negara-negara tersebut kini sedang dialami oleh para nelayan tradisional di Indonesia. Penyebabnya, karena Perda RZWP3K dinilai sudah mengabaikan keberadaan dan kebutuhan nelayan kecil dan masyarakat pesisir.

Salah satu buktinya, dalam dokumen RZWP3K ada empat alokasi ruang yang dibahas dan kemudian ditetapkan sebagai regulasi resmi. Keempatnya adalah kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu, dan alur laut tanpa alokasi khusus nelayan skala kecil.

“RZWP3K merupakan arahan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, menentukan dasar hukum memanfaatkan sumber daya WP3K,” tuturnya.

Dalam riset lapang yang dilakukan oleh KNTI, Marthin menyebutkian bahwa ditemukan sejumlah permasalahan yang tidak diketahui publik. Di antaranya, adalah konflik ruang antara RZWP3K dengan rezim tata ruang, yaitu rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang berbasis daratan.

Kemudian, tidak adanya pengaturan tata ruang laut pada tingkat kabupaten/kota, di mana perikanan nelayan tradisional skala kecil mayoritas, partisipasi yang minim, hanya terjadi proses konsultasi di ibu kota dan tidak di pulau-pulau kecil atau kabupaten/kota dengan wilayah pesisir.

Selanjutnya, ditemukan tidak adanya alokasi khusus untuk perikanan nelayan tradisional skala kecil sebagai hak tenurial hanya ada wilayah “perikanan tangkap”, buta atas pemanfaatan eksisting, sehingga rentan memicu munculnya konflik kelautan dan perikanan.

perlu dibaca : Penataan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Terus Dikebut

 

Nelayan merupakan profesi yang digeluti sebagian besar warga Dusun Sungai Sembilang, Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Penemuan hasil riset lapangan tersebut, bagi Marthin sudah cukup menunjukkan bahwa penyusunan dokumen Perda RZWP3K masih menyisakan masalah yang belum terselesaikan. Oleh itu, alih-alih mengurai konflik dengan RZWP3K, justru pada akhirnya muncul masalah baru dari tata ruang laut di seluruh Indonesia.

Dia mencontohkan, bagaimana konflik terjadi semakin meruncing di berbagai daerah, seperti DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Utara. Di provinsi-provinsi tersebut, nelayan terlibat konflik dengan berbagai pihak seperti instansi pemerintah, atau pihak lain seperti internal masyarakat dan perusahaan.

 

Terpasung

Sebelumnya, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) juga mengkritik penerbitan Perda RZWP3K yang dinilai hanya akan mengebiri ruang hidup masyarakat pesisir di setiap pulau. Kebijakan tersebut, dinilai akan merugikan masyarakat pesisir yang sebagian besar hidupnya menggantungkan pada sumber daya alam di laut.

Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, desakan Pemerintah Pusat untuk menerbitkan Perda RZWP3K di semua provinsi, menjadi desakan yang salah kaprah. Mengingat, dengan adanya kebijakan tersebut, masyarakat justru akan terpasung segala kebebasannya dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan pesisir.

Sebagai negara bahari, Indonesia diberikan kelimpahan sumber daya kelautan dan perikanan yang luar biasa dan bisa ditemukan di semua kawasan pesisir, pulau-pulau kecil, dan kawasan perairan dalam. Semua potensi itu, ditunjang dengan potensi perikanan tangkap yang juga tidak kalah besarnya.

baca juga : Pentingnya Pengelolaan Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

 

Nelayan tradisional menggunakan tangkul untuk menangkap ikan di Danau Dendam Tak Sudah. Foto: Muhammad Ikhsan/Mongabay Indonesia

 

Menurut Susan, Indonesia memiliki potensi dari hutan bakau seluas 2,6 juta hektare, hutan tropis di pulau-pulau kecil seluas 4,1 juta ha, potensi budi daya rumput laut seluas 1.110.900 ha, dan tambak garam yang luasnya mencapai lebih dari 25 ribu ha. Semua potensi itu, bisa ditemukan di kawasan pesisir dengan mudah dan bisa dirasakan manfaatkan oleh masyarakat.

Mengingat ada manfaat yang bisa didapat oleh masyarakat, Susan menyebut, seharusnya hal positif tersebut harus tetap bisa dinikmati setelah Perda RZWP3K diterbitkan dan diterapkan di masing-masing provinsi. Tetapi, pada kenyataanya, seluruh manfaat itu tidak bisa dinikmati meski Perda RZWP3K belum disahkan dan diterapkan.

“Seharusnya (Perda RZWP3K) memang memberi dampak positif. Dengan kekayaan sumber daya yang ada juga, masyarakat pesisir seharusnya menjadi aktor utama dalam pembangunan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil,” jelasnya.

Masyarakat pesisir sendiri, dalam definisi KIARA, di dalamnya termasuk nelayan tradisional, perempuan nelayan, pembudi daya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem, dan masyarakat adat pesisir. Ironisnya, sampai saat ini keberadaan mereka masih jauh dari sejahtera, walau selama ini sudah menghabiskan hidupnya di laut.

Dikarenakan ada perampasan ruang hidup masyarakat peisisir, Susan mendesak kepada Pemerintah Pusat untuk segera menghentikan pembahasan perda RZWP3K di provinsi tersisa dan mengevaluasi perda yang sudah disahkan. Selain itu, juga mendesak agar Pemerintah menjamin kehidupan masyarakat pesisir sekaligus melindungi ruang hidup mereka.

“Sebagaimana diamanatkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.3/2010 tentang uji materiil UU NO.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tandas dia.

 

Exit mobile version