Mongabay.co.id

Memanen Air Hujan

Warga sedang nampung air hujan yang sudah dielektrolisis. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

“Apapun namanya, bentuknya, forum ini yang kami nantikan. Kami tidak peduli. Kami berangkat dari Grobogan, ingin tahu apa itu memanen air hujan. Kami butuh ilmu, butuh contoh pengalaman praktis di lapangan,” kata Agus Hartono, pegiat lingkungan dari LSM Lestari ketika diberi kesempatan berbicara, dalam Kongres Memanen Air Hujan II. Kongres selama dua hari, 28-29 November ini, diadakan di Universitas Gadjah Mada.

Yuspatipawai dari Aliansi Komunitas Peduli Air Kota Ambon berharap, ada kolaborasi berbagai pihak untuk jadikan memanen air hujan sebagai gerakan massal.

“Kongres, bukan saja komunitas yang menjadi pionir. Juga sinergitas kolaborasi antara pemerintah, swasta, perguruan tinggi, komunitas, untuk menggerakkan memanen air hujan secara massif di seluruh Indonesia.”

Dia sempat menyampaikan kepada forum, perlu memberi kesempatan secara adil perwakilan berbagai provinsi untuk berbicara dan berbagi pengalaman. Pernyataan itu sontak disambut tepuk tangan meriah peserta yang datang dari berbagai daerah.

Baca juga : Memanen Air Hujan ala Romo Kirjito

Agus Maryono, penggagas kongres mengatakan, nama kongres ini dari perbincangan sebelumnya dalam grup gerakan memanen air hujan antara 2016-2017, yang memunculkan kongres ini.

“Tahun ini, ada juga rapat-rapat dihadiri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak-pihak terkait. Memang, tidak dimaksudkan sebagai diskusi panel, namun dikemas dalam suasana santai. Itu kenapa kami menyebut ngobrol bareng. Kongres III bisa saja di Ambon, atau Sumatera Barat,” katanya.

Dinamika itu muncul dalam Kongres Memanen Air Hujan II, antara lain dari Ambon, Timika, Padang, Ternate, dan berbagai kota di Jawa. Peserta berasal dari dinas kabupaten, provinsi, perguruan tinggi, LSM, dan pegiat lingkungan.

 

Dwi Agus Kuncoro kepala Sekolah Air Hujan Banyu Bening. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Keprihatinan Maryono  

Agus Maryono, pakar hidrologi juga dosen Sekolah Vokasi UGM pada 2016 menerbitkan buku berjudul Memanen Air Hujan. Buku antara lain membahas bagaimana memanen air hujan dengan cara paling sederhana, revitalisasi danau, kualitas air hujan di Indonesia, drainase ramah lingkungan, hingga panen air hujan sebagai gerakan.

Maryono bilang, perlu inovasi dalam manajemen bencana untuk mengatasi banjir dan kekeringan. Memanen air hujan, bisa menyelesaikan dua hal itu sekaligus. Sayangnya, kesadaran mengelola dan memanfaatkan air hujan belum meluas.

“Tantangan mengubah pola pikir masyarakat yang semula tidak peduli air hujan jadi peduli. Banyak manfaat bisa diambil dari pengolahan yang tepat air hujan ini,” katanya, juga ketua panitia kongres ini.

Bersama Sekolah Vokasi Departemen Teknik Sipil UGM, dia memperkenalkan alat penampung air hujan yang bisa dipakai rumah tangga. Dengan modifikasi sederhana, toren air jadi alat penampung air hujan dari atap rumah.

“Ada penyaring daun, penyaring debu kasar, penyaring debu halus. Ada pipa yang menyalurkan kelebihan isi tangki ke sumur resapan atau sumur langsung. Kalau sudah punya sumur tak perlu bikin sumur resapan, langsung masukkan ke sumur,” katanya.

Jadi, katanya, sumur selama enam bulan terisi oleh air hujan. Saat kemarau, sumur bisa pompa lagi, sekaligus bersedekah air kepada tetangga.

Baca juga : Merekayasa Resapan Air Hujan dan Mencegah Banjir di Kota Semarang. Seperti Apa?

Dengan memasukkan air hujan ke sumur, katanya, berarti menambah volume cadangan air ke dalam tanah. Pada akhirnya, bisa bermanfaat bersama dengan tetangga yang berdekatan.

Makin banyak orang meresapkan air hujan, makin besar pula cadangan air dalam tanah dalam suatu kawasan.

Kalau ingin memanfaatkan air hujan untuk minum, kata Maryoto, bisa dengan tiga cara. Pertama, dengan direbus. Kedua, dipasang lampu ultraviolet. Di pasaran lampu jenis ini dijual Rp400.000. Menurut dia, jamur, bakteri, dan virus bisa mati hingga air cukup higienis bisa langsung diminum tanpa dimasak.

Ketiga, dengan mengalirkan ke dalam saringan air siap minum. “Harga mahal, sekitar Rp5 juta.”

Kalau pada kongres pertama November 2018 mengambil tema “Air Hujan adalah Potensi Air Bersih Masa Depan,” di kongres II mengambil tema “Air Hujan Sahabat Kita Semua.”

Hadir sebagai pembicara di kongres II antara lain Darhamsyah dari KLHK Maluku, Riyanto Tri Nugroho Camat Tegalrejo, Agus Prasetya dosen Teknik Kimia UGM, Sri Wahyuningsih, pendiri Komunitas Banyu Bening. Lalu, Sakti Handengganan, pegiat ekosistem perairan darat, Dwi Agus Kuncoro, Kepala Sekolah Air Hujan Banyu Bening, Gatut Bayu Aji dari BBWS Cimanuk-Cisanggarung, dan Rochimah Nugrahini dari BPDASHL Pemali Jratun.

 

Rumah-rumah warga yang membuat penampungan air hujan di Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Berbagi pengalaman

Darhamsyah menceritakan, saat kuliah di Australia mudah menemukan alat pemanenan air hujan. Ada kesadaran, katanya, air hujan jangan terbuang percuma.

“Dalam perjalanan dan singgah di bandara Sydney, saya menjumpai toilet ada tulisan menggunakan air hujan, saya langsung kontak Pak Agus Maryoto. Bantuin dong.” Kini kantornya pun di Maluku, memasang alat pemanen air hujan.

Dia mengajak, mengubah paradigma, dari egolife ke ecolife, topik sama telah tertulis dalam buku berjudul Enjoy Life with Ecolife. Hidup bersahabat dengan lingkungan adalah hidup yang indah. Sayangnya, masih banyak orang tidak menyadari, dan lebih mementingkan kehidupan ego.

“Beda egolife dan ecolife, secara fisik ecolife itu orang yang selalu berbagi. Kalau egolife ingin menguasai. Banyak sekali di komunitas pemanenan air hujan itu yang punya semangat berbagi. Kalau kita meresapkan air ke dalam tanah, kita berbagi. Air hujan ditampung, dimanfaatkan, dan diresapkan sebanyak mungkin ke dalam tanah.”

Riyanto, penggagas Kampung Hijau di Tegalrejo, Yogyakarta, telah memasang lebih 50 alat pemanenan air hujan. Di bawah kepemimpinannya, Kecamatan Tegalrejo jadi kawasan konservasi air, pengembangan pertanian perkotaan, dan pemberdayaan masyarakat berbasis budaya.

“Konsep ini komplit mulai dari pemanfaatan air hujan, pertanian perkotaan, penanganan sampah, sampai pemakaian tenaga surya. Saat awal, studi banding kami biaya sendiri.”

Anggaran untuk pemanenan air hujan mereka carikan lewat dana tanggung jawab sosial perusahaan dan dana kelurahan. Mereka terus menambah alat pemanenan air hujan, membuat sumur resapan, dan biopori jumbo berukuran 30 sentimeter.

“Di kantor kecamatan kalau hujan air semua masuk dalam tanah, tidak ada terbuang. Bahkan, kami dapat tambahan limpahan air dari jalan raya yang masuk ke halaman kantor.”

Sri Wahyuningsih, dari Komunitas Banyu Bening mengisahkan, komunitas mereka selama ini aktif mengajak orang menampung dan menabung air hujan dan memberikan contoh nyata.

“Mimpi kami bisa melahirkan kampung ramah air hujan. Ketika ada masalah kerentanan air, kami datang menawarkan solusi. Sebenarnya, banyak orang tahu bahwa air hujan itu bagus, tapi tidak banyak yang mau melakukannya.”

Sakti Handengganan menyoroti, masih banyak kesalahan paradigma dalam melihat air, bahkan oleh para pengambil keputusan. Mereka menganggap, air sebagai barang melimpah hingga tak terkelola dengan bijak.

“Dulu, memang masih banyak situ, hutan, atap rumah belum luas. Kini, sudah mengecil dan kehilangan fungsi. Hutan berkurang, situ mengecil, hingga air hujan mengalir begitu saja ke laut.”

Karena laju deforestasi sedemikian cepat, katanya, perlu tindakan ekstra. Kerusakan alam Indonesia ini massif, katanya, maka perbaikan harus massal pula.

“Pulihkan hutan. Hutan itu dam hijau. Hidupkan kembali danau-danau, situ, agar bisa menampung air hujan dan tidak jadi run off. Karena atap sudah banyak, tambahlah biopori, tambahlah sumur resapan. Tambahlah kolam retensi, danau buatan.”

Konsep yang dia tawarkan adalah urun daya memanen air hujan. Semua level, individu, lembaga harus memikirkan, katanya, karena hujan turun ke semua permukaan. “Di gunung kita hutankan kembali, di tengah kita bangun bendungan, kolam retensi, sumur resapan, biopori.”

 

Menularkan semangat

Dwi Agus Kuncoro, Kepala Sekolah Air Hujan Banyu Bening menuturkan, tengah menjajaki peluang membuka cabang di delapan lokasi, yakni, Cirebon, Sragen, Pacitan, Madiun, Magetan, Sukoharjo, Wonogiri, dan Gunung Kidul.

Sekolah Air Hujan sendiri, katanya, baru berusia tiga bulan dan terlihat peminat tinggi dari beberapa kalangan untuk mengetahui seluk beluk manfaat dan pengelolaan air hujan.

“Ke depan, Sekolah Air Hujan akan prioritas di daerah rawan kekeringan. Karena daerah semacam itu mendesak membutuhkan air.”

Dalam kongres ada catatan, sejumlah instansi maupun kelompok masyarakat mulai tergerak untuk memanen air. Sebanyak, 40 alat instalasi pemanenan air hujan (Ipah) terpasang melalui Direktorat Mitigasi Bencana di Yogyakarta. Di Ternate, melalui Gerakan Menabung dan Memanen Air Hujan Kecamatan Kota Ternate Utara (Gemma Camtara) memasang alat serupa lebih 100 unit. Program ini, katanya, menyasar keluarga kurang mampu.

BPDASHL Serayu Opak Progo turut memasang Ipah 20 unit untuk beberapa kabupaten di Yogyakarta guna mengurangi dampak banjir dan kekeringan.

BPDASHL Pemali Jratun, memasang 18 alat tahap pertama, dan menambah 100 pada tahap kedua untuk hulu Rawa Pening.

BPDASHL Benain Noelmina memasang 10 alat untuk Nusa Tenggara Timur. PPE Sulawesi Maluku-Papua, menjadi yang pertama memasang alat Ipah untuk skala perkantoran. BPDASHL Cimanuk-Citanduy memasang 10 alat di Garut.

“Semua harus memanen air hujan. Jangan mengandalkan hanya kepada pemerintah. Ngombe banyu udan ben ora edan (minum air hujan biar tidak gila),” kata Yu Ning, panggilan akrab Sri Wahyuningsih.

“Selamatkan air hujan, dengan cara kita tampung, kita tabung, untuk menyelamatkan generasi mendatang.”

 

Keterangan foto utama:  Warga sedang nampung air hujan yang sudah dielektrolisis. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version