Mongabay.co.id

Greenpeace Sebut Perusahaan-perusahaan Ini Berkontribusi Lepas Emisi Karbon dari Karhutla Indonesia

Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

 

 

 

Greenpeace Internasional merilis perusahaan pemegang merek barang konsumsi ternama dunia menyumbang emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Mereka memicu krisis iklim karena masih pakai sawit dari pemasok yang terbukti di lahan yang terjadi kebakaran lahan.

Berdasarkan analisa Greenpeace Internasional menemukan perusahaan pemegang merek baik pedagang maupun produsen produk itu mendapatkan bahan baku dari sumber-sumber yang menyebabkan kebakaran hutan dan lahan dalam periode 2015-2018.

Pada periode itu, kebakaran menyebabkan pelepasan emisi ke udara mencapai 427 juta ton CO2, 200 juta ton CO2 berasal dari sawit dan 227 juta ton CO2 dari pulp.

Annisa Rahmawati, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia menyebutkan, sektor sawit dan hutan tanaman industri (pulp dan kertas) periode 2015-2018, memiliki luas kebakaran 462.000 hektar gambut dari total 3,4 juta hektar hutan dan lahan terbakar berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Adapun, penghitungan emisi standar pemerintah, dengan mengalikan luasan gambut terbakar dengan faktor emisi Indonesia 923,1 ton CO2 per hektar. Kebakaran ini, menyebabkan pelepasan emisi ke udara mencapai 427 juta ton CO2, 200 juta ton CO2 berasal dari sawit dan 227 juta ton CO2 berasal dari pulp.

”Itu setara emisi 110 PLTU batubara sama dengan emisi 91 juta mobil atau lebih dari setengah emisi Jerman,” katanya.

Ada empat pedagang (trader) minyak sawit dengan emisi mencapai 16,2 juta ton CO2 dengan luas gambut terbakar 175.700 hektar, yakni, Cargill, Golden agri Resources (GAR), Musim Mas, dan Wilmar.

Emisi sejumlah pedagang minyak sawit dan bubur kertas juga terkait emisi ini dengan kebakaran selama periode sama, yakni, Wilmar, bertanggung jawab lebih 80% emisi tahunan Singapura; Cargill, lebih dari emisi tahunan Denmark, dan Musim Mas 75% emisi tahunan Singapura. Emisi gabungan Sinar Mas Group dan perusahaan mereka lain seperti GAR dan Asia Pulp and Paper (APP) setara hampir 3,5 kali lipat emisi tahunan Singapura.

Ada empat perusahaan merek dunia dalam bisnis consumer goods companies dengan emisi 219,5 juta ton CO2 dengan gambut terbakar 237.800 hektar, antara lain Mondelez, Nestle, P&G dan Unilever.

Periode 2015-2018, data menunjukkan pemasok Unilever bertanggung jawab atas akumulasi emisi gas rumah kaca sebagai dari kebakaran lahan gambut di konsesi mereka, setara 25% emisi setahun Belanda.

Selama periode sama, pemasok Nestle bertanggung jawab lebih banyak emisi daripada Swiss, dalam setahun. Dengan cara sama, pemain utama lain, Mondelez, dengan lebih besar emisi tahunan Selandia Baru. Untuk potensi tanggung jawab karbon P&G adalah dua kali lipat dari emisi tahunan Norwegia.

”Apabila valuasi (menurut perhitungan IMF-red) terkait pajak karbon US$75 per ton yang terbit Oktober 2019, nominal pajak karbon 200 juta ton CO2 mencapai US$15 miliar atau Rp210 triliun (kurs Rp14.000),” kata Annisa.

Analisis ini, katanya, masih banyak keterbatasan dalam menggambarkan keterlibatan sektor industri dalam krisis karhutla dan asosiasi dengan emisi GRK. Meski demikian, katanya, perlu ada tanggungjawab perusahaan dan pemerintah dalam penanganan permasalahan ini.

Greenpeace Indonesia mendesak, pemerintah Indonesia lebih transparan dalam memberikan ketersediaan data atau peta yang akurat dan terbaru, antara lain data hak guna usaha (HGU). ”Baik pemerintah maupun korporasi musti memimpin menunjukkan radikal dalam penggunaan lahan untuk kebijakan atau komitmen rendah karbon.”

Dia bilang, transparansi penting guna memunculkan monitoring publik yang kuat, melalui sikap konsisten melindungi hutan dan gambut tersisa melalui kebijakan dan regulasi yang ada. Upaya transparansi, katanya, seringkali terhambat masalah politik, bukan pada ilmu sains dan teknologi. Padahal, kemajuan teknologi, bisa terlihat melalui satelit.

 

Kebakaran di PT MAS, Muarojambi. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Pajak karbon dan insentif fiskal berperan penting dalam mempertahankan suhu bumi 1,5 derajat Celcius. Adapun insentif fiskal, nanti bisa mendukung transisi adil bagi pertanian industrial menuju berbasis lingkungan. Termasuk mempromosikan dan membiayai konservasi maupun restorasi hutan, gambut serta ekosistem lain.

“Perusahaan dan pemerintah di negara-negara di mana tempat mereka bermarkas atau beroperasi, harus mengambil tindakan segera untuk memutuskan hubungan antara komoditas yang menyebabkan deforestasi dan kebakaran. Juga bekerja untuk memulihkan dan melestarikan semua hutan dan lahan gambut.”

Untuk 2019, Greenpeace belum menghitung karena data masih terus bertambah. Hingga Oktober 2019, luasan kebakaran mencapai 942.485 hektar, wiayah gambut mencapai 28,6% atau 269.777 hektar, sisanya areal mineral.

Estimasi Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) hingga pertengahan November 2019, total emisi Indonesia sekitar 708 juta ton emisi karbon.

Pada awal November lalu, bertepatan dengan pertemuan RSPO di Bangkok, Thailand, Greenpeace Internasional juga rilis laporan soal produsen dan pedagang produk konsumsi dunia berelasi dengan karhutla di Indonesia. Untuk perusahaan sawit yang disebutkan dalam laporan itu, sebagian merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Sara Cowling, Communication and Content Manager, Roundtable on Sustainable Palm Oil, mengatakan, RSPO sudah merespon laporan Greenpeace ini.

Dari laman resmi RSPO, lembaga ini menyatakan, serius menangani isu karhutla baik sengaja buat buka lahan maupun tidak dan sesuai standar mereka jelas melarang praktik ini.

“RSPO pun aktif memonitong dengan teknologi satelit dan menditeksi semua titik api baik di area bersertifikat RSPO maupun tidak di Malaysia dan Indonesia.”

Sejak Januari 2018, RSPO telah membuat informasi dari satelit ini, bersama lokasi area konsesi anggota, tersedia untuk umum di situs mereka.

Cargill menanggapi laporan ini. Kepada Mongabay, Dewi Mayasari, Corporate Communication Manager PT Cargill Indonesia, mengatakan, perusahaan mereka memiliki kebijakan nol pembakaran ketat dan tak mendukung aktivitas pembakaran lahan untuk tujuan apapun.

“Setiap hari, kami memantau atau berpatroli di perkebunan-perkebunan kami dan lokasi di sekitar perkebunan untuk mengidentifikasi potensi titik api dan mempublikasikan temuan kami secara luas,” katanya dalam surat elektronik.

Ketika Cargill mengidentifikasi titik api baru-baru ini di perkebunan sawit mereka, lalu menyerahkan laporan ke polisi dan menyelidiki penyebab kebakaran. Hasil penyelidikan mennemukan, titik api berasal dari area enclave milikmasyarakat.

“Meskipun tidak memiliki yurisdiksi atas tindakan masyarakat lokal di area enclave, kami mengerahkan tim dan alat pemadam kebakaran membantu memadamkan api.”

 

Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah yang berselimut asap berbahaya akibat kebakaran hutan dan lahan. Foto: Yusy Marie/Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, titik api dan data mengenai area terbakar penting diselidiki. Sisi lain, perlu perhatian dan upaya mengidentifikasi akar penyebab kebakaran guna mencegah kejadian sama terulang.

Perusahaan-perusahaan, katanya, dapat melakukan usaha peninjauan area perbatasan lahan, namun hal ini tak akan mengatasi risiko faktor eksternal.

Analisis dari Global Forest Watch menunjukkan, 85% titik api dari 1 Januari hingga 30 September 2019–periode investigasi yang dirujuk Greenpeace–terjadi di luar konsesi sawit mereka.

Selain itu, penelitian dari Chain Reaction Research membahas risiko deforestasi dari luar kawasan komersial. Cargill mengidentifikasi ini sebagai hal mendesak untuk diatasi. Perusahaan, katanya, telah menyelenggarakan pertemuan dengan para pemangku kepentingan selama acara RSPO di Bangkok awal November lalu untuk menyelaraskan dan mengidentifikasi berbagai solusi mengatasi ini.

 

Bagaimana pemulihan gambut di konsesi?

MR Karliansyah, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, upaya restorasi gambut terus jalan sampai November 2019, ada 3,26 juta hektar gambut rusak pembasahan. Meski demikian, belum berarti pulih.

Hingga Desember 2019, sudah ada 68 dari 97 perusahaan HTI pemulihan melalui revisi dokumen rencana kerja umum, di mana pelaksanaan restorasi ini berdasarkan Kesatuan Hidrologis Gambut. Ada 173 perusahaan perkebunan sudah pemulihan.

”(Dokumen pemulihan yang ke kami) sudah ada cleareance dari Direktorat Penegakan Hukum bahwa tidak terjadi kebakaran, hingga kami proses dokumen pemulihannya,” katanya.

Dari 865 KHG di Indonesia, baru 71 KHG memiliki peta detail dengan skala 1:50.000 sebagai dasar penetapan fungsi lindung dan fungsi budidaya. Biaya pemetaan sekitar Rp1 miliar per KHG. Peta ini jadi dasar dalam pemulihan gambut.

 

Keterangan foto utama: Kebakaran hutan dan lahan di konsesi PT Globalindo Agung Lestari di Mantangai, Kapuas, Kalimantan Tengah. © Jurnasyanto Sukarno / Greenpeace

Exit mobile version