Mongabay.co.id

AP2SI Minta Pemerintah Serius Dampingi Kelompok Tani Perhutanan Sosial

Para petani LMDH Wono Lestari melakukan pembibitan tanaman damar di area hutan produksi Perum Perhutani.

 

 

 

 

 

Kulit pala bagi kebanyakan orang mungkin tak berguna, tetapi tidak bagi petani perempuan Kelompok Tani Hutan (KTH) Bayang Bungo Indah (BBI) di Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat.

Sejak kelompok ini menerima izin perhutanan sosial pada 2017, kulit pala berubah jadi sirup dan menghasilkan uang.

Ini bermula saat Sri Hartati, ketua Bayang Bungo mendatangi satu persatu perempuan petani di Kapujan, Pesisir Selatan.

“Kita door to door, kita ajak pelatihan. Ada yang mau, ada yang tidak. Dari 105 orang awalnya kini ada 66 anggota aktif,” katanya.

Dari anggota aktif, mereka mengumpulkan iuran anggota Rp100.000 pada awal pendaftaran. Selanjutnya, untuk keperluan produksi, anggota membayar iuran bulanan Rp12.000 perbulan.

Dengan dampingan Walhi, kelompok ini berhasil membuat sirup dari kulit buah pala dan memasarkan. Hingga kini, setidaknya ada satu hotel ternama di Kota Padang yang sudah jadikan sirup ini sebagai welcome drink.

Hasilnya? “Lumayan. Kini iuran bulanan sudah kita tiadakan karena modal sudah lumayan terkumpul. Bahkan setiap tahun sudah bisa dibagi bonus,” kata Sri.

Selain menghasilkan uang, katanya, kelompok yang sedang mengurus badan hukum untuk koperasi simpan pinjam ini juga membantu menguatkan kepercayaan diri petani perempuan di Kapujan.

Dengan mengisi waktu luang mengumpulkan kulit pala, sortir, dan mengolah di pabrik, para perempuan petani ini juga belajar organisasi.

“Dari nggak tau apa-apa, sekarang bisa berkiprah di lembaga desa. Biasa mereka malu kalau mau rapat, setelah ada ini berani. Bener nggak bener yang penting ngomong.”

 

Beragam produk seperti racikan obat-obatan alami yang diperoleh dari hutan adat di Kalimantan. Foto: Indra Nugraha/ Mongabay Indonesia

 

Banyak kendala

Apa yang dilakukan Sri bersama kelompok ini belum cukup. Banyak kelompok tani seperti BBI dan lain-lain yang sudah mendapatkan izin dalam skema perhutanan sosial namun mengalami berbagai kendala.

Pada akhir November lalu, kelompok tani hutan ini berkumpul di Jakarta dan membentuk Asosiasi Pengelola Perhutanan Sosial Indonesia (AP2SI).

Setelah pembentukan asosiasi, AP2SI meminta percepatan pengurusan perizinan perhutsos dan pendampingan bagi kelompok yang sudah mendapatkan izin.

“Capaian akses perhutanan sosial baru 25% dari target nasional. Ini cukup lambat,” kata Roni Usman Kusuma, yang ditunjuk jadi Ketua AP2SI.

Padahal, katanya, pemerintah Presiden Joko Widodo sejak 2015 mengalokasikan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk program perhutsos. Pemerintah juga memasukkan perhutsos sebagai program strategis nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 56/2018.

Mulanya, program ini dibuat untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Juga mengurangi konflik lahan dan menimbulkan kesadaran untuk menjaga kelestarian sumber daya hutan.

Hingga Juni 2019, tercatat capaian perhutanan sosial baru mencapai 3,4 juta hektar dengan melibatkan lebih 755.000 keluarga dan memberi manfaat kepada sekitar 3 juta jiwa.

“Lambatnya pencapaian target ini cukup disayangkan di tengah antusiasme masyarakat yang tinggi dengan program ini,” kata Roni.

Saat ini, AP2SI berasal dari 51 KTH pengelola perhutsos yang tersebar di 17 provinsi.

Rusdianto, Dewan Pengawas AP2SI, mengatakan, anggota AP2SI telah mengakses atau menerima izin perhutsos seluas 165.468,15 hektar dengan 59.285 keluarga sebagai pemanfaat dengan beragam produk unggulan mulai dari hasil hutan bukan kayu, agroforestry, jasa lingkungan hingga wisata alam.

 

Buah pala yang telah dipanen. Foto: INOBU

 

Dari hasil pertemuan nasional AP2SI ada tujuh kendala yang dihadapi oleh kelompok pengelola perhutanan sosial. Pertama, dukungan politik dari kementerian atau lembaga terkait dan pemerintah daerah terhadap program perhutsos belum maksimal. Kedua, layanan birokrasi dalam menunjang perhutsos untuk pengetahuan dan pendampingan.

Ketiga, kelompok tani juga terkendala penyusunan dan pelaksanaan rencana pengelolaan dan rencana kerja. Keempat, soal kepastian atas batas area kerja. Kelima, alat produksi minim dan sarana prasarana komunikasi serta transportasi untuk menunjang kegiatan perhutsos.

Keenam, kurangnya akses dan dukungan modal pembiayaan terhadap pengelolaan perhutanan sosial oleh kementerian dan lembaga serta ketujuh, masih minim kapasitas pengembangan inovasi produk dan pasar terhadap hasil hutan dan jasa lingkungan.

“Program perhutsos sudah cukup baik, tapi tidak boleh berhenti pada pemberian akses izin kelola saja,” kata Sri yang ditunjuk menjadi Dewan Pengawas AP2SI.

Menurut dia, perlu ada sistem kelola partisipatif dan integratif dalam skema wilayah kelola rakyat meliputi tata kuasa untuk pemberian akses, tata kelola perencanaan dan pemanfaatan. Juga, tata produksi hasil pemanfaatan dan tata konsumsi untuk penggunaan dari hasil kelola dan produksi.

AP2SI juga meminta ada koordinasi kementerian dengan lembaga dengan pemerintah di daerah. Pasalnya, menurut perwakilan kelompok asal Sumatera Utara, Tajrudin Hasibuan, pemahaman soal perhutsos belum betul-betul dipahami hingga tingkat pemda.

“Belum apa-apa pemda sudah menagih pajak. PNBP (penerimaan negara bukan pajak-red),” katanya. Padahal, masyarakat masih merintis usaha hasil menjaga hutan ini.

Selain pajak, masyarakat pengelola hutan juga berhadapan dengan iuran perizinan yang mestinya ditiadakan khusus untuk perizinan skema perhutsos. Dia juga mengeluhkan proses pengurusan sertifikat halal MUI untuk produk dari perhutsos masih sulit serta memakan waktu lama.

Untuk itu, alih-alih mengenakan pajak, menarik biaya perizinan dan mempersulit birokrasi, AP2SI meminta pemerintah mempercepat proses perizinan dengan menyederhanakan adminitrasi. Juga memberikan pendampingan baik dari segi pembiayaan maupun inovasi produk agar menghasilkan produk turunan yang punya pasar.

“Misalnya, sirup kulit pala ini kita harapkan bisa dipasarkan lagi di lembaga pemerintahan lain,” kata Sri.

 

Keterangan foto utama:  Para petani LMDH Wono Lestari melakukan pembibitan tanaman damar di area hutan produksi Perum Perhutani.

Bibit sagu untuk kegiatan adopsi pohon di Hutan Desa Sungai Tohor. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version